Persoalan manasik haji sangat kompleks, sehingga diperlukan pedoman yang komprehensif dan responsif bagi jemaah haji. Untuk itu, pada hari Rabu hingga Jumat 16-18 Safar 1446/21-23 Agustus 2024 diselenggarakan kegiatan Focus Group Discussion “Penyempurnaan Buku Paket Manasik Haji Tahun 1446/2024” bertempat di Hotel Horison Ultima Bekasi. Acara ini dibuka oleh Direktur Bina Haji Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia Dr. Arsad Hidayat, Lc., M.A.
Dalam sambutannya Dr. Arsad menyampaikan bahwa program murur dan tanazul yang dianggap berhasil pada pelaksanaan haji tahun 1445/2024 akan dilanjutkan dengan memperbaiki mekanisme operasionalnya. Hal ini perlu dilakukan agar substansi program murur dan tanazul dapat diwujudkan. Skema tanazul perlu pemikiran yang komprehensif sehingga dapat terwujud program tanazul yang berkeadilan dan memberi kenyamanan bagi jemaah haji.
Salah satu upaya yang akan dilakukan oleh Kementerian Agama RI untuk menghadirkan program murur dan tanazul yang berkualitas adalah mendata sejak awal jemaah yang akan mengikuti program murur dan tanazul.
Data ini sangat diperlukan untuk memastikan jumlah konsumsi dan transportasi. Dengan ketersediaan data yang lengkap dapat dikomunikasikan dengan pihak Masyariq. Dengan demikian, kesulitan terkait ketersediaan konsumsi selama berada di Mekah sebagaimana yang dialami para jemaah yang mengikuti program tanazul tahun ini ke depan dapat teratasi. Selain persoalan murur dan tanazul, persoalan pengelolaan dam juga menjadi isu penting untuk dipikirkan solusinya.
***
Patut diketahui, kegiatan ini dihadiri para konsultan ibadah dari berbagai ormas dan Perguruan Tinggi yang bertujuan mengevaluasi buku Manasik Haji Tahun 1445/2024. Hampir setiap tahun dilakukan evaluasi agar buku Manasik Haji sesuai situasi yang berkembang dan tuntutan zaman.
Secara garis besar buku Manasik Haji tahun 1445/2024 berisi; pertama, tentang Perjalanan Haji dan Umrah. Pada bagian ini dijelaskan secara detail proses persiapan, keberangkatan, kedatangan di Mekah dan Madinah, di Armuzna, dan kembali ke Tanah Air.
Kedua, Manasik Haji dan Umrah. Pada bagian ini dijelaskan secara rinci aspek fikih tentang syarat, rukun, dan wajib ibadah haji dan umrah, meliputi miqat, ihram, talbiyah, tawaf, sa’i, wukuf, mabit, melompar jamrah, tahalul, dam, dan nafar. Ketiga, Isu-Isu Kontemporer seputar haji perempuan, haji jemaah lansia, sakit, resiko tinggi, dan badal haji.
Kerangka berpikir yang dikembangkan dalam buku Manasik Haji ini adalah “Fikih Muyassar” (If’al Wa La Haraj). Banyak kasus yang terjadi di lapangan memerlukan jawaban agar jemaah haji merasa tenang dan tidak ragu dalam melakukan ibadah.
***
Kehadiran buku Manasik Haji ini sangat bermanfaat, khususnya pada tahun 1444/2023. Pada saat itu jumlah jemaah lansia sangat banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Apalagi tidak menggunakan pendamping sehingga memerlukan panduan ibadah selama di Tanah Suci yang tidak memberatkan bagi jemaah tetapi juga tidak mengabaikan tuntutan syariat.
Misalnya dalam buku Manasik Haji ini ditemukan istilah “Isytirat”, artinya niat ihram umrah disertai dengan mengucapkan syarat “aku niat haji/umrah, apabila aku sakit atau terhalang maka aku tahalul di tempat di mana aku terhalang”. Jemaah haji yang lemah, lansia, risti dan sakit, ketika mengucapkan niat ihram umrah/haji sangat dianjurkan isytirat (p. 111).
Dengan konsep isytirat ini, jemaah haji tetap diberi kesempatan untuk melaksanakan ibadah sesuai tuntutan syariat dan sesuai kemampuan kesehatan yang dimiliki. Namun jika dalam praktiknya di tengah jalan jemaah tidak mampu melanjutkan maka saat itu bisa langsung tahalul. Umrah atau hajinya sudah dianggap selesai dan sah.
***
Sebagaimana diketahui persoalan murur yang digulirkan oleh Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama RI dalam penyelenggaraan haji tahun 1445/2024 memperoleh respons positif dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Majelis Ulama Indonesia.
Ketiganya memutuskan kebolehan mengikuti program murur dikarenakan jemaah mengalami udzur syar’i dan tidak diwajibkan membayar dam. Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah melakukan halaqah dan rapat pleno bertempat di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah Jl. K.H. Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Hasil pertemuan tersebut dimuat dalam fatwa Nomor: 078/I.1/F/2024 menyebutkan kebolehan murur mendasarkan pada hadis dari ‘Aisyah r.a yang diriwayatkan oleh al-Bukhari yang artinya:
“Dari Aisyah r.a. (diriwayatkan) berkata, kami sampai di Muzdalifah, kemudian Saudah meminta izin kepada Nabi saw untuk berangkat mendahului rombongan. Saudah sendiri merupakan perempuan yang lambat (karena gemuk). Lalu Nabi mengizinkannya, sehingga ia berangkat mendahului rombongan, adapun kami tetap di sana (bermalam di Muzdalifah) sampai pagi hari, baru kemudian kami menyusul. Sungguh, meminta izin bagiku ke Rasulullah saw sebagaimana meminta izinnya Saudah adalah sesuatu yang paling aku cintai daripada hal yang menyenangkan”. HR al-Bukhari).
***
Sementara itu, Nahdlatul Ulama berdasarkan hasil musyawarah yang berlangsung pada tanggal 20 Zulkaidah 1445/28 Mei 2024 dan tertuang dalam Keputusan Pengurus Besar Harian Syuriah menyebutkan bahwa kebolehan murur merujuk pendapat para ulama seperti Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya yang berjudul “Nihayah al-Zain Syarh Qurrah al-Ain”, Syekh Sulaiman al-Bujairimi dalam bukunya yang berjudul “Hasyiyatu al-Bujairimi ala al-Khatib, Syekh Zakaria al-Anshari dalam kitabnya yang berjudul “Asna al-Mathalib”, Imam an-Nawawi dalam kitabnya yang berjudul “Al-Idhah fi Manasik al-Hajj wa al-Umrah”, dan Taqiyyuddin al-Hisni dalam kitabnya yang berjudul “Kifayatu al-Akhyar”.
Begitu pula Majelis Ulama Indonesia berdasarkan hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia VIII yang diselenggarakan pada tanggal 20-23 Zulkaidah 1445/28-31 Mei 2024 di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Sungailiat Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagaimana disebutkan dalam Lampiran Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia VIII Nomor 11/Ijima’ Ulama/VIII/ 2024 bahwa kebolehan murur merujuk berbagai pandangan sebagaimana dikemukakan oleh NU di atas ditambah Muhammad Ibn Muhammad al-Khatib al-Syarbini dalam bukunya yang berjudul “Mughni al-Muhtaj Ila Ma”rifat Ma’ani Alfadz al-Minhaj”, Ibn Hajar al-Haitami dalam bukunya yang berjudul “Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj”, dan Wahbah az-Zuhaily dalam bukunya yang berjudul “Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh”.
***
Selanjutnya yang menjadi perhatian dalam perbaikan buku Manasik Haji adalah penggunaan istilah “Tanazul” di Mina (Tarku al-Mabit bi Mina) dan perbaikan skema operasionalnya. Selama ini istilah “Tanazul” dalam perhajian Indonesia dimaksudkan bagi jemaah haji yang ingin mengajukan pulang ke Tanah Air lebih awal tidak kembali bersama kloternya karena sesuatu dan lain hal, seperti kepentingan darurat, sakit, pelantikan, dan hal-hal yang tidak bisa digantikan oleh orang lain, sedangkan Tanazul dalam konteks mabit di Mina adalah jemaah haji yang memilki fisik yang kuat diperkenankan untuk kembali ke Hotel mulai pada tanggal 10, 11, 12, dan 13 Zulhijah untuk mengurangi kepadatan di Mina.
Dalam praktiknya tanazul mabit di Mina tahun 1445/2024 masih banyak mengalami kendala, seperti persoalan ketersediaan konsumsi selama di Hotel dan jemaah haji banyak yang tersesat. Kondisi ini memperoleh perhatian dari Direktur Bina Haji Dr. Arsad Hidayat untuk mencarikan solusinya yang tepat sehingga terwujud “Tanazul”” yang menggembirakan dan berkeadilan. Salah satu caranya melalui tanazul berbasis maktab atau kloter dan berikhtiar menyediakan transportasi dan konsumsi. Pemerintah juga berupaya melindungi para jemaah haji dalam membayar dam dan nilai kemanfaatannya, mengapa?
Selama ini banyak terjadi ketidakjelasan dan “kurang transparan” dalam mengelola pembayaran dam dan nilai kemanfaatannya bagi masyarakat muslim Indonesia sehingga perlu dicarikan solusi yang bisa dipahami dan diterima semua pihak dengan lapang dada.
Untuk itu, upaya dan inovasi tata kelola yang dilakukan oleh Dirjen PHU Kementerian Agama RI terkait pembayaran dam perlu didukung dan diapresiasi. Kesemuanya dilakukan semata-mata ingin menjaga keseimbangan antara pesan nas dan realitas di lapangan sehingga para jemaah haji bisa melaksanakan ibadah dengan nyaman, gembira, dan memperoleh pencerahan.
Wa Allahu A’lam bi as-Sawab.