Kala itu seperti biasanya Buya HAMKA pulang dari Masjid Al-Azhar setelah memimpin salat Isya berjamaah, ia langsung pulang ke rumah tanpa berdiskusi terlebih dahulu dengan jamaah lainnya di teras masjid. Hingga Buya HAMKA melewati kamar putranya yang bernama Irfan HAMKA, Buya pun langsung menghampiri putranya untuk memastikan apakah Irfan sudah melaksanakan sembahyang Isya atau belum.
Ketika sang ayah bertanya kepada Irfan, “Irfan…. Sudah salat Isya nak?”. Secara spontan Irfan langsung menutup novelnya yang sedang ia baca dan menjawab pertanyaan ayahnya dengan memasang wajah panik. Irfan mengaku sudah salat namun ucapannya terbata-bata. Lantas, Buya pun mengetahui bahwa putranya itu sedang berbohong. Kemudian Irfan diperintahkan untuk segera mendirikan salat dan setelah itu menghadap Buya HAMKA di kamarnya.
Dusta Sebagai Dosa Berantai
Buya pun mengatakan kepada putranya bahwa jikalau engkau hendak berbohong, maka haruslah pandai terlebih dahulu. Karena ketika seseorang berbohong, ia harus memiliki perkataan yang lancer, pendirian yang kuat, serta janganlah jadi pelupa. Sebab kelemahan pembohong adalah jadi pelupa. Orang yang jujur dan benar tidak akan lupa karena kebenaran itu senantiasa terekam dalam otaknya. Walaupun setelah beberapa tahun kemudian, hal tersebut masih dapat diingat jika orang bertanya padanya.
Namun berbeda dengan sebuah kebohongan dapat disaksikan dan dibandingkan, contoh laporan si A yang dibandingkan dengan perkataannya di tempat lain. Meskipun bohong hanya satu perkara, namun narasi kebohongan itu akan terus berubah isinya sebanyak orang yang bertemu dengannya karena ia selalu mencari pembenaran. Hingga ada pepatah “kalau engkau hendak menjadi pembohong, janganlah jadi pelupa”.
Ibnu Muqaffa juga pernah berkata: “perkara-perkara yang tidak bertahan lama ialah di bawah naungan awan, teman yang jahat, cinta pada perempuan, berita bohong dan banyaknya harta benda”. Dosa yang dilakukan pendusta akan terus bercabang tanpa batasan, mungkin ia mengira dengan berdusta akan meloloskan dirinya dari tanggungan resiko perbuatannya.
***
Padahal, dusta hanya menyelamatkan ia sementara. Dosa pertama disusul oleh dosa kedua. Kebenaran adalah cahaya dari pangkal sampai ujungnya. Namun dusta adalah kegelapan yang tidak berujung. Sebab itu, dusta adalah tali sambung menyambung. Dusta itu tidak cukup satu kali, ia akan menjadi suatu kebiasaan karena jiwanya tidak merdeka untuk menghadapi dinamika kehidupan. Parahnya lagi, ia lari dari segala ujian kehidupan. Abraham Lincoln mengatakan, engkau bisa saja membohongi satu generasi, tapi engkau tidak akan mampu membohongi generasi yang akan datang sebab ada sejarah yang membuktikan.
Dalam kacamata Islam, kebohongan memang suatu tanda kemunafikan, bahkan dalam Al-Qur’an seorang pembohong dikatakan tidak beriman. Allah berfirman: “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah pembohong” (QS. An-Nahl: 105).
Berdasarkan ayat di atas, bahwa hidup yang dianjurkan oleh Islam adalah hidup yang mempunyai kepercayaan kepada Allah SWT. Iman menimbulkan takwa, ketakwaan ini akan memelihara jiwa-jiwa manusia dari hal yang menjatuhkan martabatnya. Iman dan takwa akan rusak dan binasa apabila seseorang telah berani berdusta. Dusta ini hanyalah dilakukan oleh orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan orang yang hatinya tidak merdeka, karena ia tidak mampu untuk mengatakan sesuai dengan hati nuraninya.
Dusta Menumbangkan Peradaban
Buya HAMKA juga menilai bahwa kebohongan merupakan suatu perbuatan yang sangat keji, karena bohong dapat menumbangkan suatu masyarakat bahkan generasi tertentu. Seseorang yang tertuduh berdusta akan mencari segala cara untuk menutupi kebohongannya hingga hal tersebut menyulitkan dirinya sendiri.
Hal ini selaras dengan keadaan negara yang mempunyai tingkat korupsi yang tinggi. Negara tersebut bisa dikatakan tidak mempunyai harapan untuk maju. Sebab hakim yang berbohong saja dengan sendirinya akan menimbulkan kehilangan rasa keamanan diri kepada rakyat yang diperintah. Bangsa yang pembohong akan membawa seluruh kebangsaan dan kemuliaan negaranya tercoreng.
Oleh karena itu, masih ada harapan bagi suatu bangsa yang ingin mencapai arti hidup sebenarnya. Walaupun sedang ditimpa penyakit penakut, mungkin negara ini takut untuk mengorbankan jiwa dan hartanya. Masih ada harapan juga bagi suatu bangsa untuk mencapai arti hidup sebenarnya walaupun bangsa itu bakhil, negara ini masih ada harapan untuk sembuh atau diperbaiki.
Namun, penyakit dusta yang menjangkit suatu bangsa, sangat sulit obatnya. Entah apa yang harus dilakukan padanya. Apakah ia harus diadakan operasi terhadap jiwanya atau disingkirkan dan diganti dengan generasi baru (Irfan, 2013).
Filsafat Bohong
Dalam kajian filsafat, setidaknya terdapat empat perkara yang menjadi diskursus utama yang akan ditelusuri hakikatnya, yaitu seperti berikut:
Pertama, mencari yang benar, lawannya adalah salah.
Kedua, mencari yang baik, lawannya ialah yang buruk.
Ketiga, mencari yang indah, lawannya ialah yang jelek.
Keempat, mencari Yang Suci, atau Yang Mahasampurna, lawannya tentu yang tidak sempurna.
Dalam tulisan ini, jika kita mencari perbandingan antara jujur dan bohong (dusta), maka kita dapat menemukannya pada kajian filsafat yang pertama, yaitu antara mencari yang benar dan menjauhi yang salah. Sikap jujur adalah benar dan sikap bohong adalah salah.
Apabila kita ingin mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, ada baiknya kita harus mempelajari semua ilmu pengetahuan. Hakikatnya segala ilmu berfungsi untuk mengasah pikiran, seperti ilmu pasti, termasuk ilmu ukur, matematika, dan apabila penelitian kita terhadap ilmu alam bertambah dalam, niscaya kita akan menemukan hakikat kebenaran.
Sebagai analogi. Yang benar adalah dua-kali-dua, sama dengan (2×2 =4). Bagaimanapun kita menonjolkan suatu hitungan yang menyatakan bahwa dua-kali-dua sama dengan lima, tidaklah akan bertemu selamanya, karena memang tidak ada. Jika dihitung juga, tetap salah.
Karena itu, jika bertambah tinggi kecerdasan seseorang, bertambah sulitlah baginya berdusta karena akan sangat cacat secara idealita maupun praksis bilamana mengada-adakan perkara yang tidak ada. Barulah manusia terlepas daripada kepayahan hati karena melawan akal itu. Jika dia kembali pada kebenaran, yaitu mengakui bahwa yang dikatakannya ada itu pada hakikatnya ialah tidak ada.
Maka dari itu, dapat dipastikan bahwa semua perbuatan yang salah adalah bisa dikatakan dusta juga karena ia mendustai kebenaran.