Review

Francis Fukuyama Bicara Masalah Politik Identitas

3 Mins read

Buku Indentitas: Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian

Dunia modern telah membawa manusia pada peradaban yang sangat revolusioner seperti bagaimana dunia modernitas menjadi proyek yang konstruktif dan bertransformasi melahirkan era baru yaitu revolusi industry 4.0 atau mungkin setelah ini kita akan hadir era yang lebih baharu lagi? Entahlah.

Sederet historiografi zaman di atas menjadi petanda bahwa manusia bertanggung jawab atas tatanan hidup sosialnya sebagai jalan mengarungi hidup sepanjang zaman yang akan dilaluinya.

Di samping itu, tentu tidak bisa lepas daripada relasi-relasi yang ada seperti kekuasaan, politik, dan kepentingan-kepentingan lain yang menjadi bagiannya.

Sebuah catatan investigatif menarik dan mengejutkan lahir dari tangan seorang sosiolog Amerika bernama Francis Fukuyama, dengan judul bukunya Indentitas: Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian yang ditulis sangat provokatif dengan tebal 264 halaman.

Lewat analisis di atas Francis Fukuyama manawarkan sebuah analisis yang sangat tajam dan dialektis melihat realitas sosial yang terjadi, terutama pada tatanan politik kekusaan dengan narasinya liberalisme yang lahir dari rahim dunia modern. Sebagai dunia yang sering di damba-dambakan oleh masyarakat kebanyakan terutama pemangku kekuasaan.

Membedah Liberalisme

Secara genealogi, munculnya dunia liberalisme benar-benar memberi kejutan dahsyat terhadap kehidupan sosial manusia, yang ditopang oleh seperangkat ideologinya yaitu kebebesan, kemajuan, persaingan, hingga menyulap dunia penuh dengan perbuahan di dalamnya.

Liberalisme dengan kemungkinannya mampu menjadikan dunia dan isinya bebas kontrol dan berada dalam persaingan tanpa sekat-batas, agenda saling menyingkirkan, menindas, mengusirnya di dalam arena sosial sudah hal biasa dan mengasyikkan. Selain itu juga, sebagai sebuah peradaban baru liberalisme begitu mudah sekali diterima di kalangan masyarakat.

Dari sini Francis Fukuyama mencoba membedah liberalisme dengan latar persoalan-persoalan yang ada di dalamnya seperti kekuasaan, identitas, martabat, dan relasinya dengan politik yang kemudian dikonsumsi oleh publik secara serampangan.

Baca Juga  Serat Sasanasunu: Tata Krama Jawa Sejalan dengan Syariat Islam

Dalam sesi buku yang disajikan, Francis Fukuyama sangat imajinatif dan reflektif menulis, terlihat di awal pengantarnya yang sangat berani menyoroti kekuasaan negeri paman sam dan menyampaikan bahwa “Buku ini tidak akan saya tulis seandainya Donald Trum tidak menduduki gedung putih sebagai presiden terpilih pada November 2016 lalu”.

Dengan khas penyajiannya, Francis Fukuyama juga menyusun daftar isi bukunya menjadi empat belas sub BAB, guna menafsirkan fenomena-fenomena politik yang relasinya dengan kekuasaan bersifat praktis dan konstelasianya adalah identitas.

Menyinggung Narasi Kampanye “Make America Great Again”

Sehingga narasi-narasi di balik realitas sosial mulai dari kekuasaan, kepentingan, penindasan, hingga pada praktik tidak rasional dan dorongan kebencian mampu diungkap secara jernih dan objektif.

Salah satu yang mejadi objek kajian daripada Francis Fukyama adalah narasi-narasi kampanye “Make America Great Again” yang sering diteriakkan oleh Donald Trump sebagai representasi seorang pembaharu masa depan Negara Paman Sam dan sang pemberi harapan kehidupan menjanjikan.

Dengan berbagai hiruk pikuknya realitas sosial politik pada masa kontestasi Donald Trump saat itu, Francis Fukuyama mengurainya sangat hati-hati, bagaimana narasi politik identitas itu sendiri muncul? Apa konsekwensinya terhadap Negara demokrasi? Dan bagaimana martabat manusia harus tunduk pada kepentingan politis dan persoalan-persoalan sosial lainnya.

Memberikan Nilai Alternatif

Dari isi dan ulasannya yang sedikit serat kritik, Francis Fukyama berusaha untuk tetap memberikan nilai alternatif daripada tujuan kehadiran bukunya yaitu penting membangun paradigma kritis dalam melihat persoalan sossial sebagai pisau analisa dalam mendongkrak fakta-fakta politik kekuasaan yang bernuansa pada ujaran kebencian.

Jika penulis boleh menelaah lebih jauh dari argumentasi di atas, pembaca menilai bahwa Francis Fukuyama mungkin benar-benar gerah dengan narasi besar yang datang dari kekuasaan. Melihat betapa buruknya praktik-praktik kehendak diri manusia untuk mempertahankan kekuasaannya dengan menegasikan martabat sesamanya.

Baca Juga  Teologi Al-Maun versus Teologi Al-'Ashr

Seperti yang digambarkan dalam ulasannya tentang kisah yang terjadi pada 17 Desember 2010 yaitu seorang pedagang kaki lima bernama Mohammed Bouazizi kerena dianggap tidak memiliki izin, harus ditampar di depan umum oleh seorang polisi perempuan bernama Faida Hamdi, yang menyita timbangan elektroniknya dan juga meludahi wajahnya.

Karena Mohammed Bouazizi merasa dihinakan dan tidak mendapatkan pelayanan yang baik dari negaranya, pada akhirnya Mohammed Bouazizi menyiram dirinya dengan bensin dan membakar tubuhnya seraya berteriak “Anda ingin saya mencari nafkah dengan cara bagaimana?” (hlm. 48).

Tantang kasus di atas kita melihat bagaimana martabat sebagai entitas daripada diri manusia yang seharusnya menerima perlakuan adil semunya menjadi hina dan tak bernilai karena harus melawan tuduhan kebencian dari buruknya praktik kepentingan kekuasaan yang tak berperikemanusiaan.

Identitas di Era Modern

Tentu, sebagai seorang ilmuan yang pengaruhnya sangat besar, dan konsennya di bidang ilmu sosial Francis Fukuyama tidak lupa memberikan catatan kritis bahwa fenomena identitas tidak hanya terbatas pada tafsir memperjuangkan martabat.

Seiring perkembangan dunia modern wujud identitas sudah mulai bertransformasi terlebih ketika duduk dengan yang namanya teknologi, agama, ras dan relasi lainnya. Maka, tidak bisa kita menutup mata untuk menyingkap mengurai apa itu identitas pada konteks era sekarang.

Kemudian Francis Fukuyama memberi pesan pula bahwa “Identitas tidak hadir bersama sejak lahir dan melekat dalam diri kita, karena identitas mempunyai dua potensi; yaitu sebagai upaya untuk membangun integritas diri, jika tidak iya hanya terjerumus pada cara memecah belah dunia sosial manusia” (hlm. 211).

Karenanya secara alamiah, adanya identitas dalam diri manusia tidak memiliki orientasi politis dan kepentingan sama sekali, hanya karena harus berselingkuh dengan kekuasaan, kepitalisme, dan ideologi semuanya mempunyai potensi dan menjelma menjadi identitas yang melahirkan praktik politik kebencian tak berkesudahaan.

Baca Juga  Mulat Sarira: Muhasabah Diri ala Islam Jawa

Judul Buku: Indentitas: Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian

Pengarang: Francis Fukuyama

Penerbit: Bentang

Tahun terbit: Maret 2020

Halaman: 264

Editor: Yahya FR

Sareadi
2 posts

About author
Mahasiswa Theology and Philosophy UIN Walisongo
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *