Berlandaskan gagasan dari Edward Said mengenai pos-kolonialisme, seorang feminis asal India, yakni Gayatri Spivak berupaya membongkar gagasan-gagasan feminisme ala Barat, atau masyarakat oksidental.
Menurutnya, apa yang diproduksi terkait feminisme dari Barat, belum tentu mampu menjawab permasalahan-permasalahan perempuan Timur dalam artian masyarakat oriental.
Siapakah Gayatri Spivak?
Gayatri Chakravorty Spivak adalah seorang cendikiawan yang dilahirkan di Kolkata, India pada 24 Februari 1942. Ia merupakan seorang ahli teori sastra India, kritikus feminis, ahli teori poskolonial, dan profesor sastra komparatif yang tidak sedikit terpengaruh oleh gagasan dekonstruksi dari filsuf Prancis yakni Jacques Derrida.
Spivak lahir dari lingkungan intelektual. Ayahnya merupakan seorang proto-feminis, sedangkan Ibunya juga merupakan seorang feminis. Perempuan yang berasal dari keluarga kelas menengah ini, menyelesaikan sarjananya di University of Calcutta, India pada tahun 1959. Sedangkan gelar master dan doktornya didapatkan dari Cornell University pada tahun 1967.
Antara Feminisme Barat dan Timur
Sebagaimana yang disinggung sebelumnya terkait feminisme dalam bidang poskolonialisme, bahwa perempuan-perempuan dari negara Barat bisa saja memiliki kesadaran sosial untuk memperjuangkan hak ekonomi dan hak politik. Serta tidak mengalami opresi secara kultural dari masyarakat. Ini merupakan gagasan-gagasan mapan dari feminisme yang berkembang dan diwacanakan di negeri Barat.
Namun pertanyaannya adalah, apakah perempuan-perempuan di seluruh dunia, termasuk perempuan oriental juga memiliki kesadaran yang sama dengan perempuan oksidental? Apakah perempuan oksidental juga menyadari dan memahami juga kondisi sosial yang terjadi di perempuan oriental?
Inilah yang diresahkan oleh Gayatri Spivak. Menurutnya, bisa saja sesama perempuan tapi tak mampu menghargai pengalaman dan kebutuhan yang dimiliki oleh perempuan lainnya, dalam kasus ini adalah perempuan Timur.
Secara lebih spesifik, melalui karyanya Can the Subaltern Speak, Spivak (1988) mengungkapkan bahwa tidak mungkin bagi para intelektual Prancis kontemporer untuk membayangkan jenis kekuatan dan keinginan yang dimiliki oleh subjek (perempuan) yang tidak disebutkan namanya dari negara lain di luar Eropa.
Meskipun feminisme oksidental berusaha untuk membebaskan perempuan dari cengkraman patriarki, termasuk mereka yang dari masyarakat oriental, namun pendekatan Barat masih dianggap kurang sensitif untuk memahami sosio-kultural yang hadir pada masyarakat oriental.
Spivak memiliki gagasan apa yang disebutnya sebagai “subaltern”. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Kurniawan (2020) bahwa “Alterity” dapat dipahami sebagai sesuatu “yang berbeda,” atau “sang lain” (the stranger).
Sedangkan “sub-altern” dapat dipahami sebagai sesuatu yang tidak hanya “berbeda” (alter), melainkan juga berada di posisi yang “lebih rendah” atau yang “terbelakang” (sub-).
Secara lebih spesifik, di sebuah tulisan Spivak (2009) yang berjudul Nationalism and the Imagination, ia menjelaskan bahwa orang-orang subaltern yang dibicarakannya adalah masyarakat yang hidup di masa sekarang, tetapi masih berada dalam kondisi sosial pra-modern. Bahkan dalam dalih nasionalisme, subaltern justru dikontrol di ruang publik.
***
Inilah yang dialami oleh perempuan oriental, bahwa mereka dianggap sebagai sosok yang tidak hanya “berbeda” (alterity) dengan perempuan oksidental, tetapi juga mereka “diabaikan” atau “direndahkan” (sub-ordinate).
Masyarakat oksidental bisa saja berkoar mengenai hak-hak perempuan di Barat, namun belum tentu mereka peduli secara sensitif dengan kondisi sosial yang dialami perempuan oriental di Timur.
Wacana yang selalu diproduksi oleh masyarakat oksidental adalah mereka merasa bertanggungjawab dengan menghasilkan gagasan feminisme versi mereka, untuk membebaskan perempuan oriental dari opresi yang berkembang di budaya maupun agama di Timur. Inilah yang dikritik oleh Spivak bahwa terdapat superioritas budaya Barat pada budaya Timur, sekaligus sistem patriarki dan feminisme ala Barat yang masih kurang sensitif dengan konfisi perempuan di Timur.
Ambillah contoh sederhana mengenai penggunaan hijab. Jika mengikuti feminisme ala Barat, hijab adalah sesuatu yang mengekang, mengontrol, yang diproduksi oleh agama maupun budaya yang berkembang pada masyarakat oriental. Sehingga seharusnya bagi feminisme ala Barat perempuan oriental perlu dibebaskan dari atribut agama tersebut.
Dalam konteks hijab ini, feminisme ala Barat tidak jauh-jauh terpengaruh oleh sosio-kultural dari masyarakat oksidental yang sekuler, sehingga secara ambisius ingin membebaskan perempuan dari agama secara total. Sedangkan sosio-kultural masyarakat oksidental ini tentu saja berbeda dengan masyarakat oriental, yang lebih menganut budaya dan religiusitas tertentu.
Perempuan oriental bisa saja menganut feminisme, tanpa harus melepaskan hijabnya. Pasalnya, feminisme tidak begitu mempersoalkan atribut, melainkan lebih melawan sistem patriarki, dalam wujud tindakan, pola pikir, kebijakan, ideology, dan lainnya yang membelenggu perempuan.
Sekali lagi, Barat adalah Barat, yang melihat Timur dari kacamata Barat dengan memposisikan lebih superior. Oleh karenanya, perempuan oriental seharusnya mampu melihat dan melahirkan feminisme ala mereka sendiri yang sesuai dengan pengalaman dan kondisi sosial yang mereka alami, dan tentu saja tanpa terpengaruh oleh pemikiran feminisme ala Barat.
Sumber
Kurniawan, Kevin Nobel. 2020. Kisah Sosiologi: Pemikiran Yang Mengubah Dunia Dan Relasi Manusia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Spivak, Gayatri. 1988. “Can the Subaltern Speak?” Pp. 271–313 in Marxism and The Interpretation of Culture. Basingstoke: Macmillan Education.
Spivak, Gayatri. 2009. “Nationalism and the Imagination.” Lectora 15:75–98.