Tafsir

Tiga Sumbangsih Sarjana Barat Terhadap Studi Al-Qur’an

4 Mins read

Kajian-kajian Barat tentang Islam memang masih menjadi perbincangan hangat publik. Titik perdebatannya adalah, sekali pun kata “Islam” diartikan secara sistematis, masih saja tetap dipersoalkan jika ia dapat digunakan sebagai kategori untuk menjelaskan sejarah masyarakat yang kebanyakan penduduknya adalah Muslim. Terdapat keengganan di kalangan banyak ahli untuk menggunakan ketegori “Islam” dan sebaliknya menggunakan kategori “Muslim”.

Oleh karena itu, banyak dijumpai judul karya “sejarah masyarakat (umat) Muslim” daripada “sejarah Islam”, atau “dunia Muslim” daripada “dunia Islam”. Dengan demikian, dapat diakui adanya distansi antara Islam dengan realitas empiris, sosiologis, dan historis masyarakat-masyarakat penganut Islam. Terlepas dari masalah relevan atau pun tidak, hal ini mengisyaratkan terdapatnya semacam problem dalam kategori “Islam” itu sendiri.

Dalam mengkaji kandungan Al-Qur’an, kajian sarjana Barat juga cukup memiliki andil. Sudah semestinya, ketertarikannya kepada Al-Qur’an menjadikan mereka berkeinginan untuk merefleksikan sistem keilmuannya yang dipoles berdasarkan metodologi-metodologi sistematis dan radikal. Maka, artikel ini tertarik dengan pembahasan tentang kajian sarjana Barat terhadap kandungan Al-Qur’an sekaligus kontribusinya kepada khazanah intelektual Islam.

Sarjana Barat dan Al-Qur’an

Kajian sarjana Barat terhadap kandungan Al-Qur’an, dimulai dari penerjemahan Al-Qur’an oleh Peter the Velnerable, Abbot of Clunny, dalam kunjungannya ke Teledo pada seperempat abad ke-20.

Ia menaruh perhatian pada masalah Islam, kemudian mengumpulkannya dan membaginya ke dalam komite untuk menghasilkan pelbagai seni karya sekaligus membentuk dasar ilmiah guna menggapai Islam secara akademik.

Hal ini merupakan terjemahan Al-Qur’an yang dihasilkan oleh Robert Ketton pada bulan Juli 1143 M. Namun, terjemahan ini beserta karya-karyanya tidak melahirkan perkembangan dalam kajian-kajian Islam secara ilmiah.

Banyak penelitian yang ditulis ketika memasuki dua atau tiga abad sesudahnya, tetapi Islam sendiri menjadi musuh, bahkan di waktu bersamaan justru dikagumi, serta apa yang ditulis hampir secara spesifik bersifat apologetik dan polemik.

Baca Juga  Bagaimana Resep Bahagia dalam Al-Qur’an?

Adapun kajian kritis terhadap Al-Qur’an, muncul setelah adanya penelitian tentang sejarah. Selain Richard Bell dalam bahasa Inggris, sarjana Prancis bernama Regis Blachere (1949 – 1951) dan sarjana Jerman bernama Rudi Paret (1962), dapat dikatakan sebagai sarjana Barat yang mengkaji kitab suci umat Islam. Artinya, sarjana Barat menganggap esensi Al-Qur’an berbeda dengan keyakinan umat Islam pada umumnya.

***

Pada kajian sejarah, yang sebelumnya disinggung sebagai klaim kritis munculnya kajian komprehensif terutama wujud atas adanya Al-Qur’an, seorang tokoh terkemuka orientalis asal Autralia, Arthur Jeffery (1959) memberi pernyataan bahwa tidak ada yang istimewa mengenai sejarah Al-Qur’an. Sejarahnya sama saja dengan kitab-kitab suci lainnya. Al-Qur’an menjadi teks standar dan dianggap suci, padahal sebanarnya ia telah melalui beberapa tahap.

Menurut Jeffery, sebuah kitab dapat dianggap suci, karena tindakan masyarakat (the action of community), yakni tindakan komunitas masing-masing agama. Lantas, pada hakikatnya, komunitas tersebut yang mampu menentukan masalah kesucian sekaligus mengumpulkan berbagai manuskrip untuk kegunaannya sendiri, sehingga hal yang dirasakan adalah mendengar suara keagamaan yang otentik dengan pengalaman-pengalaman khususnya.

Antusias sarjana Barat dalam mengkaji kandungan Al-Qur’an, simpulannya terfokus pada kajian pembentukan teks Al-Qur’an, sejarah teks, hubungan antara Al-Qur’an dengan kitab sebelumnya, dan isu-isu lain seputar Al-Qur’an. Maka bisa dipahami jika semata-mata dari tinjauan kritik dan hanya menemukan ketidaknyamanan bahasa, beserta kecurigaan lainnya di dalam Al-Qur’an, hal ini adalah fenomena wajar, yang dilakukan sarjana Barat dengan cara memakai sudut pandang ilmu-ilmu sastra dan linguistik modern.

Tiga Sumbangsih Sarjana Barat Terhadap Studi Al-Qur’an

Beberapa kajian yang sudah dikemukakan sarjana Barat, di samping melahirkan sikap radikal bagi umat Islam, juga memberi kontribusi berupa pendekatan-pendekatan yang tidak kecil. Sehingga, di antara pihak umat Islam semakin memahami eksistensi agama secara komprehensif.

Baca Juga  Ayat-ayat Pancasila dalam al-Quran

Dalam hal ini, terdapat tiga pendekatan yang berkembang sejak abad ke-19 hingga sekarang sebagai bentuk kontribusi sarjana Barat, yaitu pendekatan filologi, ilmiah, dan fenomenologi-interpretatif.

Pertama, pendekatan filologi. Secara garis besar, filologi merupakan satu disiplin yang ditunjukkan pada studi tentang teks yang tersimpan dalam peninggalan tulisan masa lampau.

Pendekatan filologi dalam pengkajian Islam sudah cukup popular ketika mengkaji naskah-naskah kuno peninggalan masa lalu. Karena, pada dasarnya objek dari pendekatan filologi ini adalah warisan-warisan keagamaan, berupa naskah-naskah klasik dalam bentuk manuskrip.

Naskah-naskah klasik tersebut meliputi berbagai disiplin ilmu, di antaranya sejarah, teologi, hukum, mistisme, dan lain-lainnya yang belum diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa sekaligus belum dimanfaatkan di negara-negara Muslim.

Alat untuk mengetahui warisan-warisan intelektual Islam tersebut, adalah bahasa, seperti halnya bahasa Arab, Persia, Turki, dan Urdu.

Kedua, pendekatan ilmiah. Secara definitif, pendekatan ilmiah adalah menganalisis objek studi dengan menggunakan metode ilmiah pada umumnya. Di antara ciri pokok pendekatan ilmiah adalah terjaminnya objektivitas dalam studi.

Jadi, terinspirasi oleh penerapan pendekatan ilmiah terhadap agama Yahudi-Kristen, sarjana Barat pada gilirannya menerapkannya terhadap Al-Qur’an, sirah (perilaku kehidupan Nabi), hadis, syariah, dan kalam.

Studi Islam telah didekati melalui pendekatan ilmiah. Penerapannya terhadap Al-Qur’an, hadis, dan syariah, tentu bertentangan dengan pandangan kalangan umat Islam pada umumnya.

***

Meskipun orientalis mengkalim bahwa pendekatan ilmiah bersifat imparsial, tidak bias, bahkan objektif, tetapi pada prinsipnya pendekatan ini dipenuhi dengan pengalaman keagamaan dan budaya mereka sendiri.

Ketiga, pendekatan fenomenologi-interpretatif. Menurut Connolly (1999), fenomenologi diterapkan dalam kajian ilmiah terhadap agama melalui pendekatan teologis. Pendekatan fenomenologi berfokus kepada pemaknaan individu, dikenal juga dengan pendekatan interpretatif. Artinya, setiap individu dalam suatu kelompok dapat memiliki perbedaan dalam menginterpretasikan sesuatu.

Baca Juga  Virus Covid-19 dan Salah Paham Tentang Takdir

Dalam studi Islam, pendekatan fenomenologi tidak hanya dipahami pada pengertian historis dan doktrin saja, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk normal, namun telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas publik, ekonomi, dan bagian interpretatif dari perkembangan dunia.

Pendekatan ini dinilai sebagai metodologi yang ramah, eccountable, dan empatik dalam studi Al-Qur’an, karena berdasarkan pada prinsip pemahaman Al-Qur’an menurut keyakinan umat Islam itu sendiri.

Demikian tadi penjelasan tentang beberapa pendekatan yang telah terklaim sebagai kontribusi sarjana Barat terhadap khazanah intelektual Islam. Cukup reflektif ketika dimaknai sedemikian rupa. Karena, pada hakikatnya mengandung nilai positif dalam merefleksikan esensi agama yang semata-mata harus dipahami secara dialektik. Artinya, mengasumsikan bahwa suatu penafsiran harus terus menerus dilakukan dan tidak pernah mengenal arti final.

Editor: Yahya FR

M. Zulfikar Nur Falah
22 posts

About author
, Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur'an dan Sains Al-Ishlah
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *