Oleh : Mohammad Ali Yafi
Akibat revolusi industri 4.0 yang yang menyajikan informasi secara cepat, instan dan mudah menjadikan perilaku masyarakat mengalami perubahan. Di mana masyoritas masyarakat milenial adalah anak muda, yang hidupnya tak lepas dari gawai (gadget). Menurut Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional tahun 2017, Indonesia adalah rumah bagi 63,36 juta jiwa anak muda, jumlah tersebut merupakan seperempat dari total penduduk Indonesia.
Ironinya generasi milenial ini seringkali dipersepsikan sebagai generasi apatis, individualis dan egois. Ada juga yang menyebutnya sebagai generasi menunduk: karena terlalu banyak waktu dihabiskan untuk memegang gawai. Generasi milenial dianggap antisosial. Tidak banyak yang melihat betapa hebatnya semangat kepedulian, empati dan welas asih kemanusiaan yang dilakukan mereka melalui smartphone mereka.
Beberapa Kasus Perundungan
Tak dapat dipungkiri, persoalan perundungan (bullying) telah mencederai budaya empati generasi milenial. Data yang dirilis oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyebut setidaknya dalam kurun waktu 2011-2016 telah terjadi sebanya 1024 kasus perundungan yang melibatkan anak sebagai pelakunya. Tertinggi terjadi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Bandung yang mencapai 487 kasus, kemudian Sumatera Utara 37 kasus, Aceh 35 kasus, Jawa Timur 32 kasus, Sumatera Barat 30 kasus, serta Lampung 22 kasus.
Masih segar dalam ingatan, kasus perundungan Yuyun (14) – seorang siswi SMP di Padang Ulak Tanding, Bengkulu – pada tahun 2016 yang dikeroyok, diperkosa, dianiaya hingga mengakibatkan dirinya meninggal dunia. Belum lagi kasus yang terjadi di Thamrin City, Jakarta tahun 2017 lalu. Kasus yang sempat viral dalam sebuah video berdurasi 50 detik di media sosial tersebut menimpa seorang siswi SMP.
Siswi tersebut berada dalam kerumunan peserta didik lain dan mendapatkan kekerasan. Di akhir video, korban dipaksa mencium tangan siswa dan siswi yang merundungnya. Kasus tersebut menjadi cermin bahwa kurangnya empati ditengarai sebagai salah satu faktor tindakan perundungan (Jollife dan Farrington 2006; Lamia 2010).
Media sosial, bisa saja menjadi faktor buruk yang dapat mencederai empati seperti yang dialami oleh Amanda Todd. Seorang gadis yang melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri pada tahun 2012 di British Columbia, Kanada. Amanda merupakan korban perundungan secara langsung melalui internet oleh teman-temannya dalam kurun waktu yang cukup lama.
Bahkan ia sempat pindah dari sekolahnya untuk menghindari hinaan yang dilayangkan kepada dirinya. Sebelum ia mengakhiri hidupnya, ia sempat mengunggah video berisi ungkapan perasaan mengenai penderitaan yang ia alami ke salah satu situs berbagi video dengan judul My Story: Struggling, Bullying, Suicide and Self Harm pada Oktober 2012. Video tersebut tersebar luas hingga pemerintah Kanada kemudian mengeluarkan Undang-Undang cyber-bullying.
Media Sosial dan Empati
Apakah media sosial dapat berperan meningkatkan empati di kalangan anak muda? Data Statistik Pemuda Indonesia 2017 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik Nasional Indonesia 2017, tingkat penetrasi internet pemuda tertinggi ada pada kelompok umur 16-18 tahun, yaitu sebesar 72,86%, disusul kelompok umur 19-24 tahun sebesar 67,63%, dan kelompok umur 25-30 tahun sebesar 54,17%.
Sementara itu, dilansir dari data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet, di tahun 2017, jumlah pengguna internet tahun 2017 mencapai 143,26 juta jiwa; meningkat dari 132,7 juta jiwa di tahun 2016. Sementara, komposisi jumlah pengguna internet berdasarkan usia yakni 16,68% (usia 13-18 tahun), 49,52% (19-34 tahun), 29,55% (35-54 tahun), 4,24% (>54 tahun).
Hasil survey ini juga memberikan gambaran mengenai penetrasi pengguna internet berdasarkan usia yakni usia 13-18 tahun (75,50%), usia 19-34 tahun (74,23%), usia 35-54 tahun (44,06%), serta usia lebih dari 54 tahun (15,72% ).
Intensitas penggunaan internet di Indonesia bagi anak muda, dapat menumbuhkan dan memupuk budaya empati. Cukup banyak aplikasi daring yang lahir dalam rangka semangat saling membantu, meringankan beban orang lain, dan sebagainya. Hal ini tentu berbanding lurus dengan rasa empati.
Sebut saja kitabisa.com, change.org, Ice Bucket Challenge yang pernah vial secara online beberapa waktu lalu. Beberapa contoh lain seperti maraknya penggalangan dana yang tersiar melalui internet dan What’sApp Group.
Seperti kasus perundungan yang dialami oleh Yuyun di atas, keprihatinan publik tersita hingga bergaung tagar #NyalaUntukYuyun di jagat maya, khususnya Twitter saat itu. Juga kasus perundungan terhadap peserta didik di Thamrin City yang diketahui publik setelah viralnya video tersebut.
Di kolom komentar, netizen – sebutan untuk pengguna internet khususnya media sosial – turut menyuarakan komentar supportive untuk korban, serta kecaman bagi pelaku perundungan di saat yang sama. Atau, seperti dukungan publik melalui tagar #PrayForPalu menggaungkan kesedihan masyarakat Indonesia bahkan beberapa tokoh tenar dunia untuk korban gempa dan tsunami yang terjadi di daerah tersebut. Dengan demikian, selain dukungan moral, mengalir pula dukungan materiil bagi korban.
Empati Multikultural
Ada dua hal yang perlu digaris bawahi dari penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial – Universitas Muhamamdiyah Surakarta (2018) tentang Budaya Empati pada Generasi Z.
Pertama, peran keluarga merupakan faktor krusial dalam memupuk empati. Namun, hal lain yang juga perlu menjadi catatan ialah, generasi muda perlu terpapar dengan dunia luar yang juga turut berperan dalam pembentukan empati dalam dirinya. Jika ia hanya ditimang-timang dengan segala fasilitas yang ia terima dari keluarganya, tampaknya budaya empati juga sulit tumbuh berkembang dalam diri pemuda tersebut.
Kedua, lingkungan sekolah juga penting dalam rangka menumbuhkan empati. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan untuk mencapai cita-cita ini seperti integrasi budaya empati dalam materi pembelajaran perlu didekatkan dengan kehidupan sehari-hari. Program bakti sosial ke daerah terdampak bencana alam, panti asuhan, dan panti jompo dapat memberikan rasa kemanusiaan dan persaudaraan. Selain itu kegiatan kerohanian juga menjadi salah satu cara menumbuhkan dan memupuk budaya empati.
Anak muda dalam menghadapi pelbagai pola masyarakat global meniscayakan etika kosmopolitan. Dalam masyarakat maya adanya dialog tulus menjadi sebuah keniscayaan. Pemimpin agama perlu menggunakan beberapa bahasa dalam berkomunikasi yang dapat dengan mudah dimengerti dan diterima oleh kelompok milenial terutama empati diajarkan kepada seluruh pemeluk agama.
Eksklusifitas beragama bisa saja membuat masyarakat mudah menyalahkan orang lain. Sehingga mudahnya menunjuk wajah orang lain dengan ungkapan kafir, bid’ah, dll. Dalam hal ini, tentu, masyarakat butuh pandangan keagamaan yang inklusif. Pendidikan agama yang mengajarkan “cinta” dan etos welas asih sesama manusia.
Pandangan agama yang terbuka penting untuk menyemai indahnya hidup berbeda, juga menumbuhkan budaya empati sesama manusia dan kelompok. Budaya empati dapat menjembatani perbedaan yang kuat antara “kamu” versus “aku”, serta “mereka” versus “kami”. Budaya empati dapat meningkatkan rasa saling menghormati atas perbedaan ras, suku, kelas, gender, dan agama.