Gus Dur I Humor sejak dahulu kala hingga hari ini telah menjadi bagian hidup manusia. Dalam hidup humor telah menjadi “jeda” bagi aktivitas kekakuan. Humor telah menjelma bagaikan air di tengah keringnya gejolak tawa. Maka tidak heran jika banyak orang yang menjadikan humor sebagai spirit dalam menjalani hidup yang penuh kekakuan.
Bahkan ada yang menjadikan humor sebagai bahan kritik diri dan sosial. Dalam sejarah dunia, banyak sekali tokoh-tokoh yang menjadikan humor sebagai kritik atas fenomena sosial dan diri. Diantaranya Charlie Chaplin dan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Di Indonesia, Gus Dur bukan saja dikenal sebagai ulama yang berstatus wali, melainkan juga dikenal sebagai kiai yang memiliki selera humor yang tinggi. Bahkan selera humornya sampai ke mancanegara. Humor Gus Dur bukanlah meminjam istilah anak zaman sekarang sebagai “humor yang receh”. Melainkan humor yang penuh makna, filosofi, dan tentunya kritik.
Bukan tanpa alasan Gus Dur menjadikan humor sebagai kritik, karena memang di tengah-tengah manusia yang memandang hidup ini terlalu serius. Lalu beliau hadir dengan humornya memecah keseriusan dan ketegangan dalam hidup.
Di tengah-tengah kehidupan yang penuh keseriusan dan ketegangan, terutama berkaitan dengan fenomena sosial dan politik. Banyak orang menyampaikan kritik sosial menggunakan berbagai cara, salah satunya adalah humor.
Gus Dur pun menggunakan humor sebagai kritik, sebagaimana dikatakan oleh Alissa Wahid, salah satu putrinya mengatakan bahwa humor-humor dalam hidup ayahnya itu adalah cara beliau menjaga kewarasan manusia di tengah pahitnya realita kehidupan. Dia tidak hanya menggunakan humor sebagai metode merawat kewarasan, tapi juga sebagai cara beliau mengkritik pemerintahan.
Gus Dur dan Humor
Dalam sejarah dunia, rata-rata bangsa yang memiliki peradaban tinggi cenderung mempunyai selera humor yang baik. Persia memiliki Abu Nawas, Turki memiliki Nasrudin Hodja, sedangkan Indonesia memiliki Gus Dur yang identik dengan humor.
Hakikat pemikiran Gus Dur adalah humor. Gus Dur dan humor bagaikan sisi mata uang. Menurut Susanto, memisahkan Gus Dur dari lelucon ibarat memisahkan rasa manis dari gula atau memisahkan asin dari garam.
Maka tidak heran ketika ditanya tentang kemahirannya tentang berguyon, Gus Dur, berkata, “di pesantren, humor itu jadi kegiatan sehari-hari. Dengan humor atau lelucon, kita bisa sejenak melupakan kesulitan hidup, dengan humor pikiran kita jadi sehat”.
Latar belakang tradisi pesantren NU yang sederhana telah mencetak pribadi Gus Dur yang kaya humor. Kehidupan pesantren desa tempat para santri tidur di asrama, makan bersama, dan mencuci baju. Kesederhanaan ini diungkapkan oleh santri dalam tradisi humor.
Humor sebagai obat mujarab penenang hati tanpa seseorang merasa sakit hati. Gus Dur menimba ilmu humor dari lingkungan tersebut. Zikra dalam bukunya menulis bahwa karena kitab-kitab kuning klasik lah membuat beliau bersahabat dengan sosok humoris sufi klasik seperti Nasrudin Hodja dan Abu Nawas.
Meski sosok seperti Hodja dan Abu Nawas dianggap orang yang “kurang waras” karena sikap leluconnya. Tetapi orang-orang ini mampu menertawakan segala persoalan atas dasar realitas dan kenyataan.
Humor Gus Dur bukanlah humor “receh” yang banyak bertebaran di mana-mana. Tetapi humor yang mengandung pesan moral sekaligus kritik sosial. Dalam berbagai penjelasan mengenai humor, humor bukan saja menciptakan gelak tawa.
Sebagaimana yang dikatakan Jaya Suprana bahwa humor biasanya tumbuh di suasana kontradiktif dan munafik, dimana realita tidak sesuai bahkan bertolak belakang dengan apa yang diidamkan. Menurut Susanto, maka tak heran apabila salah satu masalah yang sering menjadi bulan-bulan humor adalah politik.
Humornya Sampai Ke Jerman
Berbagai diksi humor yang dilontarkan oleh Gus Dur dirangkum dalam berbagai buku. Rata-rata menyinggung atau mengkritik persoalan-persoalan yang berkaitan dengan politik dan agama. Salah satunya adalah buku kumpulan humor beliau yang berbahasa Jerman berjudul “Lachen mit Gus Dur: Islamischer Humor aus Indonesien”.
Humor yang dilontarkan Gus Dur bukan saja mengenai soal tertawa, tetapi telah menjadi sesuatu yang membuat orang-orang Jerman mengenalnya. Sebagaimana disampaikan oleh Duta Besar RI untuk Jerman Arif Havas Oegroseno yang mengatakan “Dari yang saya temui, akademisi, para pakar, dan juga kalangan pengusaha di Jerman mengenal beliau sebagai tokoh humoris yang mampu memperkuat toleransi beragama”.
Menurut Arif dalam poroskalimatan.com, sebab dari sisi budaya di Eropa, humor dan kecerdasan berjalan beriringan.
Tanpa peduli hierarki dan tatanan sosial, Gus Dur mampu menelanjangi kehidupan dan fenomena sosial politik dengan humor. Meskipun terlihat sinis dan sarkastis. Kebenaran bisa terkuak dari sebuah guyonan seorang Abdurrahman Wahid.
Adapun salah satu contoh humor itu berjudul, “Perbedaan Antara Neraka Orang Jerman dan Indonesia”. Diceritakan ada seorang warga Indonesia meninggal masuk neraka. Di sana ia mendapati rupanya terdapat neraka yang berbeda bagi tiap negara.
Orang itu lantas pergi ke neraka orang-orang Jerman dan bertanya; “kalian diapain saja di sini?”. Jawaban orang-orang Jerman itu, “kita didudukkan di atas kursi listrik selama satu jam, lalu dibaringkan di atas ranjang paku selama satu jam. Dan setan Jerman muncul memecuti kami sepanjang hari”.
Setelah itu ia pergi ke neraka orang Indonesia dan bertanya hal yang sama; “kalian diapain saja di sini?”. Jawaban orang Indonesia itu ternyata sama dengan apa yang dialami oleh orang-orang Jerman.
Tetapi yang membuatnya terkejut, kenapa antrian ke neraka orang Indonesia sangat banyak? Salah satu orang menjawab, “hal itu karena maintenance-nya payah banget, kursi listrik pada tidak nyala, ada yang mencuri seluruh paku dari ranjang, dan setannya adalah mantan pegawai negeri, jadi ia cuma datang, tanda tangan absen, lalu pergi ke kantin”.
Meski terlihat “konyol” tetapi kenyataan itu benar adanya. Inilah salah satu bentuk kritik sosial Gus Dur yang berbalut humor.
Humor Sebagai Kritik Sosial
Kritik sosial yang serupa juga ada dalam berbagai negara terkait sistem pemerintah, sosial, dan politik. Sebagaimana yang ditulis oleh Nino Oktorino dalam buku berjudul, “Mati Ketawa Ala Nazi” tahun 2017. Di mana dalam salah satu humornya Nino Oktorino menceritakan bahwa pada suatu waktu Hitler berkunjung ke sebuah rumah sakit jiwa.
Begitu melihat Hitler, serentak para staff dan pasien rumah sakit memberi salam ala khas Nazi. Tetapi ada satu pasien tidak memberi salam, seperti yang lain. Alasan pasien itu tidak memberi salam adalah karena ia seorang perawat, bukan orang gila seperti mereka.
Editor: Fakhri Ilham S