Inspiring

Gus Iqdam, Gus Milenial yang Berdakwah Secara Inklusif

3 Mins read

Di media sosial, ceramah-ceramah Gus Iqdam turut meramaikan berbagai platform di samping dai-dai muda lainnya. Gus Iqdam juga menambah daftar jajaran dai-dai muda yang sering muncul di ruang digital sehingga namanya kian terkenal. Tergolong milenial, Gus Iqdam memilih jalan untuk mendirikan sekaligus pengasuh sebuah majelis ilmu yang bernama Sabilu Taubah. Melalui majelis ini pula dakwahnya kemudian meluas serta mendapat tempat di hati banyak masyarakat dari berbagai kalangan. Diterimanya Gus Iqdam di hati banyak kalangan tak lain karena dakwahnya yang membawa pesan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Gus Milenial

Kata “milenial” tentu sudah tidak asing di gendang telinga kita. Kata tersebut acap kita dengar. Dalam pembagian kelompok generasi, anak muda kerap disebut sebagai generasi milenial. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, generasi milenial adalah mereka yang lahir antara tahun 1981-1996 dengan perkiraan usia 24-39 tahun.

Muhammad Iqdam, begitulah nama sosok milenial ini sebagaimana tertera pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan akte kelahirannya. Ia merupakan seorang pendakwah dan dai muda asal Blitar, Jawa Timur yang saat ini usianya telah menginjak 30 tahun. Pria kelahiran 27 September 1993 ini merupakan bungsu dari empat bersaudara pasangan KH. Kholid dan Nyai Hj. Lam’atul Waridah.

Sebagai seorang yang tumbuh dalam tradisi Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi terbesar selain Muhammadiyah, ia akrab disapa dengan panggilan Gus Iqdam. Dalam tradisi nahdliyin, sapaan “gus” merujuk pada anak laki-laki keturunan kiai. Dengan rendah hati, Gus Iqdam mengatakan bahwa dirinya hanyalah orang biasa. “Kebetulan saja saya itu dipanggil gus,” ujarnya.

Tentu saja panggilan gus itu bukan kebetulan belaka. Dalam silsilahnya, Gus Iqdam merupakan cucu seorang kiai yang bernama Zubaidi Abdul Ghofur. Romo Kiai Zubaidi Abdul Ghofur merupakan mursyid tarekat yang masyhur sekaligus putra dari Kiai Ghofur, pendiri Pondok Pesantren Mambaul Hikam Mantenan Blitar. Berdasarkan nasab tersebutlah ia kemudian mulai dipanggil gus.

Baca Juga  Ignaz Goldziher: Orientalis Yahudi anti-Zionisme dan Pakar Bahasa Arab

“Jadi kalau gus secara istilah, saya itu juga belum mumpuni. Belum mumpuni dan belum pantas. Tapi saya itu dipanggil gus, ya itu, karena saya itu cucunya Romo Kiai Zubaidi Abdul Ghofur. Jadi itulah silsilah saya kenapa seorang Iqdam itu dipanggil gus, padahal rumahnya juga di desa, di pelosok, Karanggayam, tidak masyhur,” ungkap Gus Iqdam.

Di samping secara faktual memang sebagai cucu seorang kiai, dan karena itu ia dipanggil gus, Gus Iqdam menyadari secara penuh bahwa menyandang gelar gus juga butuh kepantasan. Maka dari itu ia berusaha untuk terus-menerus dan sedikit demi sedikit memantaskan diri agar gelar tersebut tidak sekadar faktor nasab. Sikap rendah hati dan tidak mengekor serta berlindung di bawah payung kebesaran garis keturunan inilah yang semestinya dapat dipetik dari Gus Iqdam terutama oleh generasi muda, dan masyarakat pada umumnya.

Inklusivitas Majelis Sabilu Taubah

Barang tentu, upaya memantaskan diri hendaknya senantiasa terus-menerus dilakukan. Pemantasan diri mesti dimaknai sebagai proses sepanjang hayat. Boleh jadi Gus Iqdam pun memaknainya demikian.

Gelar atau status sejatinya dapat diraih dengan dua cara, yakni melalui jalur biologis (biologis culture) dan jalur pencapaian atau perjuangan (struggle culture). Kanjeng Senopati (2022) dalam tulisannya bertajuk “Mengenal Sejarah Asal Usul Gus”, menuliskan bahwa biologis culture merupakan status sosial yang didapat melalui leluhur atau garis keturunan (darah). Sedangkan struggle culture merupakan suatu gelar yang didapat melalui jalur perjuangan atau personal achievement untuk meminjam istilah Buya Syafii Maarif, baik itu karena ilmu, adab, jasa, dan kontribusinya kepada khalayak luas.

Gus Iqdam berupaya mengamalkan keduanya. Meskipun ia seorang cucu kiai, Gus Iqdam turut pula melakukan ikhtiar untuk berkontribusi dan berdampak positif bagi masyarakat luas. Dalam konteks ini, Gus Iqdam seakan-akan ingin menjawab pertanyaan sinis yang sering diajukan kepada generasi milenial: anak muda bisa apa? Atau, apa kontribusi anak muda bagi bangsa?

Baca Juga  Persahabatan Erat Bung Karno dengan Mas Mansyur

Sebagai generasi milenial, Gus Iqdam memiliki kontribusi yang tak bisa dipandang sebelah mata khususnya di bidang dakwah. Pada 2018, berdasarkan desakan tujuh orang temannya, ia menginisiasi berdirinya sekaligus menjadi pengasuh majelis ilmu bernama Sabilu Taubah yang bermarkas di Pondok Pesantren Mambaul Hikam II Karanggayam, Blitar.

Sabilu Taubah berarti ‘jalan taubat’. Kebanyakan jamaahnya adalah kaum marjinal, kaum terpinggir yang tak jarang dicap negatif karena hidup di jalanan yang dekat dengan dunia miras tato, dan sejenisnya.

Pengajian Sabilu Taubah secara konsisten menghelat pengajian setiap malam Selasa dan malam Jum’at. Ibarat bola salju, pengajian ini terus menggelinding. Membesar. Jumlah jamaahnya terus bertambah, bahkan mencapai ratusan ribu. Jamaahnya juga semakin beragam, mulai dari kaum marjinal, orang biasa, artis, hingga pejabat. Sebagian kita barangkali bertanya, apa yang menjadi daya tarik majelis Sabilu Taubah yang tentu tak bisa dilepaskan dari sosok Gus Iqdam?

Pengasuh Pondok Pesantren Al Falah Wonosobo Muhammad Ulil Albab Djalaluddin, dalam suatu pertemuan di markas Sabilu Taubah pada Senin sore (9/10/2023), berpendapat bahwa Gus Iqdam mempunyai karisma dan daya tarik tersendiri sehingga pengajiannya dihadiri oleh ribuan jamaah. “Boleh jadi hal tersebut karena barokah dan karomah gurunya. Ia santri terpilih,” tutur pria yang akrab disapa Gus Ulil ini.

Selain itu, juga terdapat beberapa faktor lain kenapa Gus Iqdam kian menarik perhatian banyak orang sehingga jamaahnya pun kian bertambah. Pertama, peran media sosial. Selain menyiarkan pengajian secara langsung di Youtube sehingga aksesnya semakin luas dan dapat disimak secara penuh oleh setiap orang, potongan ceramah Gus Iqdam juga banyak diunggah dan tersebar di berbagai media sosial, seperti TikTok, Instagram, Facebook, atau Twitter. Keviralan menjadi kunci sekaligus katalisator.

Baca Juga  Belajar Memaafkan dari Buya Hamka

Kedua, dakwah inklusif. Gus Iqdam senantiasa mengedepankan dakwah yang inklusif dalam setiap ceramah atau pengajiannya. Bahasanya tidak muluk-muluk sembari diiringi guyonan. “Ini ST cabang Nasrani,” seloroh Gus Iqdam kepada jamaahnya yang non-Muslim.

Penting digarisbawahi bahwa orang-orang yang hadir dalam pengajian Gus Iqdam tidak hanya dari kalangan santri atau Muslim belaka. Mereka yang bertato, kaum abangan, dan bahkan non-Muslim pun banyak yang terpanggil untuk mengikuti pengajian Gus Iqdam. Hal demikian akan sukar terwujud jika bukan berlandaskan Islam yang rahmatan lil ‘alamin dan dakwah inklusif yang dipakai oleh Gus Iqdam.

Editor: Soleh

14 posts

About author
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Ciputat. Tanjung Ampalu, Sijunjung, Sumatera Barat.
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds