Perkembangan dakwah pada era digital medsos (media sosial) mengalami transmisi dari media tradisional (tatap muka/halaqoh) ke virtual/online. Tradisi yang melekat pada pesantren ini mendapatkan tekanan di era digitalisasi. Salah satu contohnya pengajian online “ngaji Ihya Online” dari Gus Ulil Abshar Abdalla mengalami perubahan signifikan dalam ritus ngaji yang turun temurun di pesantren. Gus Ulil dapat dikatakan sebagai pioneer kajian berbasis online melalui media Facebook.
Dalam wawancaranya bersama Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof. Dr. Phil. Al Makin di akun YouTube, Almakin, Gus Ulil menyebut latar belakang ikhtiar tersebut dilakukan adalah motivasi dari sang istri, bernama Ienas Tsuroiya. Istri Gus Ulil memiliki peran dalam pelaksanaan kajian tersebut dengan menggunakan akun Facebook Ienas sebagai media live streaming. Saat ini pun, dia dijuluki KO (Kiai Online) oleh para jamaahnya.
Secara sederhana, tulisan ini hendak mengamati kajian Ihya Ulumuddin berbasis online ini sebagai media dakwah yang kompatibel dengan arus digitalisasi. Sekaligus juga sebagai penyampai pesan open minded (moderasi) atas perbedaan.
Istri Gus Ulil dikenal sebagai Adminnya, karena alur teknis dari pengajian ini dipersiapkan istrinya. Platform yang digunakan adalah Facebook, alasan memakai itu, menurutnya, suasana lebih intim dan komunikatif. Namun, mengalami perkembangan dengan meng-uploadnya ke akun YouTube setelah selesai melaksanakan live streaming.
Pengajian kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali secara online sebenarnya pembahasan agak serius dan berat. Namun, Gus Ulil menyajikannya dengan cara berbeda dengan gaya yang disesuaikan selera kalangan milenial. Seberat apapun topiknya, anak muda tetap bisa mempelajarinya.
Objek kajian yang dikaji dalam pengajian Gus Ulil adalah kitab Ihya Ulumuddin karya dari seorang tokoh teologis, sufi, bahkan filsuf Persia yaitu Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’ hujjatul Islam.
Mayoritas muslim dunia, tak terkecuali di Indonesia mengenalnya dengan nama Al-Ghazali. Seorang tokoh besar dalam khazanah pemikiran Islam yang memiliki pengaruh besar pada bidang filsafat dan teolog.
Ihya Ulumuddin sebagai magnum opus dijadikan referensi utama oleh banyak Cendekiawan Muslim. Begitupun para kiai Nahdhatul Ulama (NU) mensentralkan tokoh ini sebagai pijakan. Abdurrahman Wahid disapa Gus Dur dan KH Mustafa Bisri dikenal Gus Mus merupakan dua di antara berbagai tokoh NU yang terilhami Al-Ghazali.
Gus Ulil dengan kajian onlinenya membahas Ihya Ulumuddin mampu menjadi daya tarik bukan hanya dari kalangan Muslim sendiri, bahkan mereka yang beragama Kristen pun mengikuti pengajiannya.
Gus Ulil memberikan apresiasi juga bagi jamaah yang berasal dari Korea dan Taiwan. Pernyataan ini diperoleh dari podcast dengan Al Makin di UIN Sunan Kalijaga beberapa bulan lalu. Al Makin pun mengklaim ngaji ini sebagai transmisi dakwah Islam.
Pada kesempatan yang diberikan kepada Gus Ulil sebagai pembicara dalam berbagai invited speaker conference, seminar, dan lainnya, selalu disisipkan eksistensi Al-Ghazali. Semisal acara international conference di UIN Raden Mas Said Surakarta yang menampilkan tema toleransi.
Saat itu, beliau menjabarkan pemikiran Al-Ghazali tentang toleransi internal Islam. Menurut Al-Ghazali, sikap intoleransi muncul diakibatkan oleh penyempitan term dalam konsep Islam. Sehingga membuat Islam seolah-olah tertutup akan perbedaan yang luas.
Dengan maraknya tekanan digitalisasi dari berbagai sisi kehidupan, Gus Ulil dengan majelis “Ngaji Ihya Online” mampu beradaptasi dengan perubahan ini. Ada yang menarik dari dampak pengajian ini, yaitu munculnya kesadaran terhadap Gus Ulil yang awalnya oleh sebagian kalangan dianggap liberal dan sebagainya.
Namun, label itu lama kelamaan luntur dengan adanya kajian ini. Sebagaimana di awal, pendahuluan hendak pesan moderasi, hal ini dilakukan oleh Gus Ulil melalui tokoh sentral Imam Al-Ghazali. Imam Al-Ghazali dikenal moderat dengan keilmuannya yang beragam mulai filsafat, tasawuf, dan bidang hukum mampu diseimbangkan oleh Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin.
Dari penjelasan di atas, seharusnya menjadi dorongan bagi para dai/pendakwah untuk mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman yang dinamis. Sebagaimana semboyan NU “al-muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih wal akhdzu bil jadidi al-ashlah” yang bermakna kita harus mempertahankan tradisi lama yang baik dan kemudian mengadopsi tradisi baru yang lebih baik, karena ini landasan dasar NU.
Substansi yang disampaikan pun seyogyanya tidak menimbulkan polemik atau bahkan perpecahan umat, meskipun tidak dipungkuri adanya silang pendapat. Sikap keterbukaan dan moderat serta tidak mudah menyalahkan orang lain adalah kuncinya.
Sebagai penutup ada quote menarik dari KH. Hasyim Asy’ari yang dapat dijadikan modal, berbunyi: “Dakwah dengan cara memusuhi ibarat orang membangun kota, tetapi merobohkan istananya.”
Editor: Soleh