Terlepas dari isu perdebatan nasab, fenomena kehadiran para habaib atau sayyid di Indonesia bagaimanapun tidak bisa dipandang sebelah mata. Kehadirannya secara tidak langsung telah membentuk lanskap keagamaan di Indonesia. Justru dengan mempelajari fenomena kehadiran para habaib di tengah-tengah umat akan memperkaya sebagaimana dikatakan oleh Carool Kersten dalam bukunya yang berjudul, “Berebut Wacana: Pergulatan Wacana Umat Islam Indonesia Era Reformasi”, Indonesia telah menjadi situs utama untuk mempelajari kemajemukan masyarakat, gagasan politik, dan komitmen keagamaan di dunia muslim saat ini (Kersten, 2018).
Menurut Prof. Azyumardi Azra dalam seminar al-Quran dengan tema, “Reaktualisasi al-Qur’an untuk Pengembangan Ilmu Pengetahuan”, di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menyatakan bahwa dalam hal kohesi sosial, muslim di Indonesia memiliki indeks kohensi sosial yang baik. Banyaknya acara seremonial yang ada dalam budaya Indonesia merupakan bagian dari silahturahmi, yang menjadi ajaran agama.
Kenyataan ini seharusnya membuat mentalitas kita menjadi pemenang, bukan pecundang. Prof Azyumardi menekankan bahwa tingkat keislaman harusnya diukur dari hal-hal yang bersifat substansial, tegaknya nilai-nilai moral yang bersumber dari al-Qur’an. Bukan sebatas pada simbol-simbol budaya yang sifatnya lokal dan temporer (Muhammadiyah, 2018). Oleh karena itu, habaib sebagai elit keagamaan penjaga moral di tengah masyarakat. Memiliki peran yang sangat besar, terlepas dari pro dan kontra yang terjadi.
Islam di Zaman Orde Baru
Islam sebagai agama hadir bukan saja berbicara hubungan antara Tuhan dan Manusia, tetapi antara manusia dengan manusia dan konteks sosial yang mengelilinginya. Kenyataan ini sebagaimana dikatakan oleh Prof. Kuntowijoyo tentang “Tahapan Sejarah Umat Islam Indonesia”. Menurutnya, sejarah umat Islam di Indonesia terbagi menjadi tiga yakni: Pertama, periode mitos. Periode ini terjadi di zaman pra-kolonial hingga sebelum zaman pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Pada periode ini umat Islam memiliki kecenderungan pemikiran yang bersifat abstrak, seperti keyakinan dan harapan adanya ratu adil. Kedua, periode ideologi. Periode ini terjadi di zaman pergerakan kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Pada periode ini umat Islam memiliki kecenderungan menyandarkan harapan akan perubahan hidup pada ideologi politik. Ketiga, periode ilmu. Pada periode ini ideologi dalam ranah politik bukan lagi sebagai instrumen dalam perjuangan Islam, melainkan dengan memproduksi ilmu pengetahuan (Rohman, 2021).
Sejarah perkembangan umat Islam ini, pada dasarnya juga terjadi pada dekade 1980-an. Dimana pada saat itu merupakan periode iklim politik yang otoriter Orde Baru. Dengan watak otoriternya, masyarakat sipil pada saat itu dimandulkan suara dan perannya. Secara singkat ini bisa dilihat dari cara Soeharto membonsai parpol dengan berfusinya parpol menjadi hanya tiga partai besar, yakni PPP, Golkar, dan PDI. Sementara suara-suara yang ingin menegakkan syariat Islam nyaris tidak pernah didengar.
Kenyataan ini belum lagi ditambah, sebagaimana Bachtiar Effendy dalam bukunya “Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik di Indonesia”, berpendapat bahwa militer turut memainkan peran dalam menanamkan sikap yang penuh kecurigaan terhadap Islam politik. Hal tersebut dikarenakan berangkat dari sejarah pengalaman bahwa kelompok muslim seperti Darul Islam pernah terlibat dalam pertempuran bersenjata dengan militer.
Kecurigaan politik ini, telah menyebabkan Islam, khususnya Islam politik pada posisi pinggiran. Sampai pada pertengahan dasawarsa 1980-an, seperti disimpulkan oleh Donald K. Emerson, dilihat dari perspektif manapun, konstitusional, politik, birokrasi, legalistik, dan bahkan simbolik, Islam telah “terkalahkan”. “Pengkalahan” Islam ini dimaksudkan untuk memotong “gigi politik” Islam, karena Islamlah yang selama ini dianggap sebagai pesaing politik utama pemerintahan Soeharto (Cusdiawan, 2020). Oleh karena itu, pada masa Orde Baru segala yang berbau Islam, baik itu secara gerakan sipil atau gerakan politik nyaris tidak memiliki tempat.
Habaib dan Islam Pasca Orde Baru
Tidak dapat dipungkiri, era reformasi atau pasca kekuasaan Soeharto telah memberikan kesempatan seluas-luasnya setiap keyakinan serta ideologi politik untuk berlomba-lomba mengisi ruang-ruang publik. Pada era ini tentunya terjadi pergulatan ideologis atau teologis tidak hanya antara kutub agamis dengan nasionalis, bahkan juga sesame kalangan Islam, saling mengklaim penafsirannya paling sesuai dengan ajaran Islam.
Menurut Mark Woodward, setidaknya ada lima respon umat Islam terhadap pasca Orde baru. Pertama, Indigenized Islam, yakni sebuah ekspresi Islam yang bersifat lokal, secara formal mereka mengaku beragama Islam tetapi biasanya mereka lebih mengikuti aturan ritual lokal ketimbang ortodoksi Islam. Kedua, kelompok tradisional Nahdatul Ulama (NU). NU adalah penganut aliran Sunni terbesar di Indonesia, mereka mengakomodasi ekspresi Islam lokal sejauh tidak bertentangan dengan Islam sebagai keyakinan.
Ketiga, kaum modernis, mereka terutama berbasis pada Muhammadiyah, organisasi terbesar kedua setelah NU. Ia berbasis pada pelayanan sosial sambil memperkenalkan ide-ide moderisasi. Keempat, Islamisme atau Islamis. Sebuah gerakan yang menerapkan syariah Islam secara kaku. Kelima, neo-moderisme Islam. Ia dicirikan dengan gerakan intelektual dan kritiknya terhadap doktrin Islam yang mapan. Ia biasanya tergabung dalam NGO, institusi riset dan perguruan tinggi Islam (Simorangkir, 2015).
Selain kelima hal di atas, kebebasan untuk mengekspresikan Islam di ranah publik, menurut Prof. Ismail Fajrie Alatas adalah menjamurnya kelompok-kelompok majelis taklim yang diprakasai oleh para habaib (Alatas, 2014). Kehadiran habaib dalam tulisan ini bukan mengenai hadirnya mereka dalam penyebaran Islam. Sebab jika membicarakan habaib secara luas, maka mereka justru sudah hadir sebelum Soeharto berkuasa. Tulisan ini, hendak menekankan fenomena ekspresi keagamaan di ruang publik oleh para habaib setelah ekspresi Islam di ruang publik dibatasi aksesnya di era Orde Baru.
Menurut Syamsul Rijal dalam penelitiannya berjudul, “Performing Arab Saints and Marketing the Prophet: Habaib and Islamic Markets in Contemporary Indonesia”, menyatakan bahwa meningkatnya popularitas majelis taklim yang dipimpin oleh para habaib muda di kalangan pemuda muslim telah menjadi fenomena baru pasca-Soeharto. Kenyataan ini, tidak bisa dilepaskan dari konteks persaingan otoritas di antara kelompok-kelompok muslim.
Dalam ruang publik yang terus berkembang, kita telah menyaksikan ekspansi cepat berbagai kelompok muslim yang bersaing untuk mendapatkan pengikut. Mereka secara aktif menyelenggarakan kegiatan publik dan menyebarkan pesan-pesan keagamaan melalui media baru. Kebebasan dalam mengekspresikan identitas keislaman pasca Orde Baru sekaligus menjamurnya media sosial telah menciptakan pasar persaingan untuk mendapatkan pengikut.
Oleh karena itu, secara tidak langsung kebebasan berekspresi dan media telah membuat agama lebih mudah diakses oleh publik dan mengubah agama menjadi praktik budaya popular dalam masyarakat modern. Sudut pandang ini kemudian dianut oleh mayoritas habaib untuk mempopulerkan Islam melalui media dan majelis taklim. Dalam mendapatkan pengikut para habaib secara kreatif membentuk suatu komunitas majelis taklim untuk memenuhi aspirasi kaum muda muslim perkotaan (Rijal, 2020).
Editor: Soleh