Keberadaan hadis Nabi pada posisi kedua setelah Al-Qur’an cukup memberikan kejelasan bahwa ia sangat urgen dan signifikan, terutama kaitannya dengan kehidupan beragama. Secara teologis, hadis dianggap sebagai penjelas aspek-aspek dalam Al-Qur’an yang memang perlu dijelaskan. Dalam konteks tertentu, hadis juga dinilai punya kapasitas yang sama untuk melahirkan aturan yang setara dengan Al-Qur’an.
Sejarah Hadis Tematik
Beragamnya kajian, karya, literatur dengan judul dan tema spesifik terkait hadis ini juga menjadi bukti nyata betapa hadis mendapatkan perhatian yang luar biasa dari kalangan muslim sendiri maupun non-muslim. Lalu, apakah kajian hadis secara tematik juga mendapatkan perhatian yang sama? Bagaimana kajian hadis tematik lahir, lalu berkembang dan eksis hingga pada masa kontemporer?
Mengacu pada ragam kecenderungan karya yang pernah ditulis oleh para ahli dalam bidang hadis, sebagian pemerhati kajian hadis mencoba membedakan istilah kajian hadis tematik dengan penulisan hadis tematik. Konsekuensi dari pemetaaan ini, literatur-literatur besar seperti Al-Jami’ al-Sahih yang ditulis oleh Al-Bukhari (w. 256 H) dan Al-Jami’ al-Sahih yang ditulis oleh Muslim ibn al-Hajjaj tidak termasuk kategori kajian melainkan sekadar sistematika penulisan hadis secara tematik.
Sesuai namanya, Al-Jami’, di dalam literatur-literatur ini terdapat ribuan hadis yang dibagi ke dalam berbagai tema-tema besar keagamaan, seperti fikih, teologi, tafsir, sejarah dan sebagainya. Di dalam karya hadis yang menggunakan sistematika atau model Jami’, tema-tema tersebut dimasukkan ke dalam bab-bab besar yang biasanya disebut “Kitab” dan dikelompokkan lagi ke dalam sub-bab yang biasa disebut “Bab”.
Sistematika penulisan hadis lainnya disebut “Sunan,” misalnya Sunan yang ditulis oleh Al-Nasāī, Ibn Mājah, Abū Dawūd dan sebagainya. Sistematika penulisan “Sunan” mengacu pada paparan hadis-hadis di dalamnya yang biasanya disusun berdasarkan tema-tema fikih yang dibagi pada bab dan subbab seperti yang terdapat dalam sistematika “Jami.” Sistematika ini, secara garis besar, hanya memuat hadis-hadis yang disinyalir bersumber dari Nabi atau dalam istilah ahli hadis disebut sebagai ḥadīts marfū’.
***
Hal ini menjadi ciri khas “Sunan” yang bisa dibedakan dengan sistematika penulisan lain seperti “Muwatta” atau “Muṣannaf.” “Muwaṭṭa” atau “Muşannaf” merupakan sistematika penulisan hadis yang disusun berdasarkan tema-tema fikih, namun di dalamnya juga terdapat pendapat atau fatwa sahabat, tabiin sertapendapat pribadi penulisnya. Di antara tokoh penting yang menulis karya dengan menggunakan model ini adalah Malik ibn Anas dengan judul Muwaṭṭa’ dan Abu Bakar ibn Abi Syaibah dengan judul Muşannaf.
Kembali pada pernyataan awal antara kajian hadis tematik dan sistematika penulisan hadis secara tematis. Jika ditelisik lebih jauh, karya besar yang sudah ditulis oleh Al-Bukhārī (w. 256 H), Muslim (w.261 H), Al-Nasa’i Ibn Majah, Abu Dawud, Malik, Ibn Abi Syaibah dan lain-lain pada dasarnya merupakan bagian dari hadis tematik dengan formatnya yang khas yaitu memaparkan hadis pada tema besar yang membawahi tema-tema lain yang lebih spesifik.
Tema- tema ini kemudian dibagi lagi pada bab dan subbab. Hal ini tentu berbeda dengan literatur-literatur lain yang sejak awal fokus pada hadis dengan tema khusus, seperti keutamaan- keutamaan, jihad, doa, puasa, teologi dan sebagainya. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa keduanya tidak mungkin ada tanpa kajian yang panjang dan proses analisis yang mendalam. Dengan demikian, keberadan karya hadis tematik, pada dasarnya merupakan kajian terhadap hadis secara tematis, terlepas dari apapun sistematika yang digunakan oleh penulisnya.
Standarisasi Hadis Tematik
Pertanyaannya kemudian, bukankah hadis tematik minimal memuat tiga kata kunci utama: kajian, hadis dan kontemporer? Harus diakui bahwa dari tiga kunci utama ini, muncul rumusan hadis tematik sebagai: “Sebuah kajian terhadap berbagai hadis di dalam ragam sumber primer yang memuat tema yang sama dengan kualitas yang dapat diterima;atau relevan dengan kajian dilakukan melalui prosedur ilmiah dan diorientasikan untuk keperluan yang bersifat praktis kondisi kontemporer” seperti sudah disebutkan di atas. Namun, yang harus ditegaskan kembali adalah rumusan tersebut menyesuaikan dengan semangat kontemporer yaitu kritis, rasional dan ilmiah; kajian yang dilakukan diorientasikan untuk keperluan masyarakat atau relevan dengan kebutuhan kontemporer.
Semangat dan kebutuhan kontemporer menjadi titik pijak utama agar kajian hadis tematik dapat berdialektika dan selalu relevan dengan perkembangan zaman. Dengan alasan ini pula, kajian hadis tematik memerlukan proses dan prosedur ilmiah, di samping harus kritis dan rasional. Literatur-literatur hadis, baik yang menggunakan model dan sistematika “Jami”, “Sunan,” “Muwatta’,” atau “Muṣannaf” yang ditulis oleh para ahli di masa lalu pada dasarnya tidak pernah kehilangan sisi relevansinya di masa itu. Penggunaan sistematika fikih tentu tidak lepas dari pengaruh besar keilmuan fikih yang berkembang pesat.
Demikian juga, usaha untuk memilah hadis-hadis yang berkualitas sahih seperti dilakukan oleh Al-Bukhārī dan Muslim-ke dalam karyanya tidak lepas dari fakta sejarah maraknya pemalsuan terhadap hadis Nabi. Kesesuaian dengan kondisi yang menyertai juga berkorelasi dengan literatur hadis-hadis tematik yang secara khusus berisi tema-tema tertentu.
***
Karya tersebut akan menjadi arsip yang dapat memudahkan banyak orang untuk mempelajarinya lebih jauh serta untuk keperluan apapun. Literatur-literatur ini dapat mengakomodir berbagai hadis dalam tema yang sama yang terkadang tidak terkodifikasi dalam karya besar dengan model “Jami” dan sebagainya. Dengan demikian, terlepas dari keragaman status dan kualitas hadis yang terkandung di dalamnya, hadis-hadis terkait dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif terkait tema yang sedang dibahas.
Selain itu, literatur-literatur tersebut, baik yang ditulis dengan model “Jami” dan lain-lain maupun karya yang khusus pada tema tertentu, pastinya lahir melalui proses pengkajian yang mendalam meskipun prosedur dan metodenya tidak bisa disamakan dengan metode yang dikenal pada masa kini dalam ruang akademik dengan istilah prosedur atau metode ilmiah.
Asumsi ilmiah atau tidak ilmiah tentu harus disesuaikan dengan paradigma yang sedang berkembang di masanya. Kenyataan bahwa banyak karya hadis yang tetap eksis dan menjadi objek kajian terkini merupakan salah satu bukti nyata betapa karya tersebut layak mendapatkan perhatian. Al-Jami al-Sahih yang ditulis oleh Al-Bukhari dan Al-Jami’ al-Sahih yang ditulis oleh Muslim menjadi karya hadis paling banyak mendapatkan perhatian dan bahkan diyakini sebagai karya tersahih setelah Al-Qur’an dengan melihat pada prosedur dan standar yang mereka terapkan dalam memasukkan hadis ke dalam karyanya.
Editor: Soleh