Dalam dunia Islam, setiap muslim itu harus berpegang teguh terhadap dua pondasi. Yang mana jika mereka berpegang teguh kepada keduanya, maka akan selamatlah hidupnya, baik di dunia maupun di akhirat. Pondasi itu adalah Alquran dan hadis. Dalam Alquran dan hadis, terdapat berbagai macam perintah maupun larangan untuk manusia, supaya mereka dapat hidup dengan sejahtera. Lalu kemudian, bagaimanakah hadis tentang wabah dalam perspektif antropologi kognitif?
Mengkaji Wabah dari Perspektif Hadis
Antropologi adalah satu disiplin ilmu yang selalu ada kaitannya dengan kemanusiaan. Ilmu ini juga berhubungan dengan ilmu sosiologi. Kajian kedua disiplin ilmu ini sama-sama berhubung tentang kemanusiaan; bagaimana memandang sebuah problem melalui latar belakang budaya dan kebiasaan masyarakat yang ada di tempat.
Di masa pandemi Covid-19 ini, kita teringat kembali akan sebuah hadis yang artinya,
“Dari Siti Aisyah RA ia berkata, aku bertanya kepada Rasulullah SAW perihal thaun, lalu Rasulullah SAW memberitahuku, dahulu, tha’un adalah adzab yang Allah kirimkan kepada siapa saja yang dia kehendaki, tetapi Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang yang beriman, maka tidak seorangpun yang tertimpa tha’un, kemudian ia menahan diri di rumah dengan sabar serta mengharapkan ridhaNya, seraya menyadari bahwa tha’un tidak akan menimpanya kecuali telah menjadi ketentuan Allah untuknya. Niscaya ia akan memperoleh ganjaran seperti pahala orang yang mati syahid.” (H.R Bukhari, Nasa’i dan Ahmad)
Hadis tentang wabah ini seolah-olah sama persis dengan musibah yang sedang menimpa Indonesia dan negara-negara lain. Yaitu sebuah wabah yang dapat menular dengan cepat, dan yang terkena wabah ini pun tidak semuanya dapat sembuh. Dalam artian, wabah ini juga dapat menyebabkan kematian.
Ahli medis menamainya dengan Covid-19. Sama seperti tha’un, ini adalah wabah yang mematikan. Orang yang terkena wabah tha’un akan mengalami rasa haus yang berlebihan dan rasa sakit yang luar biasa, hingga tubuh yang terkena penyakit ini akan berubah menjadi hitam, hijau atau abu-abu dan akan memunculkan nanah di bagian tubuh.
Berbeda dengan Covid-19. Orang yang terkena wabah ini akan mengalami suhu tubuh yang di atas normal, pusing dan batuk kering. Hingga puncaknya, yaitu sesak di bagian pernapasan.
Jika dilihat dari segi kebahasaan, kalimat “Dahulu, tha’un adalah azab yang Allah kirimkan kepada siapa saja yang dia kehendaki”; menunjukkan bahwa wabah adalah sebuah azab yang Allah turunkan kepada orang orang yang zalim.
Antara Tha’un dan Covid-19
Tha’un adalah penyakit/wabah yang dapat menular dan dapat menyebabkan kematian. Sifat dari wabah itu sama dengan wabah yang sedang terjadi di Indonesia, yaitu Covid-19. Akan tetapi, kita juga tidak bisa men-judge bahwa setiap orang yang terkena wabah Covid-19 ini merupakan azab dari Allah. Karena sifat dari azab itu teruntuk orang-orang yang ingkar kepada Allah.
Covid-19 ini juga telah menyebabkan gugurnya beberapa dokter dan perawat yang merawat para pasien yang terjangkit. Jadi, tidak mungkin Allah mengazab orang yang membantu orang lain. Covid-19 ini dapat merambat dengan cepat dari satu manusia ke manusia lain.
Bukan hanya dari segi sifatnya saja, namun kebiasaan manusia-lah yang membuat wabah ini semakin menjadi. Seperti kesenangan berkerumun saat wabah melanda, kurangnya kebersihan, serta asupan makanan yang memiliki kandungan gizi yang rendah. Sehingga, imunitas tubuhnya lemah dan mudah terserang oleh berbagai penyakit.
Dalam hadis tentang wabah tersebut juga Rasulullah ingin menyampaikan, bahwasanya wabah tha’un atau Covid-19 ini dapat berakhir dengan beberapa prosedur tertentu. Dalam hadis itu, Rasulullah memerintahkan supaya semua orang yang ada pada masa wabah itu untuk diam di rumah. Sehingga, kemungkinan kecil wabah tersebut akan menular.
Jika dikaitkan dengan PSBB yang dilakukan oleh pemerintah saat ini, itu juga termasuk dalam cara penanganan wabah yang sesuai dengan hadis nabi. Akan tetapi, kenapa di Indonesia ini sampai terjadi pembatasan yang sangat besar? Setidaknya, ada dua faktor yang membuat cara penanganan wabah ini di masa nabi dan di masa sekarang ini.
Perbedaan Penanganan Wabah dari Masa ke Masa
Pertama, dahulu di masa nabi, jarak antara rumah satu ke rumah lainnya itu sangatlah renggang. Selain itu, penduduk di masa nabi juga tidak sebanyak penduduk yang ada di Indonesia saat ini.
Maka dari itu, nabi menganjurkan hanya untuk diam di rumah saja. Tetapi berbeda dengan Indonesia, di sini jarak antara rumah satu ke rumah yang lainnya hampir tidak berjarak. Khususnya daerah-daerah yang padat penduduk seperti Pulau Jawa dan daerah sekitarnya.
Kedua, kenapa nabi dahulu hanya memerintahkan untuk diam di rumah saja? Karena masyarakat Arab pada masa nabi sangat tunduk dan patuh terhadap beliau. Mereka sudah mengerti apa maksud dari perintah berdiam diri di rumah; yaitu untuk mengatasi wabah yang dapat menular dengan mudah ini.
Selain itu, peran nabi pada masa itu adalah panutan bagi seluruh masyarakat Arab. Dan mereka memiliki sebuah kepercayaan. Bahwa siapa yang tunduk dan patuh terhadap nabinya, maka akan selamat dan itu adalah sebuah keputusan yang final.
Sementara di Indonesia, pihak pemerintah harus menjelaskannya secara detail bagaimana prosedur penanganan wabah ini. Karena masyarakat Indonesia tidak serta merta mematuhi perintah dari pihak pemerintah, jika tidak ada alasan yang jelas.
Dengan diturunkannya wabah Covid-19, bukan berarti ini adalah azab bagi Indonesia. Namun kita harus pandai-pandai mengambil hikmah di balik adanya wabah ini. Seperti dengan adanya PSBB yang diterapkan, membuat tingkat polusi di Indonesia akan semakin berkurang.
Sementara dari sisi religiusnya, kita sadar bahwasanya ini adalah bentuk peringatan dari Allah atas segala yang kita perbuat di muka bumi ini. Sehingga dengan itu ibadah kita akan meningkat, memperbanyak doa serta meminta ampunan kepada-Nya. Dan yakinlah bahwa wabah ini akan segera berakhir. Dengan kita mengikuti aturan dan prosedur, yang telah disampaikan oleh pemerintah dan pihak medis.
Editor: Zahra/Nabhan