Haji Paryadi bukan hanya seorang pengusaha muslim yang sukses. Ia juga seorang perintis gerakan sosial keagamaan di kalangan pebisnis. Setidaknya ada empat gerakan sosial keagamaan yang telah dirintis dan dikembangkan oleh Haji Paryadi, yakni Yayasan Bani Adam, Yayasan Shofa Marwah, komunitas Pengajian Selasa Pon, serta komunitas haji dan umrah.
Haji Paryadi dan Gerakan Sosial Keagamaan
Di Yayasan Bani Adam, Haji Paryadi bergabung dengan Bambang Sarwardi, Suwarto, Sawardi, dan Matyoto untuk mendirikan dan mengembangkan yayasan ini. Yayasan ini berdiri pada tahun 2000. Pada mulanya berbentuk pengajian yang melayani jamaah muslim, hingga merambah pada pendirian infrastruktur peribadahan berupa masjid dan lembaga pendidikan. Gagasan sederhana Haji Paryadi pada waktu pendirian Yayasan Bani Adam adalah kemandirian umat. Ia ingin para pebisnis muslim terutama yang sudah berhaji untuk berbagi rezeki untuk perkembangan umat.
Gagasan kemandirian umat ini sangatlah kuat dalam misi Haji Paryadi. Ia ingin umat muslim bisa mandiri secara finansial sehingga urusan spiritual dan keagamaan bisa berkembang secara kreatif. Jadi pada masa awal-awal pendirian Yayasan Bani Adam, Haji Paryadi ingin mewujudkan bentuk kemandirian itu dengan mengandalkan kemampuan finansial pengurus dan simpatisan sendiri. Sebagai seorang pebisnis, Haji Paryadi membuktikan prinsip dan gagasan kemandiriannya itu mulai dari dirinya sendiri.
Selepas dari Yayasan Bani Adam, Haji Paryadi melanjutkan gerakan sosial keagamaannya sendiri. Ia kemudian mulai merintis pengajian yang pada akhirnya nanti akan diberi nama Yayasan Shofa Marwah. Pada tahun 2007 Ia mulai mengaktifkan komunitas Pengajian Selasa Pon. Haji Paryadi dan istrinya Haja Rita menjadi perintis sekaligus pengelola Pengajian Selasa Pon. Setiap satu bulan sekali, mereka menyediakan pengajian lengkap dengan sesi berbagi makan sebanyak seribu porsi untuk jamaah. Selain komunitas Pengajian Selasa Pon, Haji Paryadi juga membentuk komunitas jamaah dengan segmen yang berbeda misalnya untuk warga lansia, jamaah haji dan umroh serta untuk anak-anak yatim dan piatu.
Yayasan Shofa Marwah
Yayasan Shofa Marwah milik Haji Paryadi mengelola lembaga pendidikan dengan nama yang sama yakni Pondok Pesantren Shofa Marwa. Haji Paryadi mengelola pondok pesantren ini secara mandiri dari keuntungan berbisnis. Haji Paryadi sejak awal tidak mengandalkan bantuan atau sumbangan. Apalagi karena ia memang bertujuan untuk mengampanyekan gagasan kemandirian umat. Melalui Pondok Pesantren Shofa Marwah, para santri dididik membekali diri dengan pengetahuan keagamaan dan keterampilan wiraswasta agar kelak bisa hidup mandiri secara finansial.
Pada tahun 2015, Haji Paryadi terpilih menjadi ketua IPHI Kabupaten Boyolali. Ia langsung memulai amanah sebagai ketua IPHI dengan program kerja yang mengesankan banyak orang. Pertama, ia menyediakan secara gratis pendampingan dan pembekalan manasik haji dan umroh bagi jamaah. Kedua, menyediakan layanan fasilitas transportasi ambulan gratis bagi semua anggota IPHI. Ketiga, ia memperkenalkan produk Karta Tanda Anggota (KTA) IPHI Kabupaten Boyolali yang juga memberi subsidi pembelian sembako di sejumlah toko yang bekerjasama dengan IPHI. Keempat, ia memberi pendampingan langsung pendirian IPHI di kecamatan dan bantuan pengembangan organisasi.
Memang pada awalnya beberapa orang sangsi dengan kepemimpinan Haji Paryadi yang tidak berlatar belakang ulama. Tapi melihat kinerja, inovasi dan kemampuan Haji Paryadi membenahi struktur dan pengembangan organisasi IPHI, tidak salah pada tahun 2020 ia terpilih lagi sebagai ketua IPHI Kabupaten Boyolali. Haji Paryadi bahkan secara aklamasi langsung ditunjuk sebagai ketua IPHI Kabupaten Boyolali. Beberapa peserta berdiri memberikan testimoni seputar kepemimpinan Haji Paryadi. Padahal, ada di antara mereka termasuk yang pada awalnya kurang berkenan dengan kepemimpinan Haji Paryadi.
Dekat dengan Muhammadiyah dan NU
Haji Paryadi memang tidak pernah menjadi anggota resmi Muhammadiyah dan NU. Tapi ia sering bergaul dan dimintai pendapat dari rekan-rekannya yang kebetulan aktif di Muhammadiyah atau pengelola pesantren salaf. Tidak jarang juga, ia kerap diundang untuk hadir rapat internal organisasi. Misalnya, ia pernah diundang oleh pengurus NU Boyolali untuk rembug tentang suatu program. Dan juga, banyak di antara jamaah biro haji dan umrah milik Haji Paryadi berasal dari jamaah Muhammadiyah dan NU serta MTA.
Persentuhan Haji Paryadi dengan Muhammadiyah salah satunya melalui jalur keluarga. Haja Rita, istri Haji Paryadi, adalah putri pengurus dan tokoh Muhammadiyah di Klego, Boyolali. Haji Paryadi punya banyak sahabat berlatar belakang Islam pesantren tradisionalis dan NU.
Haji Paryadi sengaja tidak bergabung secara formal dengan Muhammadiyah dan NU, supaya bisa berada di tengah dan merangkul sahabat-sahabatnya yang aktif di dua organisasi tersebut. Hal ini secara nyata menurutnya sangat membantu ketika ia terpilih sebagai ketua IPHI Kabupaten Boyolali. Haji Paryadi bisa terpilih karena dianggap bisa menjembatani atau mengakomodir aspirasi pengurus berlatar Muhammadiyah dan NU. Tanpa harus ada tendensi memihak salah satunya.
Pernah suatu kali, Haji Paryadi mengisahkan bahwa kalau sedang bergabung dengan teman-teman berlatar Muhammadiyah dia kerap dikira anggota NU. Sebaliknya, saat sedang bersama teman-teman berlatar NU, ia dikira orang Muhammadiyah. Karena dianggap dekat dengan dua organisasi Islam ini, Haji Paryadi menjadi penyambung komunikasi yang tepat. (Bersambung)
Editor: Nabhan