Dalam setiap momentum bulan Muharram, muncul kekeliruan pada sebagian masyarakat dalam memahami bulan ini. Ada di antara masyarakat yang memahami Muharram adalah bulan kesialan dan ketidakberuntungan.
Menurut mereka, siapa pun yang membuat acara dalam bulan ini, maka akan mendapatkan kesialan dan kerugian. Sehingga sebagai bentuk preventif, mereka akan membatalkan atau memundurkan pelaksanaan acara di bulan lain.
Pada momentum pengajian Ahad pagi 16 Muharram 1444 H/14 Agustus 2022 M di Masjid Islamic Center UAD, ustaz Fuad Zein mencoba untuk meluruskan pemahaman yang keliru pada sebagian masyarakat terkait dengan bulan Muharram atau yang masyhur di kalangan masyarakat Jawa disebut dengan “Bulan Syuro”. Dalam kesempatan ini beliau mencoba memaparkan kekeliruan-kekeliruan yang muncul di bulan ini.
Makna Bulan Muharram
Muharram secara lugah merupakan bentuk derivatif dari kata “harrama-yuharrimu” yang maknanya melarang, mencegah, dan mengharamkan. Kata “Muharram” termasuk dalam bentuk isim maf’ul, sehingga maknanya “dilarang, dicegah, dan diharamkan”.
Sebab, dalam bulan Muharram dan juga dalam bulan-bulan haram lainnya di dalamnya dilarang atau diharamkan untuk melakukan peperangan dan perbuatan zalim, baik zalim terhadap diri sendiri maupun orang lain (QS. Al-Baqarah ayat 217).
Mengenai bulan-bulan haram, Allah Swt telah menjelaskannya secara global dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu.” (QS. At-Taubah: 36)
Kemudian, ada sabda Nabi Saw yang menyebutkan secara rinci empat Bulan Haram:
“Dan sesungguhnya waktu itu beredar menurut aturannya, yaitu saat Allah menciptakan langit dan bumi, dan sesungguhnya bilangan bulan (qamariyah) di sisi Allah itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram, tiga bulan berurutan; Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, serta bulan Rajab yang tergabung di antara bulan Jumada (akhir) dan Syakban.” (HR. Al-Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679).
Berdasarkan ayat Al-Qur’an dan petunjuk dari sabda Nabi Saw bahwa empat bulan haram itu adalah Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Kekeliruan Masyarakat di Bulan Muharram
Di sebagian kalangan masyarakat Jawa mengklaim bulan Muharram sebagai bulan kesialan. Adapun di sebagian kalangan masyarakat Arab, terkhusus pada zaman jahiliyyah mereka mengklaim bulan Safar sebagai bulan kesialan.
Di kalangan mereka masih banyak yang melakukan thiyaroh, yaitu meyakini sesuatu terjadi tanpa izin dari Allah Swt dan menggantungkan sesuatu pada selain Allah. Mudahnya, Thiyaroh itu mitos atau takhayyul. Terkait dengan hal ini Rasulullah Saw berkomentar dalam sabdanya:
“Tidak ada penyakit menular, tidak ada thiyaroh (mitos atau takhayyul), tidak ada penjelmaan kembali (makhluk yang telah mati), dan tidak ada (kesialan) dalam safar.” (HR. Al-Bukhari no. 5707 dan Muslim no. 2220)
Sabda Rasulullah Saw yang lain:
“Thiyaroh itu kesyirikan, thiyaroh itu kesirikan, thiyaroh itu kesyirikan. Dan tidaklah sesuatu (terjadi) di antara kita melainkan Allah akan menghilangkannya dengan tawakkal.” (HR. Abu Dawud no. 3910, at-Tirmizi no. 1614, Ibnu Majah no. 3538, dan Ahmad no. 3687)
Dalam masyarakat masih ada keyakinan dalam bulan-bulan tertentu atau di tempat-tempat tertentu ada kesialan. Sesungguhnya keyakinan ini sudah ada sejak lama.
Bahkan menjadi salah satu tugas Rasulullah Saw kala berdakwah di Mekkah untuk meluruskannya. Masyarakat Arab saat itu punya kebiasaan thiyaroh. Menggantungkan sesuatu pada selain Allah dan meyakini sesuatu terjadi bukan dengan izin Allah.
Contohnya, ketika hendak melakukan safar mereka akan menetapkan jadi-tidaknya dengan menerbangkan seekor burung.
Jika burung terbang ke arah kanan, maka safar dapat dilakukan, dan sebaliknya jika burung terbang ke kiri, maka safar tidak boleh dilakukan. Sebab, jika tetap melakukan safar nanti akan mendapatkan kesialan. Itu keyakinan masyarakat Arab saat itu.
Sesungguhnya thiyaroh itu masuk dalam kategori kesyirikan, karena meninggalkan tawakkal pada Allah Swt. Padahal segala sesuatu yang ada di langit maupun di bumi termasuk dalam ciptaan-Nya dan berada di bawah kekuasaan-Nya.
Termasuk dalam bulan Muharram yang masyhur disebut “Bulan Syuro” oleh masyarakat Jawa bahwa ada keyakinan bulan Muharram termasuk dalam kategori bulan sial.
***
Apabila menyelenggarakan acara dalam bulan ini, maka akan mendapat kesialan. Bagi mereka yang masih kental dengan hal ini, mereka tidak akan berani untuk menyelenggarakan acara; pernikahan, khitanan, dan yang lainnya di bulan ini. Jika pun terpaksa menyelenggarakannya, maka akan muncul rasa was-was akan kesialan.
Agama Islam datang untuk meluruskan keyakinan-keyakinan yang keliru di masyarakat. Di antara tujuan diutusnya Rasulullah Saw adalah untuk meluruskan aqidah yang keliru kala itu, termasuk di dalamnya thiyaroh.
Pemurnian dalam hal keyakinan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw pada masyarakat Arab kala itu setidaknya ada dua; pertama, meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi atas izin Allah (QS. At-Taghabun ayat 11), dan kedua, membebaskan hati dari segala ketergantungan pada selain Allah Swt (QS. Al-Ikhlas ayat 2).
Mudah-mudahan keyakinan-keyakinan keliru yang berkembang di masyarakat mengenai kesialan dalam bulan-bulan tertentu atau di tempat-tempat tertentu dapat segera diluruskan, karena keyakinan tersebut masuk dalam ranah yang fundamental dalam agama ini, yaitu akidah.
Editor: Yahya FR