Hamka Bung Karno – Suatu sore, bulan Juni 1970. Ketika itu, ulama Muhammadiyah penulis Tafsir Al-Azhar tengah bercengkerama bersama keluarga di rumahnya, Jl. Raden Patah, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tiba-tiba, datang Sekretaris Jenderal Departemen Agama RI Kafrawi bersama Mayor Jenderal TNI Soeryo.
Dua tamu tersebut rupanya adalah utusan dari mantan presiden pertama RI, Bung Karno. Mereka mengabarkan bahwa Bung Karno baru saja meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto.
“Bung Karno ada di mana?” tanya Hamka. Dua utusan menjawab serentak bahwa Bung Karno berada di RSPAD dan akan dibawa ke Wisma Yaso. Dua utusan tersebut melanjutkan bahwa sebelum meninggal, Bung Karno berwasiat agar Buya Hamka mau mengimami salat jenazah ketika Bung Karno meninggal kelak. Tanpa pikir panjang, Buya Hamka langsung bergegas dengan raut muka penuh duka cita.
Tuduhan kepada Hamka
Di sisi lain, Afif Hamka, putra Hamka, menentang ide ayahnya. Apa pasal? Bung Karno telah menuduh Hamka merencanakan pembunuhan terhadap Bapak Proklamator tersebut.
Pada 27 Januari 1961, 9 tahun sebelum Bung Karno meninggal pada sore itu, Hamka dijemput di rumahnya, ditangkap, dan dibawa ke Sukabumi.
Ulama besar dari Minang tersebut dituduh merencanakan pembunuhan terhadap Bung Karno. Selama 15 hari ditahan, Hamka diinterogas tanpa henti. Siang malam, petang pagi. Interogasi tersebut hanya berhenti ketika makan dan ibadah saja.
Hamka ditetapkan sebagai tahanan politik selama 2 tahun, ditambah dengan tahanan rumah 2 bulan dan tahanan kota 2 bulan. Tidak sampai di situ, keluarga Hamka juga dimiskinkan oleh Presiden.
Namun, sama sekali tidak ada dendam dan kebencian di hati Hamka. Hamka adalah ulama jujur, bersih, dan tulus. Tuduhan Bung Karno ia terima dengan lapang dada, bahkan ia syukuri.
Karena dengan tuduhan tersebut, ia bisa menyelesaikan Tafsir Al-Azhar 30 juz. Tafsir itu, kini, begitu mewarnai khazanah keislaman di sebagian negara di Asia.
“Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan itu,” ujar Hamka dengan santun.
Tak ada Dendam dalam Diri Hamka
Orang-orang di sekitar Hamka bertanya-tanya, apakah Hamka tidak dendam? Hamka dengan ringan menjawab bahwa sampai ajalnya, Bung Karno tetap seorang muslim.
Umat Islam lain wajib menyelenggarakan salat jenazah dengan baik. Lagi pula, imbuh Hamka, ia tidak pernah dendam kepada siapapun yang menyakitinya. Dendam termasuk dosa.
Alih-alih dendam, Hamka justru menyebut bahwa Bung Karno memiliki jasa besar terhadap umat Islam berupa dua buah masjid, yaitu Masjid Baitul di Istana Negara dan Masjid Istiqlal. Ia berdoa agar dua masjid tersebut dapat meringankan dosa Bung Karno.
Persahabatan Hamka dengan Soekarno
“Bung Karno itu sahabat ayah. zaman perjuangan, kami bersahabat,” ujar Buya Hamka kepaada Afif Hamka. Afif Hamka menceritakan kisah ini dalam sebuah webinar PP Muhammadiyah awal 2021 silam.
Nilai persahabatan dan pertemanan Hamka tidak pernah main-main. 30 tahun sebelum Bung Karno mengkat dan 20 tahun sebelum Bung Karno pecah kongsi dengan Hamka, Hamka telah menulis nilai-nilai persahabatan yang begitu agung dalam bukunya yang berjudul Falsafah Hidup.
“Tentu kesalahan akan ada pada sahabat itu,” tulis Hamka. “Kalau hendak mencari sahabat yang tidak ada salahnya, alamatnya kita tidak akan mendapat sahabat. Bersahabatlah jangan karena mengharap apa-apa, dan bersahabat jangan karena takut kena apa-apa.”
Tulisannya itu ia buktikan dengan sungguh-sungguh ketika ia menganggap Bung Karno sebagai sahabat, bahkan setelah ia diperlakukan sedemikian rupa. Ia juga tidak mendeklarasikan diri sebagai sahabat Bung Karno ketika Bung Karno masih hidup, dengan harapan mendapatkan keringanan hukuman apalagi posisi sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang.
Ia mendeklarasikan diri sebagai sahabat Bung Karno ketika Bung Karno sendiri telah mangkat dan posisi politiknya tidak menguntungkan karena dilucuti oleh Soeharto. Sebuah pengakuan tulus tanpa kepentingan apapun.
Syarat Meneguhkan Persahabatan
Dalam buku tersebut, Hamka mengutip pendapat Umar bin Khattab tentang syarat-syarat untuk meneguhkan persahabatan. Pertama, kalau sahabat berbuat salah dan durhaka kepada Alllah, maka kita harus membalas dengan jalan taat kepada Allah. Bukankah nasihat ini sangat erat dengan kisah Hamka bersama Bung Karno?
Kedua, tetap berprasangka baik kepada sahabat sampai datang bukti yang jelas dan tegas bahwa ia melakukan kesalahan. Ketiga, jangan segera menyalahkan sahabat jika masih ada jalan lain untuk mengetahui alasan atau udzur kenapa ia melakukan sebuah kesalahan.
Nasihat sekaligus teladan Buya Hamka tentu sangat relevan untuk menjadi pelajaran bagi umat Islam belakangan. Bahwa Islam adalah agama yang tidak mengajarkan umatnya untuk saling menyalahkan dan menyudutkan. Sebaliknya, Islam sangat menekankan pentingnya persatuan dan persaudaraan. Dalam hal ini kita bisa melihat bagaimana kaum Anshar memperlakukan saudara mereka dari Muhajirin dengan sangat baik.
Meneladani Kisah Buya Hamka
Bahkan, di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa kaum Anshar lebih mendahulukan kepentingan kaum Muhajirin dari kepentingan diri mereka sendiri, meskipun mereka juga membutuhkan dan kesusahan. (yu`ṡirụna ‘alā anfusihim walau kāna bihim khaṣāṣah).
Jika umat Islam mau meneladani kisah Buya, maka seharusnya tidak ada kasus-kasus pengerusakan tempat ibadah Ahmadiyah seperti yang terjadi di Sintang, Kalimantan Barat awal September silam, kasus pengrusakan makan non muslim di Solo, dan kasus-kasus lain.
Islam adalah agama rahmat, bukan agama laknat. Islam adalah agama yang memberikan kedamaian dan kenyamanan, tidak hanya kepada umat beragama lain, bahkan kepada hewan dan tumbuhan.
Ia tidak seharusnya dijadikan legitimasi untuk menakut-nakuti umat beragama lain atau kelompok lain di dalam agama Islam itu sendiri. Mari bersama-sama kita hilangkan permusuhan dan kita munculkan perdamaian.
Konten ini adalah hasil kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama Republik Indonesia.
Editor: Yahya FR