Hantu radikalisme sebenarnya terkait dua alasan sederhana, antara islamofobia dan pelipur lara. Sejak kapan rezim penguasa takut dengan gamis dan jenggot, lalu menyebutnya radikal? Cemen saya bilang. Punya bedhil kok takut dengan perempuan bercadar
Kita Butuh Hantu
Kita (negara) butuh hantu. Sesuatu yang dibiang-keladikan. Dijadikan salah dan ditakuti bersama. Radikalisme salah satunya. Bendera tauhid—dan apapun yang berkaitan dengannya. Akal sehat pun dikesampingkan. Radikalisme bukan hanya hantu tapi juga dijadikan musuh bersama.
Saya bilang ini semacam statutophobia—ketakutan kehilangan kedudukan dan jabatan. Satu virus akut. Kejam dan membunuh. Hinggap di kepala rezim penakut karena paranoid. Takut kuasanya berkurang atau bergeser sedikit.
Statutophobia bisa hinggap dimanapun; saya atau kita semuanya tanpa terkecuali. Pada penderita selalu mencari kambing hitam. Setidaknya sesuatu yang bisa disalahkan untuk dibunuh. Dibully atau sekadar direndahkan di muka umum.
Hantu Radikalisme
Sejarah penuh dengan adegan kumal. Sewenang-wenang karena statutophobia. Tapi manusia tak kunjung kapok. Apalagi belajar dari sejarah kelam masa lalu. Inginnya malah mengulang. Dan membuat lebih. Kita mudah percaya pada berita atau rencana jahat di seberang rumah.
Kita gampang dibodohi dan gemar terima kabar dusta. Menelan mentah suatu teori konspirasi. Statutophobia itulah yang menyebabkan Prof Quraisy Syihab diboikot, fatwanya diabaikan. Dibilang sesat bahkan kafir. Jokowi luluh-lantak dibilang antek PKI. Atau Keturunan China. Rizieq Syihab tak juga pulang karena terpapar radikalisme.
Kiai Umar Basri wajahnya remuk ditinju. Ustaz Abdul Shomad, Ustaz Felix Siauw beberapa kali gagal bertemu dengan jamaah karena halaqahnya dibubarkan. Sebab dianggap intoleran, radikal dan anti-kebinekaan. Menolak teror dengan cara intimidasi. Mengusir yang dianggap radikal dengan teror. Akibatnya jelas: kekerasan semakin menguat.
Statutophobia juga terjadi pada bahasan tentang migrasi, 10 bahkan 20 juta tenaga kerja dari China yang konon menguasai pesisir. Atau 9 naga yang mencaplok Jakarta, kebangkitan PKI, dan isu-isu rasis lainnya.
Kita Suka Mengunyah Mentah Berita
Kita memang suka dengan yang tak utuh dan tak perlu bukti. Dan menelan mentah tanpa klarifikasi. Semua dusta. Kita suka mengunyah mentah berita. Berakibat fatal karena kita tiba-tiba menjadi gelap mata.
Penderita statutophobia bisa melakukan apapun atas nama kebenaran yang diyakini. Radikalisme hanyalah kambing hitam untuk dipersalahkan. Agar kekuasaan rezim aman terjaga—tapi ini salah. Bahkan kebanyakan rezim kerap jatuh karena statutophobia yang dibuatnya sendiri.
Statutophobia pernah membuat banyak rezim tersungkur, sebut saja Dzu Nuwas yang beringas. Membunuh orang beriman penganut Nasrani yang dituduh makar. Puluhan ribu dimasukkan parit dan dibakar.
Beratus tahun yang lalu pada masa Raja Nero sejumlah penganut Kristen dilempar ke mulut singa. Disoraki rakyat banyak. Karena dituduh membakar ibu kota. Sayyidina Ali ra, Khalifah ke-empat yang dijamin masuk surga tanpa dihisab, ditikam dari belakang. Juga karena statutophobia. Sebelum dikafirkan karena berdamai dengan Muawiyah.
Di awal 1940-an Hitler membunuhi orang Yahudi yang dituding membuat skenario menguasai dunia. Tahun 1965 ribuan yang dituduh PKI digorok. Karena simbol palu dan arit. Sebelumnya PKI juga membunuh jamaah saat pulang dari salat subuh. Juga membunuh para jendral dan melakukan makar. Statutophobia memang mengerikan. Di tengah jaman itulah kita sekarang hidup.
Kebijakan Berdasarkan Gosip
Ironisnya para pemimpin kita sekarang doyan gosip dan menjadikannya sebagai dasar kebijakan—persis masa Romawi menjelang rubuh. Raja Louis XVI dan pujaan hatinya Maria Guiletone kurang lebih juga sama. Banyak pangeran dan musuh politik dipotong lehernya karena gosip.
Negara yang kuat semakin paranoid—Sensi dan penuh curiga karena takut kekuasaanya berkurang.
Penderita statutophobia bukan karena kurang terpelajar atau kurang informasi. Justru mayoritas penderita adalah para ilmuwan yang hilang taji. Tak punya komunitas dan media bercengkerama. Alias kurang gaul. Pulangnya kurang malam. Dan mainnya kurang jauh. Atau mungkin dia mengalami penindasan dan intimidasi saat di rumah.
Rezim butuh statutophobia—untuk menciptakan musuh dan rasa takut bersama. Diciptakan berbagai statutophobia tentang siapa disebut radikal untuk membangun opini. Yang dapat disalahkan kemudian dibunuh ramai-ramai.
Lalu terbangunlah image tentang rasa takut dan cemas. Menjadi hantu yang menguasai pikiran. Masing-masing punya hantu untuk dipersalahkan sebagai kambing hitam: Hantu radikaliame. Hantu PKI. Hantu liberalisme. Hantu China. Hantu vandalisme. Hantu ISIS. Hantu Syiah. Dan hantu-hantu lain yang dapat mengenyangi pikiran busuk kita. Diciptakan untuk dimusnahkan atau dibully.
Para pembuat status yang terus menyebar benci. Permusuhan dan dendam. Dengan pikiran busuk dan rendah. Memfitnah dengan kabar dusta. Tanpa klarifikasi. Membuat sketsa dan cerita. Kemudian dibully dan direndahkan di depan banyak orang. Kita hanya ingin semua yang tidak kita sukai rubuh dan jatuh. Dan gemar melihat tubuh bergelantung dibakar.
***
Teringat Dzun Nuwas penguasa Yaman yang ketakutan tiraninya goyah pada kisah Ashabul Qaryah. Menguliti dan membakar orang beriman penganut Nasrani yang dicap radikal. Semua bermula dari kabar dusta dan rasa takut.
Rezim terpapar Statuto Phobia memang mengerikan, terus mencari kambing hitam untuk dipersalahkan.