Indonesia sudah terlanjur menjadi sebuah negara dan bangsa yang besar. Ini adalah sebuah takdir yang, dalam perspektif keberagamaan umat Islam, harusnya disyukuri. “Nikmat mana lagi yang engkau dustakan?” Begitu Al-Qur’an menyindir beberapa kali. Di sinilah memang isu pentingnya, yaitu pengelolaan bangsa dan negara. Salah satunya tentang politik dan partai Islam.
Dalam konteks politik, tidak sedikit kalangan yang memandang lebih positif dan optimistik bahwa demokrasi kita telah teruji dan berkembang maju. Tidak seperti di beberapa negara muslim lainnya, Islam di Indonesia telah menjadi bagian penting dari pertumbuhan demokrasi. Akan tetapi tidak sedikit juga yang cenderung pesimistik memandang Indonesia.
Pengalaman Berdemokrasi
Sejak kemerdekaannya hingga saat ini bangsa Indonesia telah melampaui proses yang sangat dinamis bidang politik. Berbagai sistim politik telah diterapkan dengan berbagai implikasi yang ditimbulkanya. Ini antara lain karena Indonesia adalah bangsa yang sangat kompleks secara kultural sehingga demokrasi dari masa ke masa mengalami evaluasi. Jadi, memang ada kaitan kuat antara pengalaman dan dinamika politik dengan kompleksitas kultural dan agama di Indonesia.
Tak dipungkiri bahwa berbagai pengalaman dan dinamika politik ini telah membuat masyarakat Indonesia menjadi semakin matang. Hingga saat ini sudah terasa bahwa tingkat kesadaran dan partisipasi politik masyarakat termasuk kaum perempuan makin tinggi. Ini menunjukkan bahwa kemajuan berdemokrasi sudah nampak karena masyarakat pada umumnya telah memperoleh peluang ikut menentukan arah kehidupan politik dan mempengaruhi berbagai kebijakan publik. Indonesiapun, secara umum, dikenal sebagai negara dan bangsa demokratis terbesar dengan mayoritas berpenduduk muslim.
Secara prosedural dan dalam perspektif mekanisme politik, demokrasi semakin mapan. Pemilu sebagai salah satu instrumen penting demokrasi, misalnya, memperoleh jaminan perlindungan. Perangkat undang-undang dan peraturan yang secara khusus terkait dengan Pemilupun telah tersedia. Ini diantara tanda tanda demokrasi semakin terkonsolidasi.
Umat Islam, sebagai penduduk terbesar, sepanjang sejarahnya tentu juga memiliki andil yang sangat besar dalam menentukan arah ke depan bangsa baik sebelum, saat maupun setelah kemerdekaan hingga saat ini. Tidak saja memperjuangkan kemerdekaan baik melalui perjuangan fisik revolusioner maupun melalui jalur politik, konstitusi dan diplomatik, akan tetapi juga memberikan arah ke depan demokrasi.
Pasang-surut Partai Islam
Tumbuh dan berkembangnya (pasang surut) partai-partai politik Islam dan bagaimana berkontestasi kemudian termarjinalkan, haruslah dipahami sebagai salah satu bentuk Ijtihad umat Islam di Indonesia. Artinya, umat Islam, dengan menggunakan Islam sebagai sumber etika dan ideologi, telah ikut memberikan andil penting dalam mempersubur dan memperkuat demokrasi. Kompatibelitas Islam dan demokrasi memang tak bisa diragukan.
Telah banyak ahli menjelaskan bagaimana Islam telah menjadi elemen penting dalam berdemokrasi di Indonesia. Inilah juga yang kemudian menjadi keunikan dari relasi antara Islam dan demokrasi dan politik di Indonesia. Sebagai ijtihad, sebagaimana partai partai lain, partai-partai Islam tentu saja tidaklah bisa berharap adanya jaminan akan memenangkan kontestasi dan menjadi a dominating and ruling party, memimpin dan menentukan arah negeri ke depan.
Faktanya memang kekuatan politik Islam tidak pernah menjadi partai terbesar dan pilihan mayoritas muslim Indonesia. Masyumi adalah partai Islam pertama dan terakhir menjadi harapan umat Islam Indonesia. Usianya tidak lama karena pertentangan internal.
Melemahnya Partai Politik Islam
Tak bisa dipungkiri bahwa kepemimpinan politik (umat) Islam telah mengalami marjinalisasi yang sistimatik. Banyak faktor, antara lain karena:
Pertama, Konflik antar elit dan aktor politik karena rivalitas memperebutkan kursi, posisi atau jabatan-jabatan politik. Konflik terjadi di kalangan internal satu partai politik Islam tertentu dan juga antar partai Islam. Tidak jarang konflik ini terjadi secara berkepanjangan sehingga memperlemah kepemimpinan politik Islam dan pertentangan di kalangan umat. Secara politik umat kehilangan kepemimpinan yang efektif.
Kedua, Tidak pernah ada kesepemahaman tentang satu format politik Islam yang harus dianut dalam kerangka Pancasila dan NKRI. Demokrasi telah memberikan ruang yang lebar bagi umat untuk melakukan ijtihad politik yang diyakini sesuai dengan harapan mereka. Namun, demokrasi juga menjadi pintu masuk munculnya berbagai perbedaan tajam yang jika tidak dikelola justru bisa mengakibatkan konflik.
Perbedaan-perbedaan tersebut bisa karena kepenganutan fanatik terhadap madzhab keislaman, juga bisa karena faktor-faktor ideologi dan sistim politik apa yang harus dipilih. Isu tentang Khilafah dan Negara Islam Indonesia, misalnya, menjadi sinyal terang bahwa tidak semua elemen umat Islam berkeyakinan bahwa negara RI yang berdasarkan Pancasila bisa diharapkan menjadi pilihan final bagi umat.
Sejalan dengan itu, ada juga yang berpandangan bahwa demokrasi tidak kompatibel dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam; demokrasi adalah sistim Kufur karena itu wajib ditolak. Kecenderungan politik ini bisa menjadi duri apalagi jika bertemu dengan Kaum Transnasionalis yang misalnya cenderung melakukan tindakan-tindakan kekerasan dalam memperjuangkan cita-cita mereka.
Memang, di mana-mana, ada kelompok yang berusaha membajak demokrasi atau menggunakan demokrasi justru untuk membangun sistim dan ideologi yang sesungguhnya bertentangan dengan Pancasila dan NKRI
Ketiga, Menguatnya pragmatisme dan sekularisme politik. Sejalan dengan perubahan dan dinamika global, bangsa Indonesia dihadapkan dengan pandangan dan pola hidup yang cenderung semakin pragmatis dan meminggirkan peran-peran agama dalam ranah publik yang seharusnya bisa menjadi petunjuk jalan kehidupan. Agama hanya relevan secara personal sepanjang dibutuhkan.
Sejalan dengan itu, negarapun memberlakukan sekularisasi politik; kemajuan hanya bisa dilakukan dengan cara membebaskan politik dari agama. Akibatnya, antara lain, munculnya sikap permisif aktor politik untuk mewujudkan harapan dan cita-cita mereka. Penyuapan, money politics, penipuan, kebohongan publik, fitnah, penyebaran hoax, bully, ancaman adalah contoh-contoh gamblang dari tradisi politik pragmatis-sekular.
Kebijakan publik tidak lagi mendasarkan diri kepada nilai-nilai keluhuran dan untuk kepentingan kemaslahatan dengan cara cara yang luhur. Karena itu politik kanibal juga terjadi karena tidak ada lagi dedikasi dan loyalitas kepada partai; ideologi kehilangan relevansinya.
Keempat, kehilangan Public Trust. Partai berbasis Islam dan elit politik Islam semakin kehilangan kepercayaan dan tempat di mata masyarakat karena tidak cukup meyakinkan menjadi teladan dan mampu memperjuangkan aspirasi umat. Kepercayaan masyarakat terhadap politik (partai) berbasis Islam mengalami deteriorasi dan ini bisa dilihat paling tidak dari perolehan suara dari satu Pemilu ke Pemilu berikutnya.
Kelima, semakin kehilangan kekuatan moral untuk merespons dan apalagi menyelesaikan berbagai problem dekadensi yang menjerat negeri. Sebagai akibat panjang dari sistim politik yang oligarkis dan nyaris kleptokratik, partai politik berbasis Islampun tidak memiliki kekuatan efektif sebagai problem solver, pertama karena perolehan suara yang tidak menentukan dan, kedua, kerena banyak elit politik yang bahkan menjadi bagian dari masalah.
Konsolidasi Politik Islam
Ke depan, kekuatan politik berbasis Islam sangat mungkin akan semakin kehilangan relevansinya dan ditinggalkan masyarakat jika tidak segera melakukan perubahan dan konsolidasi. Konsolidasi ini dimaksudkan untuk :
Pertama, Mendorong ide perubahan sistim politik agar sesuai dengan amanah UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah “negara kesatuan” dengan sistim pemerintahan Presidensial. Sistim ini menegaskan adanya hubungan yang kuat antara pusat dan daerah dengan otiritas dan struktur yang jelas. Sementara, sistim ketatanegaraan yang selama ini dipraktekkan cenderung menganut sistem federalisme. Melalui perubahan sistim politik ini, disamping sistim ketatanegaraan akan tertata semakin baik, budaya politikpun akan tumbuh dan berkembang semakin sehat.
Kedua, Meninjau ulang format perjuangan politik Islam dalam bingkai NKRI dan Pancasila, merumuskan ulang visi dan strategi perjuangan politik (umat) Islam yang tepat dan membangun kepemimpinan politik yang kuat dan efektif serta memiliki kemampuan menjadi a smart political party.
Ketiga, Menggencarkan litetasi atau edukasi politik dengan maksud memberikan kesadaran bahwa politik bukanlah komoditas yang dijualbelikan; politik adalah alat perjuangan untuk mewujudkan kemaslahatan umum. Kemudian, literasi juga dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Islam adalah ajaran luhur dan bisa menjadi sumber untuk meningkatkan kualitas demokrasi.
Dengan gerakan literasi politik ini, komitmen kebangsaan masyarakat menguat, partisipasi publik khususnya dalam bidang politikpun tetap meningkat dan yang juga penting mampu melahirkan kader-kader atau calon pemimpin politik yang handal dan bermoral tinggi.\
***
Tidak mudah tentunya untuk melakukan konsolidasi secara menyeluruh agar kekuatan politik termasuk partai politik Islam, jika berharap terus survive, memiliki kemampuan cukup untuk memperkokoh demokrasi di era yang tanpa batas dan disruptif.
Editor: Nabhan Mudrik