Sebagai umat Islam yang lahir di Indonesia, sejak kecil kita telah diajarkan beberapa doktrin. Doktrin-doktrin tersebut, dalam batas tertentu, dianggap telah pakem dan fiks. Salah satu doktrin yang masyhur dan dilanggengkan oleh mayoritas ‘ulama’ dan ‘ustadz’ di Indonesia adalah doktrin bahwa mu’tazilah merupakan aliran sesat.
Sebagaimana kita tahu, umat Islam di Indonesia lebih dekat dengan paham asy’ariyah. Implikasinya, dalam melihat takdir, umat Islam di Indonesia lebih dekat dengan paham jabbariyah. Jika tidak mau disebut jabbariyah, maka umat Islam di Indonesia mengaku menggunakan jalan tengah atau kompromi antara jabbariyah dan qodariyah.
Penjelasan tentang hal ini tentu tidak pernah sederhana. Mahasiswa S1 studi Islam sering kali memperdebatkan hal-hal ini secara rumit. Di sisi lain, tak banyak dosen yang mampu menguraikan jalan tengah atau kompromi antara jabbariyah dan qodariyah tersebut. Intinya, paham mu’tazilah beserta turunannya, termasuk qodariyah, dianggap sebagai paham sesat karena menegasikan kekuasaan Tuhan.
Harun Nasution, salah satu tokoh pemikir Islam yang telah mengenyam pendidikan di Timur Tengah dan di Barat datang untuk mendobrak kemapanan doktrin tersebut. Dampaknya tentu saja besar. Ia dianggap sebagai peletak dasar dan generasi pertama liberalisme Islam di Indonesia.
Gagasan Harun Nasution yang secara terang-terangan mendukung paham mu’tazilah beserta qodariyah membuatnya menjadi bulan-bulanan intelektual muslim yang lain. Sebagaimana tokoh pembaharu Islam lain, ia juga mendapatkan berbagai caci maki dari masyarakat. Salah satu yang paling vokal dan serius ‘menggebuk’ pemikiran Harun Nasution adalah H.M. Rasjidi.
Bahkan, H.M. Rasjidi sampai merasa perlu repot-repot menulis buku khusus yang menanggapi pemikiran Harun Nasution. Buku tersebut berjudul Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.
Memang, salah satu ‘tingkah’ Harun Nasution yang menggegerkan umat Islam adalah ketika ia menerbitkan buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Buku tersebut kini menjadi mata kuliah wajib di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, di mana Harun Nasution menjadi rektornya pada tahun 1973-1984.
Biografi Harun Nasution
Prof. Dr. Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatra Utara pada 25 September 1919. Ayahnya, Abdul Jabar Ahmad, merupakan tokoh agama di Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara. Sementara itu, ibunya merupakan keturunan ulama yang pernah tinggal di Makkah.
Harun kecil mengawali pendidikan formal di Hollandsch Inland School (HIS). Selain itu, sebagai putra seorang ulama, ia juga mendapatkan pendidikan agama di rumah sejak kecil. Pada tahun 1934, ia lulus dari HIS dengan status lulusan terbaik.
Ia kemudian melanjutkan pendidikan di Modern Islamietische Kweekschool (MIK) di Bukittinggi. MIK adalah salah satu sekolah yang berorientasi modern di tanah Minang, yang didirikan oleh Syekh Jamil Jambek. Di sekolah tersebut, Harun mulai mendapatkan paparan pemikiran-pemikiran kritis.
Orang tua Harun kemudian mengkhawatirkan tentang pemikiran anaknya. Mereka kemudian mengirim Harun untuk belajar ke Makkah. Menariknya, Harun merasa bahwa kondisi Makkah lebih terbelakang dibandingkan dengan kehidupannya di Sumatra.
Tak tertarik di Makkah, ia bertolak ke Kairo. Ia kemudian masuk ke Universitas Al-Azhar. Di kampus tertua dalam dunia Islam tersebut, ia hanya belajar selama satu tahun. Ia kemudian pindah ke Universitas Amerika di kota yang sama. Pada tahun 1952, Harun lulus dengan gelar sarjana muda dari Universitas Amerika, Kairo.
Setelah lulus, ia bekerja sebagai staf di Departemen Luar Negeri (KBRI) Mesir dan Belgia. Ia sempat menjadi sekretaris III di KBRI Brussel, Belgia. Pada tahun 1960, ia kembali belajar di Institute of Islamic Studies McGill University, Kanada. Ia berhasil meraih gelar magister pada tahun 1965.
Tak puas dengan raihan tersebut, ia kembali melanjutkan studi doktoral di bidang yang sama. Pada tahun 1968, ia berhasil menyelesaikan disertasi berjudul The Place is Reasson in Abduh’s Theology: Its Impact on His Theological System and Views.
Setelah lulus, Harun Nasution pulang ke Indonesia, namun tidak ke kampung halamannya di Sumatra Utara. Ia memilih Jakarta sebagai tempat berkarir. Ia menjadi dosen di beberapa kampus seperti IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (kini menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dan IKIP Jakarta (kini menjadi UNJ).
Pada tahun 1973, ia dipercaya sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jabatan tersebut ia emban hingga sepuluh tahun kemudian. Jabatan tersebut ia manfaatkan untuk merubah wajah IAIN menjadi lebih terbuka. Ia merombak kurikulum dengan menambahkan filsafat, tasawuf, perbandingan mazhab, kalam, perbandingan agama, dan lain-lain.
Karya
Salah satu karya paling fenomenal dari Harun Nasution adalah Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Buku tersebut ia tulis pada tahun 1974, tepat satu tahun setelah dilantik sebagai rektor. Setelah itu, ia menulis buku Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan (1977); Filsafat Agama (1978); Filsafat dan Mistisme dalam Islam (1978); Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1978); Akal dan Wahyu dalam Islam (1980); Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (1987); dan Islam Rasional (1995).
Pemikiran Harun Nasution
Sebagai seorang intelektual besar, Harun dikenal dengan dukungannya terhadap mu’tazilah. Ia memberikan porsi yang besar terhadap akal. Menurutnya, penggunaan akal secara maksimal adalah salah satu kunci penting dalam memajukan umat Islam yang tengah tertinggal. Padahal, saat itu, bahkan hingga kini, paham mu’tazilah dianggap sebagai aliran yang menyimpang oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.
Salah satu tokoh yang mempengaruhi Harun adalah Muhammad Abduh. Abduh adalah salah satu pembaru Islam dari Mesir yang masyhur di dunia Islam. Abduh pula yang menginspirasi Ahmad Dahlan, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah.
Melalui pemberian porsi yang besar terhadap akal, Harun Nasution ingin melumat kejumudan umat. Menurutnya, kejumudan membuat umat Islam tidak maju. Paham asy’ariyah yang meniscayakan paham jabbariyah membuat umat Islam menjadi fatalis. Fatalis artinya bersikap pasrah atas apa yang menimpa dirinya dan tidak memiliki daya juang yang tinggi. Berbeda dengan paham mu’tazilah yang meniscayakan qodariyah, yang mengajarkan agar umat Islam selalu berusaha mencapai kemajuan.
Dengan demikian, ia menyebut Islam sebagai agama rasional. Sebagai pemeluk agama rasional, umat Islam harus menggunakan akal dalam beragama. Iman seorang muslim menjadi tidak sempurna jika beriman tanpa akal.
Di sisi lain, potensi akal juga harus dimaksimalkan agar dapat mencapai kemajuan. Memaksimalkan potensi akal berarti memaksimalkan dan memajukan ilmu pengetahuan. Islam mesti sesuai dengan ilmu pengetahuan, demikian pula sebaliknya.