Feature

Hasil Survei, Rezim Elektabilitas, dan Keberanian Partai Politik yang Perlu Dipuji

3 Mins read

Hadirnya sejumlah lembaga survei di Indonesia yang dibawa oleh para sarjana Indonesia yang belajar di Amerika Serikat sejak tahun 2000-an ini, harus diakui, membawa angin segar dalam ilmu politik di Indonesia sekaligus pegangan partai politik saat ingin mengajukan kader-kadernya dalam politik elektoral untuk jabatan Pemimpin Daerah ataupun Presiden dan Wakil Presiden. Di sisi lain, pemilihan langsung ini memperkuat posisi elektabilitas hasil survei sebagai kajian penting yang harus dipegang. Di sini, popularitas dari hasil kajian survei menjadi sandaran utama mengapa figur tertentu layak dianggap maju dalam pertarungan politik elektoral atau tidak.

Karena menjadi referensi utama, elektabilitas ini memiliki titik persoalan yang mendasar, di mana partai politik kemudian memilih figur yang dianggap memiliki elektabilitas yang tinggi. Sementara itu, proses kaderisasi menjadi terabaikan ketika menjadikan elektabilitas ini sebagai panglima. Alih-alih bicara persoalan visi dan misi dalam membangun Indonesia, elektabilitas kemudian menjadi pembicaraan yang paling penting ketimbang semuanya. Visi dan misi, dengan demikian, sebagai sesuatu yang bisa dibicarakan kemudian. Akibatnya, yang terjadi kemudian, simulasi untuk memasangkan calon A dan B dengan kalkulasi hasil survei untuk membaca kemungkinan keinginan publik menjadi jauh penting ketimbang siapa yang memiliki gagasan dan program yang bagus.

***

Kuatnya elektabilitas Jokowi karena dianggap kinerjanya memuaskan dengan perhitungan 82% sesuai dengan hasil survei LSI, misalnya, membuat masing-masing partai dan calon pasangan Presiden dan Wakil Presiden, berusaha mati-matian minta mendapatkan dukungan Jokowi. Jikalaupun tidak dapat, tim sukses ini bekerja keras seolah-olah didukung oleh Jokowi. Bahkan, Anies yang awalnya mengkritik proses pembangunan yang dilakukan Jokowi, lambat laun gaung kritiknya makin hilang. Tampaknya, mengkritik Jokowi akan menjadi bumerang terhadap elektabilitas Anies sendiri.

Baca Juga  Muhammadiyah, Pilpres 2024, dan Interpretasi Paul Ricoeur

Ketergantungan kepada Jokowi ini membuat sejumlah partai politik sekaligus publik menunggu arah kecenderungan Jokowi terkait dengan siapa yang akan didukung: Apakah Ganjar atau Prabowo? Satu sisi, harus diakui, karena ingin mengamankan warisan pembangunan dan infrastrukturnya yang masih terus berjalan, khususnya Ibu Kota negara (IKN), Jokowi memiliki kepentingan kepada calon presiden yang akan melanjutkan kerja-kerja yang telah dilakukan. Upaya menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi, misalnya, menjadi perhatian khusus tim Prabowo, mengingat mereka tampaknya mengajukan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Wakil Presiden. Dengan diajukan Gibran sebagai calon wakil presiden, harapannya adalah dapat menguatkan elektabilitas Prabowo. Apalagi, Gibran merupakan pewaris fisik Jokowi yang memiliki hubungan darah antara ayah dan anak.

Jalan terbuka yang dilakukan Mahkamah Konstitusi melalui perubahan aturan main terkait dengan usia minimal yang bisa dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden dari yang sebelumnya 40 tahun menjadi 35 tahun, memungkinkan Gibran untuk maju ke dalam gelanggang politik elektoral pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini tentu saja membuat kekhawatiran tim pemenangan Ganjar. Ini terlihat dengan terjadinya perubahan sikap para buzzers politik dan pendukung yang dahulu mendukung Jokowi, kini justru menjadi pengkritik utama. Mereka menganggap Jokowi seolah-olah “mendiamkan” keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Sebelumnya, pendukung sekaligus relawan yang melawan ini selalu mempertanyakan posisi Jokowi terkait dengan pilihan politiknya.

***

Namun harus diakui, elektabilitas bukan satu-satunya pertimbangan partai politik untuk memilih calon Presiden dan Wakil Presiden. Ini terlihat dengan kemunculan pasangan Anies dan Muhaimin (AMIN). Meskipun secara elektabilitasnya jauh di bawah Ganjar dan Prabowo, mereka optimis untuk memenangkan pertarungan Pilpres 2024. Terlepas mungkin banyak orang tidak setuju dengan pasangan AMIN, khususnya Anies Baswedan yang memainkan politik identitas dalam Pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2017, setidaknya mereka berani keluar dari keterkungkungan rezim elektabilitas ini mengajukan pilihannya masing-masing.

Baca Juga  Jelang Pilpres 2024, PCIM & PCINU Turki Gelar Diskusi Kolaborasi Bahas Pendidikan dan Kepemudaan

Hal yang sama kini dilakukan oleh tim Ganjar Pranowo, khususnya PDI-P yang memilih figur terkenal tapi sebenarnya tidak terlalu disukai oleh partai politik. Hal ini mengingat ia tidak memiliki posisi tawar yang lebih, yaitu Mahfud MD. Dengan percaya diri PDI-P memilih Mahfud MD, alih-alih Erick Thohir dan Ridwan Kamil yang memiliki elektabilitas cukup tinggi. Mahfud MD berada diurutan terbawahnya, sebagaimana survei yang dilakukan oleh LSI, Indikator Politik dan Litbang Kompas. Keputusan untuk memilih Mahfud ini cukup berani tetapi sekaligus membuka ruang kemungkinan calon pemilih yang merasa tidak sreg dengan calon yang selama ini ada.

***

Keberanian partai politik dengan memilih calon yang tidak berdasarkan pada pilihan elektabilitas ini memang berbahaya. Ini bisa menjurus kepada kekalahan, mengingat basis rasionalitasnya menjadi kecil. Namun, upaya untuk keluar dari keterkungkungan rezim elektabilitas ini sebagai sesuatu yang perlu dipuji agar memberikan pilihan lebih untuk masyarakat atas calon-calonnya yang tidak hanya didasarkan pada elektabilitas hasil survei yang sekiranya disuka publik, melainkan juga pilihan alternatif. Kehadiran Mahfud MD, misalnya, memberikan optimisme publik untuk memilih kembali. Sebab, tidak semuanya harus didukung segala sesuatu yang terkait dengan Jokowi, termasuk anak-anaknya yang masuk ke gelanggang politik dengan mudah.

Terlepas dari kelemahan yang dimiliki oleh PDI-P, dengan memilih Mahfud MD menemani Ganjar untuk Pilpres 2024 ini merupakan langkah yang perlu dipuji. Apalagi, Megawati memiliki hak veto untuk memilih Puan Maharani sebagai calon wakil dan presiden, tetapi itu tidak diambilnya. Sikap politik yang dilakukan Megawati ini merupakan pembelajaran penting betapa ideologi, kaderisasi, sekaligus rasionalitas untuk tidak terlalu terjebak dalam logika elektabilitas itu perlu dilakukan. Sekarang, kita tinggal melihat tim Prabowo, apakah memiliki keberanian tersebut dengan keluar dari keterkungkungan popularitas Jokowi atau tetap memilih Gibran?.

Baca Juga  MY Esti Wijayati, Legislator Perempuan di Balik Perjuangan Panjang UU TPKS

Editor: Soleh

84 posts

About author
Peneliti di Research Center of Society and Culture LIPI
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds