Pemikiran filosofis Ibn Thufail, terletak pada karyanya yaitu kisah fiksi Hayy Ibn Yaqzhan. Dalam kisah tersebut, ia menyatakan pandangan filsafatnya tentang alam semesta, Tuhan, agama, moral, manusia dan wataknya, budaya masyarakat formal, serta adanya keserasian antara agama dan filsafat.
Membuktikan Keserasian Rasio dan Mistis
Dalam cerita roman Hayy bin Yaqzhan tersebut, Ibn Thufail juga mencoba membuktikan kebenaran tesis kesatuan kebijaksanaan rasional dan mistis melalui kisah fiktif, bahwa manusia dengan segala kelemahannya dapat saja berkomunikasi dengan Tuhan dengan kekuatan akalnya (filsafat) maupun dengan kekuatan kalbunya (tasawuf).
Berawal dari seorang anak (oleh Ibn Thufail diberi nama Hayy Ibn Yaqzhan) yang dilahirkan dari seorang perempuan yang merupakan adik kandung dari seorang raja di kepulauan Hindia yang dikawini Yaqzhan secara rahasia, karena ibu Hayy takut perkawinannya diketahui oleh raja, maka setelah lahir Hayy dibuang ke sebuah pulau yang tak berpenghuni dan terpencil tanpa pemeliharaan.
Di pulau tersebut, Hayy hidup dengan seekor rusa yang kehilangan anaknya dan sudi untuk menyusuinya sampai Hayy bisa mempertahankan diri dari serangan binatang buas yang hidup di sekitarnya.
Hayy dikaruniai Allah kecerdasan yang luar biasa. Di masa hidupnya, Hayy selalu berfikir memperhatikan, mengamati, serta merenungkan segala yang ada di sekitarnya. Dia mempunyai hasrat yang sangat besar untuk mengetahui dan menyelidiki tentang sesuatu yang tidak dapat dimengerti olehnya.
Hayy Memulai Pengamatannya
Kehidupan Hayy kemudian berkembang mengikuti masyarakat yang amat primitif itu dari langkahnya yang pertama. Dilihatnya semua hewan tertutup auratnya dengan kulit dan bulu (pakaian alami) dan masing-masing mempunyai alat pertahanan untuk melindungi diri, sedang ia sendiri telanjang dan tidak bersenjata.
Lalu ditirunya, diambilnya bulu-bulu burung dan daun-daun kayu guna menutup aurat, serta memakai tongkat sebagai alat pertahanan diri.
Pada suatu hari, terlihat oleh Hayy api yang membakar hutan di pulau tersebut. Api itu diambilnya, lalu dinyalakannya api itu terus menerus. Dengan api tersebut dicobanya membakar burung, lalu terasalah baginya kelezatan burung itu.
Dia mulai berburu hewan untuk dimakan. Dipeliharanya anjing untuk menemaninya berburu. Makanan yang berlebih disimpan untuk hari yang berikutnya. Dengan kekuatan akalnya, Hayy sudah mampu mengenal kebutuhan-kebutuhan hidupnya, mulai dari menutup dirinya, memiliki alat pertahanan, cara memakai api, membangun tempat berteduh, dan lain-lain.
Hari berikutnya, tiba-tiba saja, rusa yang mengasuhnya sejak kecil sudah mati. Kenapa mati? Dia pun heran dan ini menimbulkan 1000 pertanyaan bagi Hayy, sebab belum pernah dia mendapati ataupun melihat seekor hewan mati dengan sendirinya tanpa ada yang membunuh.
***
Hayy lalu memikirkan, mengapa ada peristiwa kematian itu. Ibn Thufail yang juga ahli anatomi, menguraikan bagaimana anak itu (Hayy) membedah tubuh rusa itu, mencari-cari apa yang membuatnya tak bernyawa, padahal tubuh tersebut masih utuh, masih lengkap.
Dia pun merenung, dan akhirnya Hayy mengerti bahwa sebab kematian itu berada di luar badannya itu. Lalu diapun bertanya-tanya, siapakah yang berkuasa di luar badannya itu?
Dengan pemikiran ini sampailah akal Hayy kepada pengakuan ketuhanan. Ia memastikan, bahwa di balik keaneka-ragaman itu semua tentu ada kesatuan (keseragaman) dan kekuatan yang tersembunyi, yang tidak kelihatan namun mampu mengatur segalanya.
Dalam istilah jawara Filosof, Aristoteles, ada Penggerak Yang Tak Digerakkan. Dia pun percaya kepada Tuhan yang mengatur segala gerak-gerik manusia, dengan itu dia juga tidak lagi mementingkan soal makan, sebab akhirnya toh, dia pun akan mati.
Mengamati Gerak-Gerik Benda Luar Angkasa
Selanjutnya Hayy ibn Yaqzhan mulai melirik, mengamati serta merenungkan tentang segala gerak-gerik yang ada di luar angkasa. Gerakan bintang, perputaran bulan, dan peredaran matahari dan pengaruhnya atas bumi.
Dari penyelidikannya itu, Hayy pun tahu tentang ilmu astronomi dan dia sering melakukan eksperimen terhadap benda-benda sekitarnya. Dari sana bertambahlah keyakinannya tentang adanya Penggerak Yang Tak Digerakkan, yang mengatur segala yang ada dilangit dan dibumi.
Dari mengamati alam, Hayy pun beralih menjadi seorang yang ingin mengetahui Tuhan, dan sebagai ganti dari mencari pengetahuan dengan melalui dalil-dalil dan kesimpulan-kesimpulan logika, atau dengan perkataan lain, pengetahuan obyektif, kemudian ia tenggelam dalam perenungan rohani. Ia memandang keseluruhan alam semesta sebagai pantulan (refleksi) dari satu Tuhan, dan selanjutnya ia senang melakukan ekstasi (semedi).
Sementara itu, di pulau lain, yang tak jauh dari pulau yang didiami oleh Hayy, terdapat masyarakat yang telah menerima seruan Nabi. Di antara pemukanya adalah Asal dan Salaman.
Dalam menjalankan syariat Nabi, mereka berbeda pendekatan. Asal lebih tertarik kepada aspek bathin syari’at dan cenderung mentakwilkan secara filosofis dan sufistik, sedangkan Salaman memahami syari’at secara lahiriyah dan tekstual, dan itu didukung oleh masyarakat banyak di pulau itu. Karena adanya perbedaan pendekatan tersebut, merekapun berpisah.
Asal lalu pergi ke pulau lain untuk ber-uzlah (menyendiri). Tetapi pulau yang didatanginya itu ternyata tempat tinggal Hayy. Setelah keduanya bertemu dan berkomunikasi, Hayy pun dilajarinya bahasa dan merekapun saling berbagi pengalaman.
Asal menceritakan kebenaran-kebenaran yang ia peroleh dari wahyu, sedangkan Hayy menceritakan penemuan akalnya sendiri. Akhirnya, kedua orang tersebut dapat saling menerima penjelasan-penjelasan itu dan memperkuat ajaran agama.
Lalu keduanya sepakat untuk pergi ke pulau yang didiami oleh Salaman untuk mengajarkan rahasia kehidupan sejati kepada penduduknya.
Kedatangan Hayy dan Asal mula-mula mendapat sambutan yang baik dari penduduk. Namun, ketika mereka mendakwahkan keyakinan suci mereka, penduduk menolaknya dan menganggapnya sesat, karena telah mapan dengan pemahaman zahir nash wahyu.
Dengan berat hati merekapun kembali lagi ke pulau yang dulu dihuni oleh Hayy. Di sana keduanya melanjutkan kontemplasi terhadap Tuhan dengan cara masing-masing sampai datang kematian menjemput mereka.
Editor: Yahya FR