Saya menulis sejarah pemikiran Hans Bague Jassin karena tiga alasan. Pertama, saya ingin mengenalkan tokoh hebat dalam bidang sastra Indonesia kepada teman-teman sebaya. Kedua, saya melihat bahwa sastra di Indonesia memiliki kaitan inspiratif dengan Al-Qur’an yang melekat pada sosok Jassin. Terakhir, saya merasa bahwa Jassin yang disebut penganut humanisme universal mendapatkan momentumnya ketika mengalami alunan ritmik puitis dalam upayanya memahami Al-Qur’an.
Mengkaji Al-Qur’an dan sikap kemanusiaan pada masa pandemi Covid-19 di bulan Ramadlan ini, terasa sangat syahdu dan tepat.
Riwayat Hidup dan Karya Sastra
HB. Jassin punya kiprah yang sangat besar dalam bidang sastra. Terbukti dengan otoritasnya sebagai kritikus dan esais terkemuka di Indonesia pada dasawarsa 1950-1960-an. Koleksi dokumen pribadi sang sastrawan humanis yang terkumpul di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin, adalah pusat dokumentasi terlengkap di dunia.
Kemampuan sastrawan kelahiran Gorontalo pada 31 Juli 1917 ini dalam menghasilkan karya terjemahan tak perlu diragukan. Ia memperoleh penghargaan Martinus Nijhoff atas keberhasilannya menerjemahkan Max Havelaar karya Multatuli ke dalam Bahasa Indonesia. Penghargaan ini diinisiasi oleh Prince Bernhard Fonds untuk kategori terjemahan puisi, drama, atau prosa yang istimewa karena nilai sastranya. Karena kiprahnya yang hebat, Gayus Siagian menjulukinya sebagai Paus Sastra Indonesia.
Selain Max Havelaar, karya terjemahan Jassin, di antaranya: Renungan Indonesia (karya Syahrazad, 1947); Terbang Malam (karya A De St. Exupery, 1949); Api Islam (karya Syed Ameer Ali, 1966); Cis dan Cuk (karya Vincent Mahiu, 1976); Bacaan Mulia (1978); Percakapan Erasmus (1985); Sapi Betina dan Keluarga Imron (1985); Multatuli yang Penuh Teka-teki (karya W.F. Hermans, 1988).
Terjemah Al-Qur’an Puitis
Apabila Max Havelaar menjadi karyanya yang paling kesohor, maka Bacaan Mulia (Al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia) yang terbit pada 1978, menjadi karyanya yang paling kontroversial. Menuai banyak kritik dari berbagai pihak, demonstrasi dari masyarakat, bahkan berujung pada penyidangan klarifikasi oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta.
Jassin mulai tergerak untuk mendalami Al-Qur’an kemudian menerjemahkannya setelah istrinya, Arsiti wafat pada 12 Maret 1962. Lebih tepatnya pada malam kedelapan kematian istrinya, Jassin merasakan rumahnya sepi karena tidak ada lagi yang datang melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Sesuai dengan pengakuannya saat sedang bercakap-cakap dengan Hamka dalam perjalanan pulang dari ruang sidang, “Tidak saya biarkan satu hari berlalu yang saya tidak membacanya (Al-Qur’an). Saya merenungkan ayat demi ayat!”. Semakin sering ia membaca, semakin dirasakannya keindahan alunan Al-Qur’an dalam resepsi kesadaran pikirannya.
Karya Mohammed Marmaduke William Pickthall, The Meaning of The Glorious Koran, yang terjemahannya tanpa teks Al-Qur’an dan disahkan Senat Dewan Universitas al-Azhar adalah salah satu rujukan yang dibaca Jassin sebelum mengerjakan karya terjemahan Al-Qur’an puitisnya. Ada pula karya John Medows Rodwell (The Koran), Arthur J. Arberry yang non-muslim (The Koran Interpreted), Yusuf Ali (The Holy Koran), hingga terjemahan Departemen Agama (Al-Qur’an dan Terjemahannya), serta A Dictionary and Glossary of The Koran, susunan John Penrice, yang memuat semua kata dalam Al-Qur’an.
Tersebab membaca terjemahan Yusuf Ali, The Holy Koran, yang ia dapat dari sahabatnya, Kasim Mansur, ia terpikir untuk menerjemahkan Al-Quran secara puitis. Sedangkan, hampir semua karya terjemahan yang telah dibacanya di atas, berbentuk prosa. Lebih mementingkan kandungannya, dengan model penulisan ayat-ayat Al-Quran yang terpaku pada kepentingan ruang halaman yang telah ditentukan dan disediakan. Sehingga mereduksi sisi sastrawi Al-Quran.
***
Setelah sepuluh tahun mendalami Al-Quran, Jassin menerjemahkannya dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun. Satu tahun pertama saat berada di Belanda, ia berhasil menyelesaikan separuhnya. Saat kembali ke Jakarta, ia menghabiskan waktu kurang lebih setahun pula untuk mengerjakan sisanya. Tercatat bahwa Jassin mulai menerjemah pada 7 Oktober 1972 dan menyelesaikannya pada 18 Desember 1974.
Pada tahun 1978, karyanya diterbitkan Djambatan dengan judul Al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia. Mushaf dan kaligrafi dikerjakan Haji R. Ganda Mangundiharja. Buya Hamka dan Menteri Agama Mukti Ali memberi kata pengantar.
Kontroversi Terjemah Al-Qur’an Puitis
Setelah penerbitannya, Jassin langsung menuai kritik dari berbagai pihak. Mulai dari serangan serentak di media massa, surat-surat untuk Menteri Agama ataupun MUI yang berisi permintaan pencabutan terjemahan dari peredaran. Tiga buku yang membahas tentang karyanya, terbit dalam waktu berdekatan: Koreksi Terjemahan Al-Quranul Karim Bacaan Mulia H.B. Jassin (Nazwar Syamsu, 1978); Polemik Tentang Al-Quranul Karim Bacaan Mulia (H. Oemar Bakry, 1979); dan Sorotan Atas Terjemahan Al-Quran H.B. Jassin (K.H. Siradjuddin Abbas, 1979).
Mayoritas kritik berisi alasan bahwa Jassin bukanlah ulama yang mempelajari Al-Quran secara mendalam. Layaknya penerjemah Al-Quran, kemampuan Bahasa Arabnya disangsikan. Ketidaksetujuan juga dialamatkan pada penggunaan istilah dan ungkapan yang dipakai dalam penerjemahan.
Karyanya yang kontroversial ini kemudian dicetak untuk yang kedua kalinya oleh penerbit yang berbeda. Dari penerbit Djambatan kemudian beralih ke Yayasan 23 Januari 1942, yang didirikan oleh tokoh-tokoh Gorontalo yang ada di Jakarta seperti B.J. Habibie, J.A. Katili, dan Ir. Ciputra. Terbit bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-65.
Di tengah waktu pemeriksaan ulang karyanya karena cetakan ketiga akan terbit, muncul ide puitisasi Al-Quran. Yakni, cara menampilkan tulisan ayat-ayat Al-Quran dalam wajah yang puitis. Kemudian ia menghubungi orang-orang seperti Ketua Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran Hafizh Dasuki, Menteri Agama Munawir Sjadzali, dan Ketua MUI KH. Hassan Basri.
Jassin harus menanggung kecewa. Imbauan agar tidak melanjutkan penulisannya muncul setelah ia mengerjakan 10 Juz. MUI menolak penerbitan Al-Quran Berwajah Puisi karena dianggap mempermainkan Kitab Suci Al-Quran. Sedangkan, Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran beralasan bahwa mudaratnya lebih besar daripada manfaatnya. Alhasil, walaupun Al-Quran Berwajah Puisi telah diterbitkan, namun peredarannya tak bisa disebarluaskan kepada masyarakat muslim.
***
Berbeda dengan pihak-pihak yang menentang Jassin, Prof. H. Chatibul Umam (Guru Besar Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Ali Audah (sastrawan dan penerjemah sejumlah literatur arab), dan Abdurrahman Wahid (Ketua Umum PBNU waktu itu) adalah beberapa intelektual muslim yang secara tegas mendukung upaya Jassin. Mereka tidak mempermasalahkan usahanya, selama tidak ada tanda baca atau kedudukan ayat Al-Qur’an yang diubah.
Islah Gusmian, dosen di STAIN Surakarta, dalam artikelnya berjudul Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi Karya HB Jassin, mengatakan bahwa dalam menilai karya Jassin, masyarakat muslim telah terjebak pada isu Al-Quran yang dipuisikan. Sehingga, yang muncul adalah prasangka dan tuduhan yang tidak sehat. Menganggap Jassin sesat dan memiliki agenda orang-orang kafir Barat terhadap Al-Qur’an. Karena, Jassin memulai penerjemahan Al-Qur’an puitis di Belanda, negeri orang kafir.
Sang Sastrawan Humanis
Padahal tidak demikian. Karena pada dasarnya, Al-Quran Berwajah Puisi dan Al-Quranul Karim Bacaan Mulia merupakan hasil interaksi intelektual dan batin Jassin dengan teks Al-Quran yang ia baca dalam waktu yang lama dan berulang. Di samping itu, unsur pribadi berupa latar belakang, perasaan, imajinasi, dan pengharapan turut ikut serta dalam karya terjemahan yang membuatnya berbeda dengan terjemahan lain.
Secara metode, upaya yang dilakukan Jassin hampir mirip dengan yang dilakukan para sastrawan dan pembaharu muslim dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Misalnya, Thaha Husein (1889-1973) figur renaisan Islam terkait sastra dan Al-Qur’an; Muhammad Amin al-Khuli (1895-1966) tokoh tafsir Al-Qur’an sastrawi; Aisyah Abdurrahman bintu Syathi (1913-1998) istri al-Khuli, pelanjut tafsir Al-Qur’an sastrawi; Nawal el-Sadawi (1931) dan Fatimah Mernisi (1940-2015), keduanya feminist yang menggunakan pendekatan sastra untuk menuliskan pandangannya tentang Islam dan Al-Qur’an; dan belakangan adalah Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi (1911-1998), seorang ahli sastra Arab yang ceramahnya tentang Al-Qur’an menginspirasi dan menggerakkan pendengarnya. Karyanya, Tafsir al-Sya’rawi, disebutnya bukan sebagai kitab tafsir, melainkan khawathir (inspirasi).
Memperhatikan dengan seksama apa yang telah dilakukan Jassin terkait Al-Qur’an, selayaknya dipandang sebagai pekerjaan ilmiah yang tidak bisa dikekang dan disesatkan. Secara metode tafsir seperti yang dilakukan para tokoh renaisan di atas, menurut pendapat saya, telah menyajikan pendekatan baru dalam memahami Al-Qur’an.
Kini, jejak langkah Jassin secara tidak langsung telah disetujui oleh masyarakat muslim Indonesia. Karena puitisasi Al-Qur’an masuk sebagai cabang lomba Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ).
Hal lain yang penting dicatat juga adalah ideologi humanisme universal yang diyakini Jassin. Seorang sastrawan humanis universal adalah seorang seniman yang punya tanggung jawab terhadap lingkungan sosialnya. Sastra tidak boleh berada di menara gading wacana. Sastra harus bicara tentang perannya yang memihak secara sosial. Alunan ayat-ayat Al-Qur’an yang diterjemahkan secara puitis, dan ketika dibaca membangkitkan kesadaran kebajikan, diharapkan menjadi inspirasi bagi sastrawan dan publik untuk bergerak membangun pencerahan semesta. Yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut rahmatal lil ‘alamin.