Feature

Heran! Ada Pemuda Salat Pakai Celana Pendek

4 Mins read

Oleh: Iqbal Aji Daryono

Ada kaitan yang erat antara progres pengalaman “keterpaparan” dengan terus berkurangnya sikap kagetan, gumunan, gampang curiga, serta sedikit-sedikit menyalahkan.

Begini. Saya punya cerita.

Sebagai muslim tjap Moechammadijah sejak kecil, saya sempat mengalami kegagapan-kegagapan saat menjumpai praktik keislaman yang berbeda dengan apa yang saya dapatkan dari orangtua saya.

Maklum, namanya juga cuma orangtua yang jadi satu-satunya referensi yang dimiliki. Ketika referensi tunggal itu berjumpa dengan realitas lain, ia pun sedikit mengalami goyangan.

Pertama kali, kasus seperti itu terjadi tentu saja saat bertemu orang NU. Sebab pada masa kecil saya, Islam Indonesia di sekitar saya tuh rasanya belum macam-macam ragamnya seperti sekarang. Muhammadiyah dan NU, itu tok.

Dan, suatu pagi bulan Ramadan, saya ikut almarhum Bapak yang diundang ngisi kultum sehabis subuhan, di sebuah masjid yang kebetulan mayoritas warganya NU. Jelas, kami ikut salat Subuh pula di sana. Maka dapat sampeyan bayangkan, Dek Iqbal Kecil ngerem mendadak di gerakan antara iktidal dan sujud rakaat kedua, untuk kemudian ikut berdiri tegak lagi. Dalam segenap pertanyaan penuh keheranan yang “Hei! Apa-apaan ini??” saya pun tenggelam dalam suara “Amin… Amin… Amin…” jamaah qunut.

Semakin gede, saya sekolah SMP di Jogja kota, bertemu lebih banyak teman di sana. Segala praktik yang non-Muhammadiyah semakin akrab saja, dan lama-lama ya biasa saja. Memang banyak kawan saya yang berasal dari keluarga nahdliyyin di sana, menjadikan mereka sebagai sohib-sohib NU pertama saya.

Masuk usia SMA, situasi semakin berkembang. Sudah mulai terasa kemunculan anak-anak Tarbiyah, juga segelintir yang Salafy. Dan ini yang paling kentara dari sebagian mereka: kalau duduk tasyahud jari telunjuknya tungal-tungil.

Saya memang kaget, risih, campur “Dih, gitu amat sih?” tapi ya cuma sebentar saja. Yang merasa sangat kaget dan sulit menerima perkembangan lingkungan semacam ini adalah warga kampung saya yang memang “tidak pernah ke mana-mana”. Jadi, waktu ada teman saya sekampung yang kuliah di kota, lalu kenal sama Tarbiyah, dan pas salat di masjid kampung jarinya juga tungal-tungil, respons dari sekitar jelas lebih keras.

Baca Juga  Hanya Penulis Gengsian dan Nggak Kreatif yang Takut Miskin (Tanggapan untuk Wahyudi Akmaliah)

“Aliran apa itu? Islam Jamaah apa Islam Mangkul? Awas kalo nular-nularin ke anakku.” Nah, rata-rata orang kampung sudah pasang kuda-kuda curiga kayak gitu.

Masuk usia kuliah, semua semakin kompleks. Saya kenal teman Salafy, Jamaah Tablig, dan HTI, juga di masa kuliah. Saya agak kenal orang Ahmadiyah dan sangat kenal orang Syiah juga pada masa kuliah. Beberapa praktik kecil, semisal celana cingkrang dan sejenisnya, mulai masuk dalam khazanah pengalaman hidup saya. Dengan itu semua, ketika di lingkungan luar kampus saya ketemu mereka pun, saya semakin siap dan tidak lagi mengeluarkan cakar kewaspadaan tertinggi.

Semakin saya menua, semakin rumit lagilah semuanya. Apalagi waktu tempo hari kami sekeluarga sempat tinggal empat tahun di Perth, dan berjumpa dengan sesama muslim dari negeri-negeri jauh. Ketika di Australia itu, saya baru melihat bermacam-macam gaya duduk tasyahud akhir. Tiap kali Jumatan, hal paling menyenangkan adalah melihat deretan shaf di depan saya persis, melirik konfigurasi cara duduk tasyahud yang aneka style itu hehehe.

Lalu saya tahu bahwa teman-teman dari Mazhab Hanafi tidak menajiskan liur anjing. Eh, Hanafi apa Maliki ya? Sepertinya Maliki. Tapi intinya, ada mazhab Islam, ahlussunnah wal jamaah, yang tidak menajiskan liur anjing. Itu realitas yang mengagetkan bagi saya. Sejak kecil mungil, saya selalu diajari bahwa liur anjing itu najis besar, dan cara membersihkan najis besar adalah mencucinya tujuh kali dengan air, dan salah satunya dengan tanah. Lha kok bisa najis sebesar itu malah dianggap nggak najis? Kok pinuk.

Namun, keterkejutan itu, lagi-lagi, hanya jadi goyangan sesaat. Setelah itu ya biasa saja. Bahkan kemudian saya juga tahu bahwa kelompok MTA pun tidak menajiskan liur anjing, sebagian jamaah Salafy pun demikian. Sikap tidak-menajiskan-liur-anjing oleh seorang muslim jadi tidak terlalu asing dan mengherankan lagi buat saya, apalagi saya kemudian paham argumen fikih mereka.

Baca Juga  Review Buku: “Dilarang Mengutuk Hujan” Iqbal Aji Daryono

Yang lebih parah, baru bulan lalu saya sadar bahwa Majelis Tarjih Muhammadiyah sejak lama menetapkan cara menyucikan liur anjing di non-bejana cukup dengan air sabun saja. Nggak perlu tujuh kali plus tanah.

Dan, di Perth Mosque pula, pada suatu Jumatan, saya pertama kali ketemu teman-teman muslim berkulit gelap bermazhab Maliki (Eh yang ini benar Maliki kan ya? Atau cabangnya Maliki?) yang salat cukup pakai celana pendek macam di foto ini. Itu lumayan mengagetkan. Dari dulu saya tahunya ya semua muslim memosisikan dengkul laki-laki sebagai aurat. Titik.

Maka, saya nggak kaget lagi waktu melihat pemandangan seperti di foto ini. Ini anak muda berwajah Timur Tengah yang saya jumpai di Mushalla Kansai Airport, Jepang, pekan lalu. Dia datang, diam, langsung wudlu, berdiri di atas sajadah, merapikan sebentar celana pendeknya yang sebelumnya agak terlipat, tanpa peduli ke tumpukan sarung yang tampak jelas tersedia di rak mushalla.

Sayang, anak muda ini tampak agak terburu-buru, sehingga saya sungkan mau menyapa dan mengajaknya mengobrol, selain dengan ucapan salam saja.

Lalu saya membayangkan, coba kalau saya menjumpai yang begini waktu SMP, saat saya belum ke mana-mana. Kemungkinan besar saya akan bilang, “Wah aliran sesat po itu?? Kata buletin Jumat Wa Islama banyak lho sekarang aliran sesat yang datang!!”

Saya (dan banyak di antara Anda) cuma beruntung saja ditakdirkan ketemu macam-macam orang. Tapi ada berapa juta orang yang sama sekali tidak pernah ketemu orang lain yang berbeda dengan mereka?

Tanpa pernah terpapar sesuatu yang berbeda, ada banyak orang yang gumunan, kagetan, dan merasa bahwa yang berbeda itu jelas-jelas keliru dan menyalahi ini-itu. Akibat puncaknya: prasangka berlebih dan imajinasi meluap-luap atas orang lain.

Baca Juga  Perjuangan Hidup Melawan Modernitas

Itu baru yang seagama beda mazhab. Belum lagi orang-orang yang sama sekali tidak pernah mengenal orang lain yang berbeda keyakinan, sehingga sangat sulit bagi mereka untuk menerima bahwa di dunia ini ada orang lain yang tidak meyakini apa yang mereka yakini, sekaligus meyakini apa yang tidak mereka yakini.

Sampai di sini saya tak paham bagaimana ada orang yang menjaga dengan sangat ketat agar pergaulan keluarga mereka tetap “steril”, beli rumah di kompleks yang homogen, sekolah anak-anaknya di sekolah yang homogen, lingkungan permainannya homogen, bahkan kalau perlu bikin pasar dan rumah sakit sendiri yang isinya juga homogen.

Tapi itu cuma ketidakpahaman saya aja sih. Barangkali sampeyan lebih paham.

Avatar
5 posts

About author
Esais, Trainer Kepenulisan
Articles
Related posts
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…
Feature

Tarawih di Masjid Sayyidah Nafisah, Guru Perempuan Imam Syafi’i

3 Mins read
Sore itu, sambil menunggu waktu buka, saya mendengarkan sebuah nasyid yang disenandungkan oleh orang shaidi -warga mesir selatan- terkenal, namanya Yasin al-Tuhami….
Feature

Warrior dan Praktik Diskriminasi

4 Mins read
Cerita fiksi ini mengangkat sisi kehidupan warga kota San Fransisco pada akhir abad 19. Kehidupan mereka diangkat dalam Film seri “Warrior”, tayang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *