Tafsir

Hermeneutik dalam Menafsirkan Al-Qur’an

4 Mins read

Hermeneutik sebagai sebuah cabang keilmuan, terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Dari awal mulanya yang berfungsi sebagai perangkat “memahami teks” hingga saat ini yang telah menyebar ke berbagai bidang keilmuan seperti filsafat, seni, sastra, dan lain-lain. Bahkan, hermeneutik sebagai sebuah metode memahami teks telah diadopsi untuk digunakan sebagai perangkat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an (Tafsir) dan juga hadist.

Sampai dalam tahap ini, hermeneutik kemudian mengundang berbagai macam kritik dan hujatan dari segala penjuru. Beraneka macam keberatan diajukan oleh banyak kalangan manakala hermeneutik dipakai untuk menafsirkan al-Qur’an.

Pengertian Hermeneutik Sebenarnya

Sebenarnya, berbagai kritik dan keberatan yang dilontarkan oleh banyak pihak tersebut wajar-wajar saja, dan tentu sah-sah saja. Namun, berbagai kritik yang disampaikan tanpa memahami hermeneutik secara menyeluruh hanya membawa kepada kesalahpahaman. Kritik yang harapannya dapat menjadi argumen konstruktif, justru menjadi destruktif, karena timbulnya kesalahapahaman dalam memahami hermeneutik.

Lebih jauh, kritik berlebihan hingga hujatan-cacian tak jarang disampaikan secara berulang-ulang dan ‘turun-temurun’ pada setiap masanya. Ini yang menjadi kegelisahan penulis beberapa waktu terakhir ini. Sehingga merasa ‘gregetan’ membaca beberapa tulisan yang mengkritik hermeneutik, tetapi keliru dalam memahaminya. Baiklah, tanpa ingin menjadi “pembela” maupun “penyerang”, penulis di sini berupaya memaparkan beberapa hal seputar hermeneutik. Terkhusus kaitannya dengan dunia penafsiran al-Qur’an.

Seperti yang telah disebut dalam penjelasan awal, hermeneutik pada dasarnya merupakan perangkat untuk memahami sesuatu. Agar tidak melebar, penulis membatasi “kegiatan memahami” di sini dengan memahami teks atau menafsirkan teks. Segala sesuatu yang berbentuk teks, maka menjadi obyek dari hermeneutik, tak terkecuali Bible, dan juga al-Qur’an.

Antara al-Qur’an dan Bible mempunyai perbedaan yang prinsipil, al-Qur’an diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai Kalam Allah SWT secara verbatim, sementara Bible diyakini oleh umat Kristiani sendiri sebagai Kalam Tuhan yang berwujud inspirasi. Walaupun terdapat perbedaan, keduanya (al-Qur’an dan Bible) sama-sama berbentuk teks.

Baca Juga  Hermeneutika Schleiermacher: Memahami Teks Lebih Baik Ketimbang Penulisnya?

Agar tidak muncul kesalahpahaman, perlu penulis tegaskan di sini bahwa persamaan antara al-Qur’an dan Bible tersebut dalam kerangka bentuk fisik, yaitu sama-sama berbentuk teks/tulisan. Berbeda halnya jika dilihat dalam kerangka “keimanan”, tentu masing-masing umat beragama lebih mengimani kebenaran kitab sucinya sendiri.

Sejarah Hermeneutika

Dari sisi sejarah, hermeneutik pada awalnya memang dipakai untuk memahami Bible. Dan karena al-Qur’an juga berbentuk teks (yang juga memakai bahasa manusia) maka kemungkinan untuk menggunakan hermeneutika dalam menafsirkan al-Qur’an sangat terbuka. Apalagi dalam khazanah keilmuan klasik telah mengenal Tafsir dan Ta’wil, di mana keduanya mempunyai bentuk operasional yang mirip dengan hermeneutik. Tulisan ini tidak bertujuan mengatakan bahwa hermeneutik wajib dipakai dalam menafsirkan al-Qur’an. Namun, hermeneutik dapat menjadi salah satu perangkat untuk membantu dalam menafsirkan al-Qur’an. Bagaimanapun juga kegiatan menafsirkan al-Qur’an tidak dapat mengabaikan begitu saja fan-fan keilmuan yang telah di kembangkan oleh para ulama klasik.

Jadi yang perlu diperhatikan, penggunaan hermeneutik untuk menafsirkan al-Qur’an di sini sifatnya lebih kepada partnership dengan khazanah keilmuan tafsir klasik (Turats). Bukan mengabaikan begitu saja produk-produk yang telah dihasilkan para mufassir terdahulu. Ini barangkali yang sering disalahpahami oleh sebagian pengkritik hermeneutik. Menurutnya hermeneutik telah menggeser secara mutlak khazanah keilmuan tafsir klasik (Turats).

Sehingga mereka mengkritik hermeneutik secara sporadis, padahal kenyataannya tidak selalu seperti apa yang disangkakan. Khazanah keilmuan tafsir klasik tetap dibutuhkan dalam menafsirkan al-Qur’an di masa kini. Singkatnya, menafsirkan al-Qur’an perlu adanya perangkat modern (dalam hal ini hermeneutik) yang kemudian dipadukan atau diintegrasikan dengan khazanah keilmuan tafsir dari para ulama terdahulu.

Banyaknya kritik sporadis yang ditujukan kepada hermeneutik lebih bersifat generalisir, sehingga hermeneutik dianggap hanya punya ‘satu wajah’. Padahal kenyataannya, hermeneutika dalam kaitannya dengan menafsirkan teks, sangat-sangat beragam. Yang ini kemudian semakin diperkuat dengan adanya pengklasifikasian atau pengelompokan aliran-aliran dalam hermeneutik sendiri. Seperti misalnya terdapat aliran subyektif, obyektif, dan obyektivis cum subyektifis.

Baca Juga  Zaman Berubah, Penafsiran Al-Qur’an Juga Harus Berubah

Jadi, sangat tidak tepat apabila mengkritik hermeneutik hanya berdasarkan ‘satu wajah’ saja, perlu mencermati dan memahami aneka warna-warni hermeneutika secara utuh. Namun dibalik keragaman tersebut, ada satu benang merah yang dapat ditarik, yaitu terkait dengan bentuk operasional hermeneutik.

Bentuk Operasional dalam Penafsiran

Hermeneutik dalam bentuk operasionalnya mengandung 3 unsur: teks, konteks, dan kontekstualisasi. Ketiganya bekerja saling berhubungan satu sama lain. Walaupun terdapat perbedaan dalam aksentuasinya. Ada model-model hermeneutik yang lebih menekankan pada kekuatan analisis teks (kebahasaan), ada yang menekankan pada analisis konteks, dan begitu pula ada yang lebih menekankan pada upaya kontekstualisasinya. Berikut ini merupakan penjelasan singkat tentang tahapan penggunaan hermeneutik dalam penafsiran al-Qur’an:

Langkah pertama ialah melakukan analisis teks. Analisis teks di sini merupakan kegiatan menganalisis bagaimana susunan kebahasaan ataupun makna ayat-ayat al-Qur’an. Pada tahap ini seorang penafsir akan mengkaji topik-topik seperti I’jaz al-Qur’an, Majaz al-Qur’an, Amtsal al-Qur’an, munasabah al-Qur’an, ‘Am & Khash al-Qur’an, ma’an al-Qur’an, dan lain sebagainya. Sumber-sumber referensi yang dapat dipakai dalah tahap ini ialah seperti Kamus Bahasa (contoh: Lisan al-Arab), Mu’jam Mufahras li alfadz al-Qur’an, dan sumber-sumber lain yang berkaitan dengan kebahasaan al-Qur’an.

Kemudian berlanjut kepada tahap yang kedua, yaitu analisis konteks. Analisis konteks merupakan sebuah tahap di mana seorang penafsir mengkaji bagaimana situasi dan kondisi yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Walaupun tidak semua ayat-ayat al-Qur’an mempunyai sebab turun yang spesifik (mikro). Tetapi semua ayat pasti mempunyai sebab turun yang luas dan umum (makro). Ilmu-ilmu seperti Asbab an-Nuzul, Asbab al-Wurud (hadis), Nasikh-Mansukh, Siyaq al-Qur’an, kitab-kitab Tarikh dan yang sejenisnya menjadi keniscayaan untuk dipakai dalam tahap ini.

Baca Juga  Ali Syariati: Paradoks Esensi Manusia
***

Selanjutnya, setelah melakukan analisis teks dan konteks, langkah terakhir ialah melakukan kontekstualisasi. Yang merupakan sebuah langkah tentang bagaimana mencari relevansi makna al-Qur’an di masa kini. Penafsir dituntut untuk dapat menguasai horizon (situasi dan kondisi) kekinian dan horizon teks al-Qur’an (setelah melakukan analisis teks dan konteks). Sehingga produk penafsiran yang dihasilkan diharapkan sesuai dengan situasi masa kini.

Dengan kata lain, al-Qur’an yang diturunkan 14 abad lampau dapat tetap relevan ketika ‘dibaca’ di masa kini. Langkah terakhir ini dapat melibatkan ilmu-ilmu lain, seperti sosiologi, antropologi, fiqh dan ushul fiqh, dan ilmu-ilmu lain yang diperlukan.

Barangkali itu saja sedikit penjelasan yang dapat tertuang dalam tulisan ini. Hanya sebuah ikhtiar kecil untuk ‘memotret’ secara umum bagaimana aplikasi hermeneutik dalam menafsirkan al-Qur’an. Tentu masih banyak hal yang belum dipaparkan dalam tulisan ini, dikarenakan terdapat batasan karakter. Namun hal tersebut tidak menjadi masalah, Insya Allah penulis akan berupaya menuliskan topik-topik terkait secara berjenjang guna tetap menjaga iklim dialog dan diskusi.

Editor: Wulan
Avatar
2 posts

About author
Wong Mbantul sajaa..
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds