Hijrah–istilah yang kini sedang poluler karena memang sengaja dipopulerkan oleh sekelompok muslim milenial–pada mulanya adalah sebuah tradisi yang dilakukan oleh bangsa-bangsa nomaden di kawasan Timur Tengah. Adalah kebiasaan bangsa-bangsa terdahulu melakukan tradisi menjelajahi berbagai belahan dunia untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Lugasnya, tujuan menjelajah ke berbagai kawasan yang dipandang menjanjikan adalah dalam rangka bertahan hidup. Dan salah satu bangsa nomaden yang sering melakukan penjelajahan ke berbagai kawasan dan kemudian diabadikan dalam Kitab Suci agama-agama wahyu adalah bangsa Smith. Dalam tradisi bangsa Smith, peristiwa perpindahan dari satu tempat ke tempat lain untuk tujuan tertentu disebut hijrah atau eksodus.
Bangsa Smith merupakan bangsa yang telah melahirkan para nabi. Adapun para nabi mendapat amanat menyampaikan risalah dari langit dalam bentuk wahyu. Sementara para nabi hidup dalam ruang lingkup kebudayaan Smitik yang tidak jauh berbeda dengan kebudayaan bangsa-bangsa lain pada umumnya. Karena hidup dalam ruang kebudayaan yang mengenal tradisi eksodus, maka kisah para nabi yang lahir dari bangsa Smith tidak bisa lepas dari tradisi ini. Kita pun mengenal kisah hijrah Nabi Ibrahim, Nabi Musa, bahkan sampai Nabi Muhammad.
Secara bahasa, hijrah memang dapat diartikan sebagai perpindahan dari satu tempat ke tempat lain untuk mendapatkan kebaikan tertentu. Seperti peristiwa perpindahan Nabi Ibrahim dan kaumnya dari Palestina ke Mesir, perpindahan Nabi Musa dan kaumnya dari Mesir ke Palestina, dan perpindahan Nabi Muhammad beserta sahabat-sahabatnya dari Makkah ke Yatsrib (Madinah). Akan tetapi, satu penegasan yang perlu diperhatikan baik-baik, makna hijrah itu berbeda dengan transmigrasi. Hijrah juga tidak dapat dimaknai sebagai sikap mengasingkan diri.
Makna Hijrah
Peristiwa hijrah mendapat tuntunan wahyu yang bersumber dari Tuhan. Inilah yang membedakan makna hijrah dengan transmigrasi/migrasi atau aksi mengisolasi diri (melarikan diri). Karena mendapat tuntunan wahyu, maka peristiwa hijrah memiliki makna ganda: ia merupakan fenomena supranatural dan sekaligus historis-kultural.
Khusus dalam memahami peristiwa hijrah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, cendekiawan Nurcholish Madjid pernah menjelaskan demikian: “Jika diingat bahwa Nabi saw melakukan hijrah itu hanya setelah mendapat petunjuk dan izin dari Allah (seperti dapat disimpulkan dari turunnya berbagai firman suci yang memberi isyarat kepada Nabi bahwa peristiwa besar itu akan terjadi dan akan merupakan titik balik bagi kemenangan beliau serta kaum beriman, dan seperti juga dengan jelas dapat dipahami dari percakapan Nabi dengan Abu Bakar pada saat-saat terakhir sebelum meninggalkan Makkah), maka hijrah adalah sebuah peristiwa supranatural seperti mukjizat” (Nurcholish Madjid, 2000: 29).
Dalam perspektif ini, ilmu pengetahuan manusia memang tidak akan mampu membaca dan memahami motivasi di balik ‘Kehendak Tuhan.’ Manusia baru bisa memahami motivasi hijrah dalam perspektif ini setelah peristiwa hijrah terjadi dan menimbulkan dampak yang cukup radikal dalam proses kehidupan manusia setelahnya.
Sampai sejauh ini, pengetahuan manusia mamang hanya mampu menjangkau dimensi kesejarahan yang spatio-temporal. Sementara pengetahuan Tuhan bersifat supranatural yang tidak terjangkau oleh akal manusia.
Namun demikian, hijrah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya merupakan peristiwa sejarah yang akual. Artinya, hijrah yang dilakukan kaum Muslimin ini bukanlah mitos atau kisah-kisah khayal yang direkayasa oleh para ulama. Hijrah merupakan peristiwa sejarah yang dapat diketahui dengan standar pengetahuan manusia. Apalagi peristiwa ini telah membawa dampak perubahan yang cukup signifikan dalam perjalanan sejarah umat Islam periode awal.
Oleh karena itu, dalam perspektif tulisan ini, peristiwa hijrah merupakan bagian dari dimensi kesejarahan manusia. Hijrah telah membawa pengaruh besar bagi umat Islam dalam membangun dan menata sistem sosial-kemasyarakatan baru setelah menghuni kawasan baru.
Dalam hal ini, cendekiawan Nurcholish Madjid kembali menjelaskan: “Peristiwa hijrah juga dapat disebut sebagai peristiwa kesejarahan karena dampaknya yang demikian besar dan dahsyat pada perubahan sejarah seluruh umat manusia. Kalau sebuah buku yang membahas tokoh-tokoh umat manusia sepanjang sejarah menempatkan Nabi Muhammad saw sebagai yang terbesar dan paling berpengaruh daripada sekalian tokoh, bukti dan alasan penilaian dan pilihan itu antara lain didasarkan kepada dampak kehadiran Nabi dan agama Islam, yang momentum kemenangannya terjadi karena peristiwa hijrah” (Nurcholish Madjid, 2000: 29).
Dalam perspektif historis-kultural, makna hijrah berarti keputusan yang diambil secara sadar untuk berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dengan tujuan memutus hubungan masa lalu demi menyusun suatu tatanan kehidupan baru (Marshall GS. Hodgson, 2002: 306).
Dengan demikian, subtansi makna hijrah adalah memutus hubungan dengan masa lalu, berupa pola pikir, nilai-nilai, simbol-simbol, dan tradisi dalam rangka menyusun tatanan kehidupan baru. Namun demikian, keputusan untuk memutus hubungan dengan masa lalu tidak dapat dilaksanakan secara radikal.
Editor: Nabhan