“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Maka apabila kamu Telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. (Q.S. Al-Insyirah: 6-7).
Setelah ada perintah dari Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw, untuk segera berhijrah. Nabi Saw segera menyampaikannya kepada Abu Bakar dan mengajak sahabatnya itu untuk berhijrah bersama. Abu Bakar pada waktu itu menangis kegirangan dan langsung membeli dua ekor unta dan menyerahkan kepada Nabi Saw agar memilih yang dikehendakinya. Akan tetapi, Nabi tidak mau menerima dengan gratis unta yang ditawarkan sahabatnya itu. Setelah Abu Bakar berkeras hati agar unta tersebut dapat diterima oleh Nabi sebagai hadiah, namun Nabi Saw tetap menolaknya, akhirnya Abu Bakar setuju menerima sejumlah uang dari Nabi sebagai ganti dari harga unta yang dibelikannya untuk Nabi Saw.
Pertanyaannya adalah: kenapa Nabi tidak mau menerima pemberian Sahabatnya itu (Abu Bakar), padahal sebelumnya Nabi Saw sering menerima pemberian darinya ? Tampaknya Nabi Saw, ingin memberikan pelajaran kepada kita bahwa hijrah sebagai bentuk pengabdian kepada Allah Swt membutuhkan pengorbanan maksimal dari setiap orang yang melakukannya.
Nabi Saw bermaksud berhijrah dengan segala daya yang dimilikinya, tenaga pikiran dan materi bahkan dengan jiwa dan raga beliau, beliau membayar unta tersebut. Nabi Saw mengajarkan kepada kita bahwa dalam mengabdi kepada Allah Swt, tidak boleh mengabaikan sedikit pun kemampuan, selama kemampuan itu ada pada diri kita sendiri.
Apa Makna Hijrah?
Hijrah secara etimologi (bahasa) artinya berpindah. Secara terminologi (istilah) Ialah mengandung dua makna: Hijrah makani (tempat) dan hijrah maknawi (nilai). Hijrah makani artinya “berpindah dari suatu tempat yang kurang baik menuju tempat yang lebih baik lagi, dari suatu negeri ke negeri yang lain dan lebih baik lagi”. Adapun hijrah maknawi artinya “berpindah dari nilai yang kurang baik menuju nilai yang lebih baik lagi, dari kebatilan menuju kebenaran, dari kekufuran menuju keIslaman atau pun dengan kata lain, hijrah kepada jalan yang diridhoi oleh Allah dan Rasul-Nya”.
Dalam konteks kekinian, hijrah maknawi tampaknya yang harus lebih diprioritaskan untuk dikaji, karena hampir mayoritas umat Islam tidak bisa memaknai arti hijrah tersebut dan yang sebenarnya dan dapat selalu diaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Bukan hanya di mulut saja, tapi diaplikasikan dalam perbuatan kehidupan sehari-hari kita. Adapun macam macam hijrahnya antara lain sebagai berikut:
Hijrah dalam keyakinan (I’tiqadiyah)
Hijrah dalam konteks ini adalah menumbuhkan tekad yang kuat dan komitmen penuh untuk melakukan hijrah dari berbagai “tuhan” dalam hidup kita, termasuk menuhankan alat komunikasi, tokoh-tokoh, atau idola (artis), harta, tahta, wanita, pangkat kedudukan dan lain-lainnya. Menuju kepada Tuhan Yang Maha Tunggal (Esa), yakni Allah Swt.
Barangkali wacana dari kisah Ibrahim AS bisa menjadi contoh kita dan menjadi motivasi penyemangat hidup kita, contoh diambil dari kisah Ibrahim memulai menemukan tuhannya dalam bentuk yang pertama sekali bintang-bintang. Namun karena timbul bulan yang kelihatannya lebih besar dan bersinar, Ia pun memiliki keberanian untuk mengatakan “dia bukan tuhan ku” kepada bintang-bintang tersebut. Beberapa masa kemudian, ternyata bulan seolah menghilang dari pancarannya mentari yang lebih bersinar lagi, maka dengan demikian kebesaran jiwa yang dimilikinya, Ibrahim mengatakan “tuhan sudah hilang” dan Ia melepaskan diri dari mempertuhankan bulan menuju kepada keyakinan akan ketuhanan matahari. Tapi tatkala matahari tenggelam, Ia pun berkesimpulan, “Inni wajjahtu wajhiya lilladzi fathara as-samawaati wa al-ardhi hanifan musliman wa maa ana minal musyrikiin”.
Proses pencapaian kemurnian akidah Ibrahim ini adalah contoh konkrit yang sering terjadi dalam kehidupan kita sekarang ini. Betapa kekaguman kita terhadap tokoh artis yang kita idolakan sampai kita hampir seolah-olah mempertuhankan mereka, bagaimana kita lalai, terlena dan terbuai dalam kemegahan dunia ini, kecanggihan alat komunikasi akan mengakibatkan seseorang terjerumus ke dalam lembah jurang kenistaan. Nauzubillahi minzalik.
Hijrah dalam Ibadah (Ta’abudiyah)
Hijrah dalam konteks ini adalah menumbuhkan tekad yang kuat dan komitmen penuh dari umat ini untuk melakukan perubahan konsepsi terhadap ibadah dalam Islam. Selama ini masih memahami sebagai kegiatan makna ibadah sebagai kegiatan ritualitas yang terlepas dari masalah-masalah sosial dalam kehidupan sekarang ini.
Konsekuensinya adalah terjadi personalitas yang kontradiktif, di suatu sisi merasa menjadi hamba yang shaleh kerana banyak melakukan haji, sholat dan lain sebagainya, namun menyadari menjadi hamba yang koruptor dalam berbagai aspek kehidupan.
Pemahaman konsep ibadah di atas sudah harus masanya diubah, direformasikan, sehingga umat ini tidak lagi kehilangan banyak kunci-kunci surga dalam bentuk amal-amal perbuatan kemasyarakatan, termasuk persoalan dalam pengelolaan negara maupun bangsa Indonesia yang kita cinta ini.
Untuk itu, para ustaz-ustaz maupun dai muda lainnya agar ceramah keIslaman sudah harus diubah isinya, yang selama ini pembicaranya mengenai politis, yang dianggap sudah tabu. Sebab hanya menyadarkan umat akan makna ibadah dalam proses aqidah, amar ma’ruf nahi munkar, penegakan keadilan dan penanaman motivasi agar umat bangkit melakukan kewajiban dan memperjuangkan haknya, kepada masyarakat, keluarganya maupun yang lainnya. Agar umat akan terhindar dari yang namanya cenderung dari perbuatan keji dan munkar.
Hijrah dalam Bentuk Moral & Etika (Akhalakiyah)
Hijrah dalam konteks ini adalah perubahan perilaku, baik lahir maupun batin, ke arah yang Islami. Akhlak yang diajarkan oleh Islam sesungguhnya adalah perilaku manusia yang universal. Satu contoh misalnya, ketika di musim haji anda akan merasakan betapa sikap manusia akan beragam sama dalam haji ke tanah Mekkah, ataupun hari raya Idul Fitri orang pada hari itu akan bersama-sama menuju masjid untuk menunaikan shalat setahun sekali, sehabis sholat I’d masjid akan kosong lagi. Untuk itu, mari sama-sama kita benahi diri kita masing-masing menuju arah yang lebih baik lagi.
Hijrah dalam Pribadi & Keluarga (Nafsiyah & Usrawiyah)
Yaitu tekad dan komitmen baru untuk melakukan perubahan dalam pembangunan keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Keluarga disebutkan secara khusus karena keluarga merupakan hal yang terpenting dalam membimbing diri kita, untuk melakukan pembenahan dan pembekalan dalam menjalani roda kehidupan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Gagalnya dalam membenahi keluarga akan merupakan kegagalan dalam masyarakat, keluarga adalah miniatur dalam skala kecil untuk membentuk negara dalam skala yang besar. Dalam membenahi keluarga haruslah diperhatikan juga seimbang antara material dan spiritual.
Jika umat terlalu termotivasi untuk mendidik anak ke jenjang tertinggi, dengan gelar doktor dalam bidang ekonomi, politik, dan lain-lain. Mungkin sudah masanya di barengi dengan pendidikan tertinggi pula dalam bidang hal kerohanian. Intinya adalah, hijrah ke arah kehidupan yang lebih baik lagi dengan keluarga yang Islami ditandai oleh kesuksesan dunia dan akhirat, (fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah).
Editor: Soleh