Tarikh

Hijrah Nabi Ibrahim: Dari Politeisme Menuju Monoteisme

5 Mins read

Nabi Ibrahim

Nabi Ibrahim as. adalah seorang keturunan dari bangsa Akkad. Dalam penelitian Jerald F. Dirks diperkirakan kelahiran Ibrahim pada sekitar tahun 2166 SM. Dia lahir di kota Ur. Kota ini merupakan salah satu kota penting dalam sejarah peradaban Mesopotamia (sekarang Irak). Selain kota Ur, banyak kota besar di Mesopotamia seperti kota Nippur dan Sippar. Pada masa kehidupan Ibrahim, kota Ur dipimpin oleh Naram-Sin (Nimrod/Namrud) (Jerald F. Dirks, 2004: 24; Ahmad Syalabi, 2006: 12).

Seperti bangsa-bangsa lain pada umumnya, bangsa Akkad memiliki cara pandang tersendiri dalam memahami peran dan posisinya di alam semesta ini. Mereka mengenal kekuatan yang kasat mata, yang menjadi penyebab dari seluruh kehidupan dan kematian. Oleh karena itu, bangsa Sumeria memiliki tradisi religius. Tetapi, mereka memahami kekuatan yang kasat mata tersebut secara sederhana. Lewat proses asosiasi, mereka menyerupakan wujud kekuatan yang kasat mata tersebut ke dalam bentuk-bentuk materi. Mereka pun memiliki banyak dewa sesembahan. Sebagian penduduk kota Ur mulai memuja “Dewi Kecantikan” yang disimbolkan dengan Bintang Venus. Mereka juga memuja Dewa Matahari sebagai penjelmaan dewa terbesar yang dianggap memberikan kehidupan di bumi.      

Pada masa kehidupan Nabi Ibrahim, penduduk kota Ur menyembah banyak dewa. Setiap kota di Mesopotamia memiliki dewa-dewa kecil selain dewa terbesar yang menjadi sesembahan utama bangsa ini. Bangsa Akkad menyembah “Dewa Matahari” (Shamash). Tetapi, terdapat karakter unik pada masa peradaban bangsa Akkad ini. Di setiap kota memiliki dewa-dewa kecil sebagai identitas kota tersebut. Misalnya, penduduk kota Ur menyembah “Dewi Bulan” (Sin) dan penduduk kota Sippar menyembah “Dewi Venus” (Ishtar).  

Kepercayaan bangsa Akkad diatur dalam sistem pantheon. Yakni, alam dewa-dewa yang masing-masing memiliki karakteristik, otoritas, dan posisi yang berbeda-beda. Mereka mulai memvisualisasikan wujud dewa yang pada mulanya abstrak menjadi empiris. Dengan pola pikir antropomorphisme, mereka membentuk figur dewa-dewa menyerupai manusia. Bahkan, mereka meyakini sifat dewa-dewa berdasarkan emosi dan motivasi layaknya sifat-sifat manusia (antropopatisme).

Ibrahim berbeda pola pikir dan keyakinannya dengan kaumnya. Dia hanya menyembah Tuhan Yang Satu, yang sifatnya imanen dan transenden, wujudnya tidak dapat diserupakan dengan benda-benda. Tuhannya tidak dapat dipahami dengan perspektif asosiasi pikiran manusia. Sekalipun pada waktu itu Ibrahim belum mengenal nama Tuhannya, tetapi dia tetap yakin kepada Tuhan Yang Satu, yang imanen, dan transenden. Tuhannya tidak dapat diserupakan dengan benda-benda lain di alam ini (Nurcholish Madjid, 2000: 47; Ja’far Subhani, 2000: 50-65).

Baca Juga  Diwan Al-Kharraj: Biro Pajak Tanah Dinasti Abbasiyah

Nabi Ibrahim tidak dapat menjadikan tuhan-tuhan milik penduduk kota Sippar, Ur, dan Nippur sebagai tuhan yang sesungguhnya baginya. Dia tetap tidak bisa menerima keyakinan yang dianut kaumnya. Bahkan, terhadap keyakinan ayahnya, Azar, si pembuat patung yang banyak memproduksi tuhan-tuhan buatan tangannya sendiri, dia menolaknya.

Walaupun pada dasarnya Ibrahim belum memiliki nama untuk menyebut Tuhannya, tetapi konsepsi dalam keyakinannya sudah sangat kuat dan dalam. Tuhannya bersifat Tunggal, pencipta dan pemelihara alam semesta. Selain itu, Ibrahim meyakini konsep kebangkitan pasca kematian manusia. Konsep ini berdasarkan pada prinsip pertanggungjawaban amal perbuatan manusia di dunia. Pada hari kebangkitan tersebut, manusia akan mendapat pengadilan tertinggi dan bakal menerima konsekuensi dari seluruh perbuatannya selama hidup di dunia (Jerald F. Dirk, 2006: 52-53).

Dengan modal keyakinan inilah, Ibrahim melaksanakan dakwah kepada kerabatnya. Pertama kali yang diajak memeluk keyakinan monoteisme samawi adalah ayahnya, Azar. Setelah itu, Ibrahim melakukan dakwah kepada kerabat-kerabatnya. Setelah berdakwah kepada kerabat-kerabatnya, Ibrahim meluaskan jangkauan dakwah kepada kaumnya. Dari sinilah konfrontasi antara Ibrahim dan kaumnya dimulai. Pada puncaknya, Ibrahim sudah tidak dapat memberikan toleransi sama sekali ketika dia mulai melancarkan serangan ke Kuil Pemujaan (Kuil Sin) milik kaumnya. Dia menghancurkan seluruh berhala di kuil tersebut dan hanya menyisakan patung Sin, dewi terbesar penduduk Ur (Jerald F. Dirks, 2004: 56; Baca juga Qs. Ash-Shaffat/37: 91-93, Al-Anbiya/21: 58).

Penduduk kota Ur tidak dapat menerima ketika melihat dewa-dewa sesembahan mereka dihancurkan oleh seorang pemuda berusia 16 tahun. Dengan berbagai upaya, penduduk kota Ur mengadili Ibrahim dan memutuskan untuk membakarnya hidup-hidup. Naram-Sin (Nimrod/Namrud) memerintahkan supaya penduduk kota Ur mengumpulkan kayu bakar di lapangan untuk membakar Ibrahim. Tetapi Ibrahim berhasil diselamatkan oleh tuhannya. Meskipun dilempar ke dalam kobaran api yang menjulang tinggi, mukjizat berhasil menyelamatkan dirinya.

Hijrah Nabi Ibrahim

Pasca peristiwa (mukjizat) pembakaran (Qs. Al-Anbiya/21: 69; Barnabas, 28: 1-22), Nabi Ibrahim as memutuskan hijrah untuk menghindar dari kejaran kaumnya. Inilah yang oleh sejarawan Ahmad Syalabi dikatakan sebagai cikal-bakal perlawanan Nabi Ibrahim as. terhadap kaumnya. Nabi Ibrahim as. hijrah bersama istrinya, Sarah, dan keponakannya, Luth, serta beberapa kerabat, dan budak-budaknya. Mereka membawa bekal harta benda, binatang ternak, dan lain-lain.

Baca Juga  Nabi Ibrahim AS (1): Keistimewaan dan Keterpilihan

Pada sekitar tahun 2105 SM, mereka singgah ke kota Haran. Di kota ini, Ibrahim sempat menyampaikan ajaran-ajarannya. Tetapi, penduduk kota Haran sudah menganut kepercayaan paganisme. Ajaran-ajaran Ibrahim jelas ditolak dengan keras oleh penduduk Haran. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk kembali melanjutkan pengembaraan.

Pada sekitar tahun 2091 SM, Ibrahim dan kaumnya singgah di Syria dan Jordania. Sewaktu menyeberangi sungai Jordania, penduduk setempat menyebut kaum Ibrahim sebagai “orang-orang Ibrani.” Akan tetapi, seperti halnya sikap penduduk Haran, Ibrahim dan kaumnya mendapati penduduk Syria dan Jordania sangat kuat berpegang kepada tradisi pagan. Ibrahim sendiri dimusuhi oleh penduduk setempat. Dia pun melanjutkan pengembaraan sampai ke Palestina.

Palestina kuno dihuni oleh bangsa Kanaan (Fenisia) dan Amor. Dari segi kebudayaan, mereka banyak meniru bangsa Akkad (pagan). Tetapi bangsa Palestina kuno memiliki dewa-dewa tersendiri. Bangsa Palestina kuno memiliki tiga dewa utama: El, Baal, dan Yam. Selain ketiga dewa ini, bangsa Palestina kuno juga mengenal dewa Yah (Yahoo).

Dalam proses menetap di Kanaan ini, kaum Ibrahim as. mengalami keterasingan. Secara psikologis mereka sulit berbaur dan berinteraksi dengan penduduk setempat. Apalagi telah jelas bahwa penduduk setempat memiliki kepercayaan yang berlawanan dengan ajaran-ajaran Nabi Ibrahim as. Penduduk setempat menganut keyakinan Paganisme dengan menjadikan dewa-dewa (El, Baal, dan Yam) sebagai sesembahan. Sementara ajaran Nabi Ibrahim as. menyembah Tuhan Yang Satu, yang tidak terlihat dan tidak dapat dipersepsi secara antropomorphis.

Pada sekitar 2091 SM, Ibrahim dan kaumnya melanjutkan pengembaraan menuju Shikem (sekarang Nablus). Di tempat ini, Ibrahim menjalankan misinya, yakni menyebarkan ajaran monoteisme. Mulai di Shikem ini, Ibrahim mengubah konsep dakwahnya. Dakwah tidak bisa hanya dilakukan secara lisan, dengan cara berdebat, tetapi juga harus lewat keteladanan personal. Ibrahim membangun sebuah “altar pemujaan” untuk menyebut nama Tuhannya dan melakukan kurban. Tujuannya agar penduduk setempat mengetahui model peribadatannya (Jerald F. Dirks, 2004: 83-84).

Apa yang dilakukan oleh Ibrahim ini tidak lain dalam rangka memperkenalkan tuhannya kepada penduduk setempat. Ibrahim seakan-akan sedang berbicara lewat simbol pemujaan di depan altar, bahwa seluruh hidupnya, segala kebaikan yang dimilikinya, hanya didedikasikan kepada tuhannya. Dengan cara demikian, penduduk setempat lebih mudah memahami bahwa tuhan yang disembah oleh Ibrahim memang sangat menghendaki budi luhur.     

Baca Juga  Apakah Membunuh Cicak Termasuk Sunah Nabi?

Setelah menetap di Shikem beberapa lama, Ibrahim dan kaumnya terus bergerak melanjutkan pengembaraan hingga sampai di Betel. Ibrahim membangun kembali “altar pemujaan” untuk menunjukkan model peribadatan baru yang berbeda dengan peribadatan penduduk setempat. Nama “Betel” jika diunut berdasarkan asal katanya dalam bahasa Ibrani hampir sama seperti kata Bait Allah dalam bahasa Arab. Kata Betel dalam bahasa Ibrani berasal dari kata “Bet” berarti “Rumah” dan “El” berarti “Tuhan.” Sama seperti dalam bahasa Arab untuk kata “Bait Allah.”     

Pada suatu ketika, di Betel, Ibrahim dan kaumnya dilanda paceklik yang berkepanjangan. Kehidupan menjadi susah sehingga memaksa Ibrahim as. dan kaumnya untuk hijrah ke Mesir. Sebab di Mesir, di kawasan tepi sungai Nil, banyak pangan dan penduduknya hidup makmur. Ibrahim as dan kaumnya kemudian hijrah ke Mesir untuk dapat melanjutkan kehidupan yang lebih baik.

Pasca tragedi antara Sarah dan Fir’aun (Amaliq Hexos), Nabi Ibrahim dan kaumnya harus meninggalkan Mesir. Bersamaan dengan pelepasan Sarah, Fir’aun menghadiahinya seorang budak perempuan bernama Hajar dan beberapa harta benda berupa binatang ternak. Nabi Ibrahim as. dan kaumnya kemudian kembali ke tanah Palestina (Ahmad Syalabi, 206: 90-91).

Sesampainya di Palestina (Betel), pengikut Ibrahim dan Luth berselisih soal wilayah padang rumput yang menjadi tempat penggembalaan ternak. Setelah mencapai taraf hidup makmur, pengikut Ibrahim dan Luth memiliki hewan ternak yang amat banyak. Tetapi harta duniawi memang membuat jiwa manusia menjadi tamak. Hanya karena perselisihan area penggembalaan ternak, para pengikut Ibrahim dan Luth berselisih.

Pada sekitar tahun 2084 SM., Ibrahim memutuskan untuk berpisah dengan Luth, putra saudara kandungnya. Perpisahan ini disebabkan karena perselisihan kaumnya yang mungkin telah mencapai titik klimaks. Mereka telah memiliki banyak binatang ternak, tetapi selalu berebut wilayah padang rumput. Luth kemudian berpisah dengan Ibrahim menempati kota Sodom. Dia menyampaikan ajaran yang diperolehnya dari Ibrahim di kota tersebut. Kota

Pasca perpisahan dengan Luth, Ibrahim memilih menetap di Hebron. Di tempat ini, Ibrahim kembali menyerukan ajaran monoteisme kepada penduduk setempat. Ibrahim memang sangat setia kepada tuhannya. Sekalipun dia harus melarikan diri dari tempat kelahirannya tetapi sikapnya selalu menunjukkan ketulusan dan pengorbanannya kepada Tuhan. Sebagai balasan, Tuhannya pun menjanjikan kepada Ibrahim akan dikaruniai keturunan yang banyak dan bakal menguasai tanah milik mereka.  Peristiwa hijrah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan kaumnya, di samping karena motif teologis, juga memiliki implikasi yang nyata secara psikologis dan sosiologis. Bahkan, lewat peristiwa hijrah ini, memungkinkan terjadinya proses akulturasi budaya antar bangsa-bangsa. Sebab, kaum Nabi Ibrahim adalah bangsa nomaden yang secara teoritis tidak mungkin memiliki peradaban maju.

Editor: Nabhan
Avatar
157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Tarikh

Ahli Dzimmah: Kelompok Non-Muslim yang Mendapat Perlindungan di Masa Khalifah Umar bin Khattab

2 Mins read
Pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab, Islam mengalami kejayaan yang berkilau. Khalifah Umar memainkan peran penting dalam proses memperluas penyebaran Islam….
Tarikh

Memahami Asal Usul Sholat dalam Islam

5 Mins read
Menyambut Isra Mi’raj bulan ini, saya sempatkan menulis sejarah singkat sholat dalam Islam, khususnya dari bacaan kitab Tarikh Al-Sholat fi Al-Islam, karya…
Tarikh

Menelusuri Dinamika Sastra dalam Sejarah Islam

3 Mins read
Dinamika sastra dalam sejarah Islam memang harus diakui telah memberikan inspirasi di kalangan pemikir, seniman, maupun ulama’. Estetika dari setiap karya pun,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *