Inspiring

HOS Tjokroaminoto: Pelopor Sosialisme Islam Indonesia

3 Mins read

HOS Tjokroaminoto, penggagas sosialisme Islam, berasal dari keluarga ningrat dan masih keturunan ulama, yakni Kyai Bagoes Kesan Besari, kakek buyutnya, menurut Anhar Gonggong dalam HOS Tjokroaminoto (1985). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa latar belakang keluarga Tjokroaminoto merupakan keluarga yang terpandang. 

Nama HOS Tjokroaminoto sendiri adalah salah satu nama tenar yang kerap kita jumpai ketika mempelajari sejarah Indonesia periode pergerakan nasional. Tjokroaminoto merupakan guru salah seorang Proklamator Indonesia, yakni Soekarno. HOS Tjokroaminoto pun merupakan guru dari beberapa aktivis pergerakan lainnya juga. Tidak hanya itu, nama Tjokroaminoto pun dikenal luas karena aktivitasnya di Sarekat Islam, salah satu organisasi terpenting pada zaman pergerakan. 

Sebagai seorang aktivis sekaligus pemikir, sudah barang tentu HOS Tjokroaminoto mempunyai gagasan yang ia tawarkan baik melalui ceramah-ceramahnya maupun melalui berbagai tulisan-tulisannya. Tjokroaminoto pun dikenal sebagai seorang yang kritis terhadap mental kolonial maupun mental feodalistik yang terdapat dalam adat kebudayaannya sendiri. Sikapnya tersebut tentu didasarkan atas prinsip ‘egalitarianisme’.

Latar Dinamika yang Membentuk Pikiran HOS Tjokroaminoto

Menurut Kholid O. Santoso dalam HOS Tjokroaminoto: Raja Jawa yang Tak Bermahkota (2010), Tjokroaminoto menulis berbagai karangan. Salah satunya yaitu tentang pendidikan yang berjudul Muslim National Onderwijs yang berisi wawasan dan tujuan pendidikan yang dicita-citakannya. Tujuan pendidikannya adalah membentuk manusia yang berpribadi muslim melalui pelatihan otak, menanamkan semangat kemerdekaan dan keberanian yang patriotik, hingga membiasakan berbuat baik dan hidup sederhana. 

Selain itu, karya HOS Tjokroaminoto lainnya yang sangat monumental, yakni Islam dan Sosialisme. Menurut Kholid O. Santoso, buku tersebut memuat sistem kemasyarakatan yang sosial-religius dengan susunan pemerintahan yang bersendikan demokrasi, dan musyawarah untuk mufakat.

Adapun buku Islam dan Sosialisme tersebut diterbitkan pada November 1924. Saya berpandangan bahwa buku tersebut lahir salah satunya sebagai bentuk respon Tjokroaminoto terkait perselisihan kubu Sarekat Islam Putih dengan Sarekat Islam Merah yang terpengaruh oleh sosialisme (marxisme) yang saat itu populer.

Baca Juga  Kiai Usman, Pendekar dan Wakil Ketua Muhammadiyah Pertama di Surabaya

Dengan adanya realitas perselisihan yang meruncing tersebut, HOS Tjokroaminoto berusaha menunjukkan bahwa sesungguhnya ajaran Islam pun sosialis. Beliau juga menunjukkan bahwa sosialisme Islam ini sudah dipraktikan oleh Nabi Muhammad saw. dan khulafaur rasyidin. 

Dalam buku Islam dan Sosialisme, HOS Tjokroaminoto menerangkan bahwa akar kata sosialisme yakni socius, yang bisa diartikan dengan ‘teman’, ‘kita’, dan sebagainya. Dengan kata lain, sosialisme dapat dimaknai sebagai suatu pikiran yang mengutamakan pertemanan atau persahabatan. Dan jelas hal tersebut bertentangan dengan pemikiran yang hanya mengutamakan kepentingan individu. 

Membedah Sosialisme Islam HOS Tjokroaminoto

Bagi HOS Tjokroaminoto, apa yang disebut sebagai sosialisme menghendaki cara hidup ‘satu buat semua dan semua buat satu’. Ia adalah cara hidup yang mempertunjukkan kepada kita, bahwa kita memikul tanggung jawab atas perbuatan kita satu sama lain. 

Dalam bukunya tersebut, Tjokroaminoto menerangkan bahwa apa yang disebut sosialisme Islam sama sekali tidak terpengaruh oleh Barat. Menurut HOS Tjokroaminoto, ada dua macam sosialisme yang dikenal oleh Islam, pertama yakni staats-sosialisme (baik bekerja dengan kekuataan satu pusat; maupun bekerja dengan gemente-gemente). Sosialisme yang kedua adalah industri-sosialisme (pekerjaan kerajinan semacam industri pabrikan), diatur secara sosialis. Pada zaman Nabi saw., tanah dimiliki oleh negara. Tanah sudah barang tentu menjadi pokok segala hasil dan pokok pekerjaan industri besar. 

HOS Tjokroaminoto pun menerangkan, bahwa bila Karl Marx menerangkan dasar kapitalisme adalah memakan keuntungan meerwaarde (catatan: nilai lebih), dan tentu saja itu yang ditentang keras oleh Marx, maka Islam sejak abad ke-7 sudah memperingatkan dengan keras praktik riba. 

HOS Tjokroamnoto menulis, “Nabi Muhammad saw. secara terang benderang memperingati perkara pekerjaan (arbeid), industri dan kapital (modal) Islam melarang (mengharamkan) riba (woeker) dan dengan begitu Islam melarang keras kapitalisme.”

***

Tjokroaminoto mengatakan bahwa mengusap keringatnya orang-orang bekerja, memakan hasil pekerjaan orang lain, tidak memberikan keuntungan yang menjadi hak penghasil nilai, dan semua perbuatan yang serupa itu adalah dilarang sekeras-kerasnya oleh Islam. Semua itu termasuk perbuatan memakan riba, yang oleh Karl Marx disebut memakan keuntungan ‘meerwaarde‘. Dengan demikian, seperti halnya Marxisme, Islam pun memerangi kapitalisme sampai ke benih-benihnya.

Baca Juga  Siti Walidah, Pionir Keberaksaraan Perempuan Berkemajuan

Di dalam ajaran Islam pun terdapat soal hukum zakat, yang mewajibkan orang kaya mengeluarkan biaya untuk keperluan orang miskin. Tidak hanya itu, pada zaman nabi saw., tanah itu memberi sebesar-besar dan seluas-luasnya pekerjaan kepada kaum pekerja. Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, tanah itu milik negara.

Penting untuk dicatat, bahwa pekerjaan ‘industri’ yang ada sebelum kedatangan Islam, dikerjakan oleh orang miskin dan budak untuk keuntungan dan kesenangan para tuannya yang kebanyakan bengis dan kejam. 

Dan dengan demikian, sudah barang tentu kehadiran Islam mengangkat harkat martabat kelas pekerja dan lebih memanusiakan manusia. Dan karena itu Islam mengancam kepentingan kaum kapitalis (pemilik tanah/industri dan sebagainya) saat itu. Bagi HOS Tjokroaminoto, dasar pengertian sosialismenya Nabi Muhammad saw., yakni kemajuan perikeumatan dan kemajuan budi-pekerjaan rakyat.

Wasiat dan Mengaktualisasikan Pemikiran HOS Tjokroaminoto

Salah satu wasiat HOS Tjokroaminoto yang juga bersumber dari hadis, yakni ‘lerena mangan sedurunge wareg’ yang berarti ‘berhentilah makan sebelum kenyang’. Apa yang dimaksud hadis tersebut ialah agar muslim menghindari sikap rakus dan hanya mementingkan kepentingan pribadi. Menurut saya ia kian relevan di tengah kondisi sosial-politik hari ini, yang penuh dengan praktik-praktik yang menunjukkan suatu sikap oportunisme. 

Sebagai penutup, saya rasa penafsiran Islam ala Tjokroaminoto perlu untuk terus dikembangkan. Terlebih lagi di tengah kondisi di mana ketimpangan masih menjadi problem hari ini. Dengan demikian, Islam diharapkan mampu menjadi sebuah ajaran yang mempunyai kekuatan kritis dan menjadi penentang praktik-praktik yang melanggengkan ketidakadilan sosial.

Editor: Shidqi Mukhtasor
Avatar
6 posts

About author
Alumnus Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *