Pasti kita semua mengenal Marcopolo, Vasco da Gamma, dan Bartolomeuz Diaz sebagai seorang penjelejah kondang dari barat. Atau Laksamana Cheng Ho, sang penjelajah masyhur dari dataran Tiongkok. Namun, selain nama-nama itu, ada seorang penjelajah besar dunia yang berasal dari Timur Tengah. Ibnu Batutah namanya.
Ibnu batutah berhasil mengelilingi puluhan negara pada abad ke-14. Perjalanannya itu ditujukan untuk menjalankan misi syiar agama Islam dan juga kepentingan perdagangan.
Ibnu Batutah
Ibnu Batutah atau Muhammad bin Batutah yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Lawati at-Tanji bin Batutah Segala hal-ihwal terkait jati diri dan kehidupan pribadinya yang diketahui orang sekarang ini bersumber dari riwayat hidupnya yang termaktub dalam kitab ar-Rihlah.
Menurut kitab ini, Ibnu Batutah adalah seorang keturunan Berber, putra keluarga ulama fikih di Tanjah (Tangier), Maroko. Ia lahir pada 24 Februari 1304 (703 H) manakala Maroko diperintah oleh sultan-sultan dari Bani Marin. Dirinya tercatat merupakan keturunan dari salah satu suku Berber, yakni suku Lawata.
Pada masa mudanya, Ibnu Batutah mendalami ilmu fikih di sebuah madrasah Sunni bermazhab Maliki. Madrasah seperti ini adalah bentuk pendidikan yang paling banyak terdapat di Afrika Utara kala itu. Umat Muslim dari mazhab Maliki meminta Ibnu Batutah menjadi hakim mereka, karena ia berasal dari negeri yang mengamalkan mazhab Maliki
Perjalanan Pertama Ibnu Batutah
Pada bulan Juni 1325, ketika berusia 21 tahun, Ibnu Batutah meninggalkan kampung halamannya untuk menunaikan ibadah haji yang kala itu lazim memakan waktu enam belas bulan. Ia tidak pernah lagi melihat Maroko selama dua puluh empat tahun semenjak keberangkatannya ke Mekah.
Ibnu Batutah berangkat ke Mekah melalui jalur darat, menyusuri kawasan pesisir Afrika Utara, melintasi wilayah kesultanan Bani Abdul Wad dan wilayah kesultanan Bani Hafsi. Dia melewati Kota Tlemsan, kota Bijayah, dan kemudian singgah selama dua bulan di kota Tunis.
Demi keamanan, Ibnu Batutah sering kali berangkat bersama rombongan kafilah agar terhindar dari aksi perampokan. Ia bahkan sempat pula menikah di kota Sifaks. Pernikahannya di Sifaks adalah pernikahan pertama dari serentetan pernikahan yang kelak dilakukannya selama berkelana menjelajahi pelosok-pelosok dunia
Ketika itu, dirinya berada di Jeddah, bersiap untuk berangkat menuju Yaman dan pelabuhan Gujarati di India. Dia mendengar penguasa muslim di Delhi butuh orang-orang terpelajar untuk membantu administrasi kesultanannya.
Sahabatnya, Mansur, mengajak Ibnu Batutah untuk berada di atas jalba miliknya. Tetapi ia menolaknya dengan berkata “Berhubung kapalnya sudah dipenuhi dengan unta-unta, dan sejak aku belum pernah bepergian di atas laut, hal ini membuatku khawatir”.
Menjelajah Kesultanan Mamluk
Di awal tahun 1326, Ibnu Batutah sampai di Bandar Aleksandria yang kala itu termasuk dalam wilayah kesultanan Mamluk Bahariyah. Di bandar itu pula ia berjumpa dengan dua orang ulama ahli zuhud. Salah satu ulama bernama Syekh Burhanudin yang telah meramalkan bahwa dirinya kelak akan menjelajahi dunia.
Kepada Ibnu Batutah, ahli zuhud itu berkata “Tampaknya engkau gemar berkelana ke negeri asing. Suatu saat engkau bertemu dengan Faridudin di India, Rukanudin di Sindi, dan Burhanudin di Tiongkok. Sampaikanlah salamku kepada mereka.”
Ahli zuhud lainnya yang bernama Syekh Mursyidi menafsirkan salah satu mimpi Ibnu Batutah telah ditakdirkan menjadi seorang penjelajah dunia.
Ia singgah di Aleksandria untuk mengunjungi situs-situs bersejarah di daerah tersebut. Kemudian dirinya melanjutkan perjalanannya menuju Kairo, ibu kota kesultanan Mamluk sekaligus sebuah kota yang terkemuka.
Setelah singgah sekitar sebulan di Kairo, Ibnu Batutah melakukan penjelajahan kali pertama dari sekian banyak perjalanan jelajahnya di wilayah Kesultanan Mamluk yang relatif aman. Dari tiga jalur perjalanan yang biasa ditempuh orang menuju Mekah, Ibnu Batutah memilih jalur yang paling jarang dilalui banyak orang.
Jalur tersebut adalah yang menyusuri lembah Sungai nil ke arah hulu, kemudian berbelok ke arah timur menuju Bandar Aidab di pesisir Laut Merah. Namun begitu tiba di bandar itu, pecah huru-hara yang membuatnya terpaksa berbalik arah.
Bersama Kafilah Haji Irak
Setelah berdiam diri di Mekah selama sebulan. Akhirnya pada 17 November 1326, Ibnu Batutah bergabung dengan serombongan besar kafilah haji yang akan kembali ke Irak melalui jalur lintas Jazirah Arab.
Kafilah ini bertolak ke arah utara menuju Madinah, kemudian meneruskan perjalanan pada malam hari ke arah timur laut, melintasi padang Najd menuju Najaf selama kurang lebih dua pekan. Sesampainya di Najaf, ia berziarah ke Makam Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat.
Setelah berziarah, Ibnu Batutah tidak melanjutkan perjalanan bersama kafilah haji menuju Bagdad. Namun ia berkelana selama enam bulan menjelajahi negeri Persia. Dari Najaf, dirinya bertolak menuju Wasit, kemudian menyusuri aliran sungai Tigris ke arah selatan menuju Basrah.
Kota berikutnya yang dia kunjungi adalah Isfahan, yang terletak di balik pegunungan Zagros di Persia. Selanjutnya ia bertolak menuju Syiraz, sebuah kota besar lagi makmur yang beruntung luput dari aksi penghancuran bala tentara Mongol.
Ibnu Batutah akhirnya kembali melintasi pegunungan menuju Bagdad dan tiba di kota itu pada bulan Juni 1327. Berbagai kawasan di kota Baghdad masih dipenuhi puing-puing reruntuhan sisa-sisa aksi bumi hangus yang dilakukan oleh bala tentara Hulagu Khan ketika menyerang kota itu pada 1258.
Teladan Generasi Setelahnya
Dari cerita perjalanan Ibnu Batutah yang menyusuri dunia ini, tentu menjadi teladan bagi generasi-generasi setelahnya. Tak terkecuali generasi zaman sekarang, khususnya para pedmudanya.
Kita bisa mencotoh Ibnu Batutah dalam berkelana dengan mengimplementasikan pada kegiatan mencari ilmu ke seluruh negara sehingga dakwah Islam tetap tersebar di penjuru dunia. Cerita di atas hanyalah sebagain kecil dari perjalanan seorang penjelajah muslim Ibnu Batutah yang perlu kita kaji lebih dalam lagi. Selamat berkelana dan bersyiar!
Editor: Rifqy N.A./Nabhan