Inspiring

KH Azhar Basyir (1): Muhammadiyah Gerakan Tajdid

3 Mins read

Oleh: KH Ahmad Azhar Basyir, MA

Muhammadiyah adalah gerakan Islam, gerakan tajdid, dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, berakidah Islam dan bersumber pada al-Quran dan Sunnah. Didirikan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18 Nopember 1912. Bertujuan untuk menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam, sehingga terwujud masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Gerakan Tajdid

Sebagai gerakan Islam, Muhammadiyah berusaha agar Agama Islam dapat dilaksanakan dalam kehidupan perorangan maupun masyarakat, sesuai pedoman dan petunjuk al-Quran dan Sunnah, tanpa mengabaikan penggunaan akal dalam pemahaman dan penjabarannya. Akidah sesuai ajaran al-Quran dan Sunnah ditegakkan; kemusyrikan, bid’ah, dan khurafat yang mengotori akidah umat dibersihkan. Akhlak luhur sesuai ajaran al-Quran dan Sunnah, bukan akhlak relatif, situasional, dan kondisional ditegakkan dalam kehidupan perorangan dan masyarakat. Ibadah mahdhah sesuai tuntunan Sunnah digembirakan. Pengamalan ajaran al-Quran dan Sunnah bidang kemasyarakatan pun disemarakkan.

Dalam menjalani umurnya yang telah mencapai tiga perempat abad, Muhammadiyah telah banyak memberikan sumbangan dalam kehidupan ummat Islam Indonesia khususnya, dan bangsa Indonesia umumnya. Ba­nyak amalan-amalan Agama Islam yang semula digerakkan oleh Muham­madiyah, telah merata menjadi amalan ummat Islam, bahkan menurut Prof Dr HA Mukti Ali banyak yang masuk ke dalam program Nasional.

Dalam tubuh Muhammadiyah, lima belas tahun setelah persyarikatan itu berdiri, dirasakan sangat urgen (mendesak) untuk memantapkan tata-kerja pengajian Islam berdasarkan al-Quran dan Sunnah dalam berbagai bidang ajaran Islam. Menghadapi perkembangan-perkembangan baru da­lam kehidupan masyarakat, sangat dirasakan urgensinya pengajian Islam secara jam’i, yang hasilnya dirasakan akan lebih mantap daripada hasil kajian perorangan.

Pembentukan Majelis Tarjih

Hal lain yang mendesak untuk diadakan kajian Islam secara jama’i itu adalah makin meluasnya organisasi di pelosok-pelosok dan makin besarnya jumlah warga Muhammadiyah. Sehingga dirasakan sangat perlu adanya kesatuan persepsi terhadap pengamalan ajaran Islam di kalangan warga Muhammadiyah khususnya, sekaligus dapat menjadi pedoman dalam mengelola organisasi.

Baca Juga  Kesan WS Rendra tentang Islam dan Muhammadiyah

Untuk dapat melakukan kajian ajaran-ajaran Islam secara jama’i itu, pada tahun 1927 oleh Kiai Haji Mas Mansur, Konsul Muhammadiyah Jawa Timur, diusulkan pembentukan suatu majlis dalam Muhammadiyah, yang disebut Majlis Tarjih, beranggotakan para ulama Muhammadiyah. Dipilih nama Majlis Tarjih, untuk menunjuk macam atau corak kerjanya, yaitu melakukan penelitian dan kajian terhadap landasan-landasan yang paling kuat untuk menjadi dasar pengamalan Islam, baik dalam bidang akidah, ibadah maupun mu’amalat.

Tarjih tidak berarti penelitian dan kajian terhadap pendapat para ulama yang terdahulu, mana yang lebih kuat dasarnya, maka itulah yang dipilih menjadi pedoman pengamalan ajaran Islam di lingkungan Muhammadiyah. Tarjih langsung melakukan penelitian dan kajian terhadap al-Quran dan Sunnah Rasul untuk menemukan dasar yang dipandang pa­ling kuat menjadi pedoman untuk mengamalkan ajaran Islam. Pemahaman dan pendapat para ulama terdahulu terhadap al-Quran dan Sunnah Rasul diperhatikan sebagai pertimbangan dan petunjuk jalan yang tidak mengikat.

Secara resmi keberadaan Majlis Tarjih sebagai identitas gerakan tajdid diterima dan menjadi salah satu putusan Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan tahun 1927. Pembentukan pengurusnya disahkan dalam Kongres Muhammadiyah ke-17 di Yogyakarta tahun 1928, di bawah pimpinan Kiai Haji Mas Mansur yang mengusulkan pembentukannya.

Produk-produk Tarjih

Selama menjalani masa hidupnya kurang lebih 59 tahun, Majlis Tarjih baru mampu melahirkan beberapa tuntunan tentang aqidah, ibadah, dan muamalat, ditambah beberapa masalah qaidah-qaidah Ushul Fiqih dan pedoman-pedoman istinbath hukum. Produk Majlis Tarjih dalam umurnya yang relatif telah tua itu, dapat dinilai masih sedikit. Kecilnya jumlah putusan-putusan Majlis Tarjih itu antara lain disebabkan oleh karena prosedur pengambilan putusan harus dilakukan di dalam musyawarah nasional (kongres atau muktamar), yang mencerminkan hasil pemikiran jama’i. Putusan yang harus diambil di dalam musyawarah nasional tidak akan dapat secepat produk perorangan.

Baca Juga  M. Din Syamsuddin: dari Sumbawa hingga Menjadi Juru Damai Dunia

Berapa banyak putusan Majlis Tarjih yang ditetapkan di dalam muktamar-muktamar dapat diketahui dari Himpunan Putusan Tarjih, ditam­bah dengan yang diterbitkan terpisah, seperti Al-Amwal fil Islam, Adabul Mar’ah fil Islam, dan Tuntunan Keluarga Sejahtera. Yang disebutkan terakhir bukan merupakan hasil putusan muktamar, tetapi yang dibuat bersama antara Pimpinan Pusat Majlis Tarjih dan Pimpinan Pusat Majlis PKU.

Kecuali ketetapan-ketetapan yang diambil di dalam muktamar yang bersifat nasional, ketetapan hukum dapat juga diambil dalam Musyawa­rah Tarjih Wilayah (tingkat propinsi) dan Musyawarah Tarjih Daerah (tingkat kabupaten atau kotamadya). Ketetapan-ketetapan hukum yang diam­bil dalam Musyawarah Tarjih Wilayah berlaku bagi wilayah bersangkutan. Demikian pula ketetapan yang diambil dalam Musyawarah Tarjih Dae­rah hanya berlaku bagi daerah yang bersangkutan. Jika diinginkan ber­laku secara nasional harus diajukan dalam Muktamar Tarjih.

Pimpinan Pusat Majlis Tarjih dapat juga menetapkan fatwa-fatwa, yang kekuatannya tidak sekuat putusan muktamar. Bahkan tidak mustahil terjadi Fatwa Majlis Tarjih Pusat berbeda dengan ketetapan yang di­ambil dalam Musyawarah Tarjih Wilayah. Seperti fatwa Pimpinan Pusat Majlis Tarjih menetapkan adanya rukhshah bagi mereka yang telah menjalankan shalat ‘Id, untuk tidak usah melakukan shalat Jum’at, jika ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at. Sedangkan ketetapan Musyawarah Wilayah Jawa Timur menilai hadits-hadits tentang rukhshah tersebut hadits-hadits dha’if yang tidak memenuhi syarat menjadi hujjah. Jika kemudian diinginkan masalah tersebut diangkat menjadi ketetapan yang berlaku nasional, harus diajukan dalam Muktamar Tarjih. Bersambung

Sumber: “Mekanisme Ijtihad di Kalangan Muhammadiyah” karya KH Ahmad Azhar Basyir, MA (SM no. 19/Th ke-67/1987). Pemuatan kembali di www.ibtimes.id lewat penyuntingan

Editor: Arif

Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *