Salah seorang tokoh kalam Islam yang luar biasa, ia kerap disapa dengan Ibnu Kullab. Rangkaian nama beliau secara lengkap adalah Abu Muhammad ‘Abd Allah bin Sa’id bin Muhammad bin Kullab al-Qattan al-Basri al-Tamimi (Jokisch, 2007, hal. 357). Melihat dari marganya, al-Qattan merupakan simbol sebagai seorang pedagang kapas, walaupun belum ada bukti ditemukan keterlibatannya. Ibnu Kullab dibesarkan di kota asalnya dan menghabiskan waktu hidup di Baghdad hingga meninggal pada tahun 240 H/855 M (Ramli, 2016, hal. 2).
Beberapa tokoh seperti Dawud al-Zahiri, al-Harits al Muhasibi, dan al-Junayd al-Baghdadi pernah belajar kepada Ibnu Kullab. Ibnu Kullab merupakan seorang tokoh dari aliran Kullabiyah. Konon dari informasi yang ada, Ibnu Kullab pernah membantah Mu’tazilah dan Jahmiyah. Beliau dan pengikutnya lebih mengandalkan akal dan nash untuk menjaga dan merawat akidah secara teologis (MTUIM, 2015, hal. 772-773).
Karya-karya Ibnu Kullab antara lain Kitab al-Radd ‘alay al-Hashwiyya, Kitab al-Radd ‘ala al-Mu’tazila, Kitab al-Sifat, dan Kitab al-Af’al (Penulis, 2020). Dalam referensi yang lain dinyatakan bahwa tidak ada karya beliau yang sampai pada genggaman manusia zaman ini (al-Tharifi, 2020, hal. 207).
Al-Qur’an hadir sebagai wahyu. Sepanjang sejarah pelestarian Al-Qur’an yang termuat dalam tulisan dan hafalan telah memuculkan pertanyaan tentang sifat keabadian dan kesementaraan Al-Qur’an. Pertanyaan mengenai hal ini merupakan analog yang diangkat dari inkarnasi Kristus. Sepadan halnya dengan kepercayaan umat Kristen bahwa dalam sejarah Kristen, kekekalan Kristus ini diwujudkan berupa tubuh dan mengungkap bahwa adanya Allah Swt. Dan tidak lain Al-Qur’an yang kekal berupa firman Allah Swt. telah tertanam kuat dalam diri Nabi Muhammad saw., peristiwa inilah yang disebut dengan inlibrasi (Hoffman, 2012, hal. 39).
Pandangan Ibnu Kullab
Sekilas tidak ada yang aneh dengan inlibrasi. Sebelumnya, simak pandangan Ibnu Kullab dari laporan Ash’ari. Ibnu Kullab membagi pandangannya menjadi dua. Pertama, tentang korelasi dengan firman Allah yang tidak diciptakan. Kedua, berkaitan dengan bagian setelah Al-Qur’an diturunkan (Wolfson, 1976, hal. 248).
Pada bagian pertama berurusan dengan firman Allah Swt. yang tidak diciptakan. Awal dari pandangan ini mengenai firman Allah Swt. merupakan atribut yang melekat pada Allah Swt. dan firman itu kekal. Kemudian, dilanjutkan dengan pandangannya bahwa firman Allah Swt. yang tidak terdiri atas huruf dan suara. Firman Allah Swt. tidak dapat dibagi, diartikan, diacuhkan, dan diubah. Ini semua merupakan satu makna dalam Allah Swt. (Wolfson, 1976, hal. 248).
Kemudian pada bagian kedua, Ibnu Kullab membahas bagian-bagian terungkapnya Al-Qur’an setelah diturunkan. Salah satu dari beberapa bagian-bagian tersebut adalah pendapat Ibnu Kullab tentang pembacaan Al-Qur’an. Ayat-ayat dalam Al-Qur’an dan dibacakan para qari’ merupakan ungkapan sebagai pengganti firman Allah Swt., pandangan ini mengena terhadap perkara inlibrasi (Wolfson, 1976, hal. 248).
Kodrat Al-Qur’an
Setelah adanya pertanyaan mengenai keabadian dan kesementaraan Al-Qur’an, muncul kembali pertanyaan baru mengenai kodrat Al-Qur’an. Yang dimaksud dengan dua kodrat di sini adalah keabadian dan penciptaan. Kemudian, muncul sosok Ibnu Kullab sebagai atribut awal salah satu teolog (Hoffman, 2012, hal. 39).
Ibnu Kullab berasumsi bahwa Al-Qur’an yang ditulis dan diucapkan hanya sebuah ekspresi atau salinan dari firman Allah Swt. Sedang firman Allah Swt. yang sesungguhnya merupakan ide yang berada di dalam Allah Swt. sendiri. Ibnu Kullab mengingkari adanya keabadian Al-Qur’an, dan hal ini dapat ditandai melalui perintah, larangan, dan segala pengumuman yang terhitung dalam Al-Qur’an (Hoffman, 2012, hal. 39).
Ibnu Kullab memaparkan bahwa Al-Qur’an ini merupakan firman, bukan Tuhan. Sehingga, manusia biasa dapat mendengar dari yang disampaikan oleh para qari’ akan Al-Qur’an. Firman Allah ini hanyalah berupa atribut yang melekat pada Allah Swt. sendiri. Sehingga, sebuah kesalahan jika atribut ini dituhankan atau dianggap kekal (Wolfson, 1976, hal. 250).
Firman Tuhan bukan “bagian” dari Tuhan. “Bagian” di sini dimaksudkan sebagai sesuatu yang terpisah dan dipindahkan dari-Nya ke sesuatu yang lain. Sedangkan yang manusia sekarang lihat berupa tulisan dan didengar berupa suara adalah sebuah ekspresi. Kemudian penolakan terhadap inlibrasi ini dianut oleh para pengikut Ash’ariyah (Wolfson, 1976, hal. 251).
Dengan demikian, permasalahan inlibrasi ini di sisi lain tidak juga salah. Karena Al-Qur’an sendiri yang ada secara tulisan dan suara, tetap firman Allah Swt. yang tersimpan rapi di bumi. Namun, penolakan Ibnu Kullab terhadap peristiwa ini juga tidak salah pula. Sebab, atribut berupa firman Allah Swt. ini sudah ada pada diri Allah Swt. sendiri dan firman itu kekal selayaknya kekekalan Allah Swt.
Sehingga, jika ingin mempercayai atau tidak tentang adanya inlibrasi bersifat subjektif. Dalam sejarah Islam juga sudah jelas bahwa Al-Qur’an dituliskan karena para penghafal Al-Qur’an sendiri banyak yang wafat ketika peperangan berlangsung. Dapat ditarik kesimpulan bahwa Al-Qur’an yang ditulis dan disuarakan oleh umat manusia sekarang merupakan gambaran dari firman Allah Swt. sebagai atribut yang melekat dalam diri-Nya.
Editor: Lely N