Falsafah

Ibnu Rusyd dan Polemik Eskatologis dengan Imam Al-Ghazali

3 Mins read

Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan Polemik Eskatologis

Sebelum membahas Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali beserta polemik eskatologis di antara keduanya, kita perlu membahas tentang filsafat secara umum. Filsafat memberi peran penting dalam ilmu pengetahuan umum maupun agama, baik pada sektor general atau partikular. Umumnya, filsafat berkontribusi terhadap perubahan-perubahan pemikiran pada setiap abadnya.

Tak bisa dipungkiri, hal tersebut juga secara realitas masuk ke dalam dunia Islam. Perkara pokok dalam akidah pun tidak terlepas dari asas pemikiran para cendekiawan muslim yang saling memberikan pandangan atau berdasarkan perspektif mereka masing-masing terhadap permasalahan aqidah tersebut.

Khusus dalam kajian filsafat Islam termasuk perihal tentang hari kiamat (eskatologis), menjadi polemik bagi dua filsuf Islam terkemuka di abad klasik dan pertengahan, yakni Ibnu Rusyd dan Imam al-Ghazali. Keduanya memberikan pandangan yang saling signifikan terhadap kebangkitan manusia di hari akhir dari landasan ayat-ayat al-Qur’an dan rasionalitas masing-masing.

Ibnu Rusyd dan Bahasan Eskatologis

Kita bahas dahulu sedikit tentang Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd adalah seorang filsuf terakhir yang muncul dalam dunia Islam bagian barat. Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad Ibnu Rusyd yang lahir di Kordoba (Andalusia) pada tahun 520 H/ 1126 M. Setelah menguasai fikih, ilmu kalam, dan sastra Arab dengan baik, ia menekuni bidang matematika, fisika, astronomi, kedokteran, logika dan filsafat. Ia berhasil menjadi ulama dan sekaligus filsuf yang tak tertandingi.

Kehebatan Ibnu Rusyd sebagai ilmuwan dapat dilihat dari beberapa karya fenomenalnya. Mulai dari Bidayatul Mujtahid yang berisi tentang fikih perbandingan yang dipakai secara luas oleh para fuqaha sebagai rujukan; Kulliyat fi ath-Thib yang membicarakan garis-garis besar ilmu kedokteran yang menjadi pegangan para mahasiswa kedokteran di Eropa selama berabad-abad; Tahafuth at-Tahafuth tentang bantahan atas Tahafuth al-Falasifah karya al-Ghazali dan lain sebagainya. (Drajat, 2006, pp. 73–74)

Baca Juga  Kritik M. Amin Abdullah terhadap Etika Al-Ghazali

Berbicara tentang polemik antara keduanya dari penjelasan buku Tahafuth al-Tahaafuth sudah sangat jelas kritikan keras Ibnu Rusyd terhadap Imam al-Ghazali. Dalam masalah ini al-Ghazali memandang para filsuf berpendapat bahwa kebangkitan di akhirat kelak adalah bersifat rohani. Yang akan menerima balasan baik atau buruk atas perbuatan manusia selama di dunia adalah rohaninya, bukan jasmani.

Bagi filosof yang telah berhasil melepaskan diri dari hal-hal yang bersifat kebendaan atau jasmani, puncak kebahagiaan terletak pada batin (rohani). Kebahagiaan yang bersifat fisik jasmani hanyalah semu dan temporal sifatnya. Karena itu, filosof berpandangan bahwa kebangkitan di akhirat kelak lebih bersifat rohaniah.

Al-Ghazali dan Pendapatnya

Akan tetapi, al-Ghazali menolak pandangan demikian dan pendapat bahwa dengan kekuatan mutlak pada Tuhan, Ia dapat menciptakan sesuatu yang tak ada dan membangkitkan kembali tubuh manusia yang telah terkubur dan hancur dimakan tanah. Al-Ghazali juga mendasarkan pandangannya pada Al-Qur’an Surat Yasin ayat 78-79 yang menegaskan bahwa Allah sanggup menghidupkan kembali tulang belulang yang telah hancur tersebut. Karena pandangan filsuf ini al-Ghazali mengklaim mereka telah kafir. Pendapat mereka jelas sangat bertentangan dengan penjelasan Al-Qur’an yang secara tegas menggambarkan kebangkitan jasmani dan rohani sekaligus. (Iqbal, 2004, p. 51)

Dalam upaya menangkis serangan al-Ghazali, Ibnu Rusyd berpandangan ada kerancuan dalam tulisan al-Ghazali mengenai kehidupan manusia di akhirat. Ibnu Rusyd menyatakan kalau tidak ada ulama yang berpendapat bahwa kebangkitan hari akhirat bersifat ruhani semata. Sementara dalam karya lainnya, al-Ghazali mengemukakan pandangan kaum sufi bahwa kebangkitan di akhirat bersifat ruhani. Jadi, tidak ada konsensus di kalangan ulama bahwa kebangkitan di akhirat adalah kebangkitan jasmani. (Drajat, 2006, p. 76)

Baca Juga  Averroes, Nalar, dan Syariat

Selanjutnya Ibnu Rusyd menyatakan bahwa semua agama mengakui adanya hidup kedua di hari akhirat, kendati ada perbedaan pendapat mengenai bentuknya. Kehidupan di akhirat lebih tinggi dari kehidupan dunia. Untuk di kalangan awam, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa kehidupan di akhirat lebih tepat dilukiskan secara material sesuai dengan kapasitas pemikiran mereka yang susah mencerna hal-hal abstrak. Mengenai kebangkitan di akhirat, Ibnu Rusyd sendiri berpendapat bahwa apa yang kelak terjadi di sana sama dengan apa yang terjadi di dunia. Tapi, tubuh tak akan bangkit kembali karena sudah hancur berkeping-keping di alam kubur. (Drajat, 2006, pp. 76–77)

Titik Temu Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali

Dalam masalah ini Ibnu Rusyd berpandangan bahwa pendapat filosof masih belum jelas. Ada tulisan mereka yang mengatakan tidak ada kebangkitan jasmani dan rohani sekaligus. Tapi dalam tulisannya yang lain, ketika ia telah mencapai puncak pengalaman sufistiknya, al-Ghazali malah hanya mengakui kebangkitan rohani, tidak mengakui kebangkitan jasmani.

Dengan kata lain, al-Ghazali sama perspektifnya dengan filsuf, karena baik filsuf maupun sufi mengalami puncak kebahagiaan pada rohani dan telah melepaskan diri dari kungkungan kebendaan. Ini berarti bahwa al-Ghazali sendiri menolak pendapatnya yang pertama. Karena itu, tuduhan dan pengkafiran al-Ghazali terhadap filsuf secara tidak langsung juga gugur dengan sendirinya. (Iqbal, 2004, pp. 51–52)

Meskipun mengakui kebangkitan rohani, Ibnu Rusyd sendiri tidak menolak kemungkinan adanya kebangkitan jasmani juga. Hanya saja, jasmani yang dibangkitkan Allah di akhirat berbeda dengan ketika manusia hidup di dunia. Sebab, banyak di antara manusia yang meninggal karena kecelakaan, seperti terbakar, dimakan binatang buas atau tenggelam di lautan. Mustahil jasmani manusia telah hancur lebur akan kembali seperti sedia kala.

Baca Juga  Metode Ibnu Rusyd dalam Mencari Kebenaran

Karenanya, kalau manusia dibangkitkan dalam bentuk fisik semua sebagaimana ketika di dunia, kemungkinan fisik mereka dibangkitkan dalam kondisi yang tidak sempurna. Namun demikian, Ibnu Rusyd juga menegaskan bahwa kehidupan di akhirat nanti berbeda dengan kehidupan manusia di dunia sekarang ini. (Iqbal, 2004, p. 52)

Dengan demikian, kedua pendapat di antara Ibnu Rusyd dengan Imam al-Ghazali terkait perihal kebangkitan manusia di hari akhir nanti atau eskatologis, sebenarnya sudah final pada satu titik yaitu kebangkitan ruhani. Satu sisi al-Ghazali juga mengatakan ruhani dan jasmani bangkit bersamaan, sisi lain Ibnu Rusyd juga mengakui bahwa ruhani atau jiwa manusia bakal bangkit di akhirat nanti.

Perspektif eskatologis dua tokoh filsuf terkemuka dalam Islam ini, setidaknya memberikan penjelasan yang gamblang terhadap keadaan manusia pada hari kiamat, dan manusia bisa mendapat pembelajaran terhadap ketentuan tersebut.

Editor: Nabhan

Johan Septian Putra
38 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds