Oleh: Djohan Effendi
Proses saintifikasi agama yang disampaikan Nabi tidak berhenti dan masih berlangsung terus. Proses saintifikasi barulah satu fenomena. Ada lagi fenomena lain, yakni proses ideologisasi. Sebagai ideologi, Islam dipahami sebagai sebuah cita-cita tentang masyarakat yang ingin diwujudkan. Dari sinilah kemudian kita mengenal ungkapan sosialisme Islam, Islam bukan kapitalisme dan bukan pula sosialisme, bahkan muncul istilah Marxist Islam di Timur Tengah tahun 1960-an.
Di negeri kita malah lebih dulu, di tahun 1920-an muncul Islam Komunis atau Komunis Islam. Ketika muncul wacana tentang Teologi Pembebasan di kalangan Gereja Katholik di Amerika Latin, kalangan muslim pun tidak ketinggalan, lahirlah ungkapan Teologi Pembebasan Islam. Sebagai ideologi, tentu saja cita-cita tidak sekedar untuk dipahami, tapi juga untuk diperjuangkan agar dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jadilah Islam sebagai ideologi politik.
Ideologisasi Agama
Di sisi saintifikasi agama ada usaha lain, yang agaknya tidak bisa dipisahkan dari proses ideologisasi agama, yang masyhur dikenal sebagai gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan. Lalu kita mendengar ada ungkapan seperti misalnya sosiologi Islam dan psikologi Islam. Tapi proses ideologisasi yang paling jelas adalah seperti yang terungkap dalam istilah seperti sistem politik Islam, sistem pemerintahan Islam, dan sistem ekonomi Islam.
Dalam kaitan dengan ideologisasi ini, kita mencatat misalnya pendapat bahwa Islam sejalan dengan demokrasi, tapi sebaliknya ada yang mengatakan Islam justru bertentangan dengan demokrasi. Ada pula yang mengenalkan apa yang mereka sebut sebagai “theistic democracy” atau demokrasi berketuhanan dan yang lain mengetengahkan istilah lain, “nomocracy,” maksudnya negara dan pemerintah hanya sekedar menjalankan hukum atau undang-undang yang sudah baku, yakni syariat Islam.
Lagi-lagi hal ini tidak lepas dari pemahaman dan interpretasi manusia. Apa yang disebut sebagai syariat Islam bukanlah sebuah rumusan undang-undang yang turun dari langit.
Satu hal yang perlu dicatat bahwa membawa Islam ke ranah politik tentu saja menimbulkan konsekuensi serius. Adalah kodrat politik yang pada dasarnya memang ajang berebut kekuasaan antar berbagai pihak yang ingin memerintah, yang mau tidak mau, akan berakhir ada pihak yang menang dan sebaliknya tentu ada pula pihak yang kalah. Maka ada kawan dan ada lawan. Ukurannya adalah kepentingan. Lebih jelas lagi mana yang lebih menjanjikan untuk mendapatkan kekuasaan.
Karena Islam menjadi ideologi politik, maka dalam penjelmaan konkritnya ditandai oleh kehadiran partai politik Islam yang berhadapan dengan partai-partai politik non Islam. Tentu saja adalah logis kalau lawan politik lalu dianggap sebagai lawan Islam. Maka dalam pemilihan umum memilih partai Islam dianggap wajib dan sebaliknya memilih partai non Islam dianggap haram. Bagi mereka yang sempat menyaksikan pertarungan politik di tahun1950-an tentu menyaksikan fenomena ini.
Agama dan Kepentingan Politik
Ada segi lagi dari politisasi agama ini, keberagamaan bisa dikalahkan oleh kepentingan politik. Contoh konkrit kita saksikan ketika terjadi perbedaan merayakan ‘Id. Partai Keadilan Sejahtera menginstruksikan anggotanya agar merayakannya sesuai dengan kapan masyarakat sekitar melakukannya. Artinya, tidak usah repot dan serius memikirkan mana yang benar tapi yang lebih penting mana yang bisa menarik simpati calon pemilih. Timbul pertanyaan dalam hati, apakah beragama lalu menjadi seperti main-main.
Terkait dengan perkembangan di atas kita perlu menyimak perkembangan yang sangat memprihatinkan sebagai akibat logis dari proses ideologisasi dan mungkin juga bisa disebut sebagai politisasi Islam. Yakni, sikap terhadap orang lain. Kini makin kentara sikap tidak mau menerima kehadiran orang lain, secara kasar maupun secara halus. Ada kecendrungan sikap yang makin mengental bahwa bumi ini seolah-olah hanya untuk umat Islam saja.
Boleh jadi sikap seperti ini hanya dimiliki oleh sekelompok kecil mereka yang merasa dan bersikap seperti paling benar sendiri, paling Islam sendiri, dan menganggap orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka sebagai sesat dan murtad entah apa lagi. Akan tetapi, masalahnya menjadi sangat memprihatinkan karena organisasi-organisasi besar umat Islam seolah-olah menutup mata dan berdiam diri. Atau bisa jadi malah menyetujui sikap kelompok kecil itu secara diam-diam.
Proses ideologisasi sebenarnya sudah terjadi tak lama begitu Nabi meninggal dunia. Paling tidak ada tiga ideologi politik yang muncul, ideologi politik Sunni, Syiah, dan Khawarij. Proses ideologisasi ini menjadi rumit dan ruwet karena masing-masing mencari pembenaran secara teologis.
Maka dari perebutan kekuasaan berganti kelamin menjadi perbedaan, bahkan pertentangan teologis di kalangan umat Islam. Pada masa kita sekarang paling tidak yang tampak nyata adalah kehadiran dua kubu ideologi di kalangan umat Islam dengan teologi masing-masing, Islam Sunni dan Islam Syiah. Masing-masing mempunyai anak pianak sendiri-sendiri. Di pihak kubu Syiah berdiri Republik Islam Iran, dan mungkin nanti akan disusul oleh Republik Iraq. Kita juga bisa menyebut kelompok Hizbullah di Lebanon yang cukup kuat.
Sebuah catatan menarik berkenan dengan kelompok Hizbullah ini adalah, ketika mereka bertempur melawan serangan tentara Israel, muncul fatwa kalangan ulama Saudi yang mengharamkan membantu mereka. Karena sebagai penganut Syiah mereka dianggap lebih jahat dari Amerika pendukung Israel.
Sisi Gelap Khilafah
Berbeda dari kubu Syiah yang punyai hiarki keulamaan sehingga umat Syiah relatif terstruktur dan terkoordinasi, dunia Sunni yang merupakan mayoritas umat Islam kalau tidak bisa dikatakan berantakan, paling tidak berserakan. Padahal, Muslim Sunni selama berabad-abad memegang kendali kekuasaan politik dalam wujud kekhilafahan. Sejarah umat Islam mencatat ada tiga dinasti kekhilafahan besar: Umayyah, Abbasiyah, dan Usmaniyah.
Tapi sejarah juga memperlihatkan betapa kisah kekhilafahan tidak hanya ditandai oleh pertumpahan darah, bahkan pembantaian dalam pergantian dinasti, tapi juga pertumpahan darah dalam masing-masing dinasti. Pemakzulan Sultan Abdul Hamid sebagai Sultan dan Khalifah terakhir Kekhilafahan sekaligus Kesultanan Turki Usmani pada tahun 1924 mengakhiri sejarah kekhalifahan dalam dunia Islam.
Sebenarnya, Kekhilafahan Turki Usmani lebih bersifat simbolis karena dalam kenyataan kekuasaan politik Khalifah terbatas pada wilayah yang berada dalam kontrol Kesultanan Turki. Karena itu, kemunculan negara-negara bangsa yang lepas dari wilayah kekuasaan Khalifah yang tidak bisa berbuat apa-apa karena ia sibuk dengan masalahnya sendiri. Kekuasaannya makin merosot hingga dikenal sebagai negara yang sakit-sakitan di Eropa.
Perlu diingat bahwa keruntuhan Kekhilafahan Turki Usmani bukan semata-semata karena kelemahannya berhadapan dengan kebangkitan bangsa-bangsa Eropa yang kemudian menjarah dan menjajah hampir seluruh negeri-negeri Muslim. Melainkan juga ketidakmampuannya menghadapi “perlawanan” dari dalam. Kejatuhan Syarif Husin yang berkuasa di Makkah dan Madinah yang direbut oleh Abdul Aziz ibn Saud, pembangun Dinasti Saudiyah yang menganut faham yang diajar Muhammad Abdul Wahab yang dikenal sebagai faham Wahabi, membuat Kekhilafahan Turki Usmani tidak mempunyai legitimasi agama lagi untuk mengaku diri sebagai penguasa dunia Islam.Yang menarik dicatat di sini adalah bagaimana reaksi umat Islam terhadap keruntuhan kekhalifahan Turki Usmani itu.
Reaksi Umat Islam
Pertama-tama adalah kelompok yang ingin memulihkan lembaga kekhilafahan. Maka muncullah gerakan-gerakan khilafah seperti terjadi di India. Kongres Umat Islam di Mesir untuk menanggapi kejatuhan Khalifah tidak berjalan menurut rencana karena Makkah dan Madinah jatuh ke tangan Abdul Aziz ibnu Saud yang kemudian menyelenggarakan pertemuan tandingan.
Tapi ada juga ulama yang menganggap lembaga kekhilafahan bukan bagian dari agama, karena risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad tidak dimaksudkan untuk mendirikan pemerintahan. Pemerintahan adalah masalah kebutuhan masyarakat dan masalah kaum muslimin. Mereka mendirikannya bukan karena suruhan agama, tapi karena kebutuhan untuk ketertiban kehidupan sosial mereka sendiri. Inilah yang disuarakan Ali Abdurraziq.
Tentu saja reaksi keras bermunculan dari mereka yang menganggap kekhilafahan bagian dari agama. Ali Abdurraziq dikalahkan dan dikucilkan, tapi nyatanya usaha membangun kembali kekhilafahan tidak kunjung terwujud sampai hari ini. Karena yang muncul adalah negara-negara bangsa. Tapi usaha membangun kekhilafahan kembali tidak padam sebagaimana kita saksikan sekarang dalam gerakan Hizbut Tahrir yang bercita-cita untuk mendirikan Kekhilafahan Islam yang akan melikuidasi negara-negara bangsa dan kemudian berjihad mengislamkan seluruh dunia.
Rakyat Hanya Objek
Negara-negara bangsa yang berdiri di negeri-negeri yang penduduknya mayoritas menganut agama Islam sendiri terlibat dalam masalah hubungan antara agama dan negara. Ada yang tegas-tegas menganut sekularisme seperti Turki, ada yang menyatakan dirinya negara Islam seperti Arab Saudi, Iran, Pakistan, Brunei, Sudan, Afghanistan—ketika di bawah kekuasaan Taliban—dan masih ada lagi beberapa negara lain. Ada pula yang tidak begitu jelas posisinya dalam kaitan hubungan agama dan negara.
Tapi kalau kita menilik negara-negara yang jelas-jelas mengaku sebagai negara Islam, bentuk dan sistem pemerintahannya berbagai-bagai. Ada kerajaan dan ada republik, ada yang agak demokratis dan ada juga otoriter, bahkan ada yang militeristik. Tapi yang jelas belum ada negara Islam walaupun negerinya kaya, yang telah mencapai taraf negara sejahtera (welfare state) seperti telah dicapai dan dialami beberapa negara barat sekular yang menjamin kesejahteraan warganya.
Di negeri-negeri Muslim kaya, yang menikmati kekayaan negerinya adalah pemegang kekuasaan, para sultan atau amir, keluarga dan pejabat-pejabat mereka. Mereka membangun istana-istana mewah dan membeli kapal-kapal pesiar untuk bersenang-senang. Sedangkan sebagian rakyatnya tinggal di gubuk-gubuk, bahkan tak punya rumah kediaman, apalagi kendaraan pribadi. Rakyat hanyalah objek belaka.
*) Artikel ini ditulis langsung oleh almarhum Djohan Effendi di Bombai, India, pada 27 Desember 2007, yang dipersiapkan untuk Kata Pengantar buku Doktrin Islam untuk Perubahan Sosial (belum sempat terbit). Untuk mengenang dan sekaligus menghormati jasa almarhum sebagai salah satu tokoh pemantik pembaruan Islam di tanah air, redaktur IBTimes.Id menyunting dan memuat tulisan ini secara berseri.
Editor: Nabhan