Inspiring

Ilmu Sosial Otonom: Sebuah Tawaran Syed Hussein Alatas

4 Mins read

Semestinya memang kita memikirkan ilmu sosial yang mampu menyelesaikan persoalan yang kita hadapi sendiri. Selama ini, kita hanya gemar meminjam ilmu-ilmu sosial yang ada, yang sangat Eropasentris, yang terkadang, justru tidak cocok digunakan untuk membaca realitas sosial yang terjadi di sekitar kita.

Kendati demikian, bukan berarti kita harus latah mencari ilmu sosial yang orisinil, yang lahir dari tradisi yang kita miliki. Menyelesaikan persoalan, bukanlah hal yang sama dengan hasrat untuk menemukan orisinalitas, kemurnian dan keaslian, yang justru bisa menjebak kita kepada wawasan picik yang nativistik, chauvinistik dan segala hal yang mencengkeram kemerdekaan berpikir dan kreativitas.

Ilmu sosial yang ditawarkan di sini, tentu saja lebih merupakan ilmu sosial yang telah diseleksi karena dianggap memiliki relevansi dan signifikansi (nilai penting) dengan konteks sosial masyarakat sekitar. Di samping itu, hal ini juga diperkaya dengan keunikan, kekhasan dan kedinamisan tradisi yang kita miliki sendiri.

Secara praktis, kita bisa memanfaatkan apa yang sudah dihasilkan oleh sejarah kesarjanaan sosial di Barat dan juga dari sejarah masyarakat setempat, khususnya di dunia (Muslim) Melayu-Indonesia. Oleh karena itu, sifat yang paling utama dari ilmu sosial jenis ini, adalah “otonom”.

Kontribusi Syed Hussein Alatas

Sebenarnya, konsep ilmu sosial otonom, pertama kali ditawarkan oleh Syed Hussein Alatas (b. 1828 – d. 2007), seorang sosiolog terkemuka, cendekiawan Muslim dan aktivis sosial garda depan di Malaysia. 

Konsepnya mengenai ilmu sosial otonom, tidak secara formal terarsipkan dalam bendel sebuah karya agung, seperti Marxisme di dalam Das Kapital (1867) yang dikarang oleh Karl Marx. Hal ini lebih merupakan suatu gagasan-gagasan perspektival yang berserak di hampir semua karya-karya Alatas. 

Kendati demikian, karya-karya yang sangat sering menekankan pentingnya perspektif ini, terdapat pada kertas kerja yang berjudul “The Development of an Autonomous Social Science Tradition in Asia: Problems and Prospects” (2002) dan “The Autonomous, the Universal and the Future of Sociology” (2006).

Baca Juga  H.M. Rasjidi (1): Tokoh Muhammadiyah, Menteri Agama Pertama

Sementara itu, aplikasi terbaik dari konsep ini, dapat ditelusuri jejaknya melalui karya yang berjudul “Intellectuals in Developing Societies” dan “The Myth of the Lazy Native: A Study of the Image of the Malays, Filipinos, and Javanese from the 16th to the 20th Century and Its Functions in the Ideology of Capitalism”. Keduanya, diterbitkan pada tahun 1977 di London.

Alatas memaknai ilmu sosial otonom secara esensial, sebagai sudut pandang konseptual, yang berupaya menghubungkan antara penelitian ilmu sosial, dengan cara berpikir Asia yang menekankan pentingnya penyelesaian masalah (the linking of social science research and thinking Asian problems) (Alatas, SH 2002, h. 151). Ia menggarisbawahi, menyebutkan kata Asia, bukan sama sekali bermaksud untuk menggenapkan tendensi nativisme kultural. Hal itu tentu tidak diperkenankan.

Maksudnya adalah, harus dibuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi para sarjana sosial di Asia, untuk menggali tradisi mereka sendiri sembari mempertimbangkan tradisi ilmu sosial di dunia yang dianggap relevan, dalam rangka memberikan kontribusi yang terbaik dalam penyelesaian masalah yang dihadapi oleh komunitas dan masyarakat mereka sendiri. (Alatas, SH 1964, h. 85).

***

Konsep ideal di atas tentu bukanlah hal yang mudah. Konsep ini, tentu saja, memerlukan komitmen moral yang kuat dan pendirian intelektual yang kokoh. Hal ini secara mendasar harus difungsikan dalam tataran refleksi intelektual (Alatas, SH 1995, h. 86).

Fondasi dari konsep ini adalah nilai-nilai universal yang secara manusiawi dapat dielaborasi dari agama, tradisi kebudayaan, kearifan lokal dan etika-etika dari kehidupan sosial. Nilai-nilai ini dapat digunakan sebagai pedoman moral yang mampu mencerahkan perspektif intelektual di antara para sarjana, ketika menguji, mengevaluasi, mempertimbangkan dan bahkan memformulasikan konsep-konsep tertentu.

Baca Juga  Krisis Paradigma: Problem Serius dari Ilmu Sosial Profetik

Nilai-nilai ini sangatlah penting. Karena nilai-nilai itulah yang membangun kecenderungan berpikir kita secara fungsional. Nilai-nilai seperti kebebasan, independensi, otonomi, kesetaraan dan keadilan yang secara kreatif termanifestasi dalam karya-karya intelektual, akan membantu secara reflektif, moral dan teoretik dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial kemanusiaan masyarakat. Inilah hal yang paling penting yang akan menentukan bentuk dari formasi konseptual ilmu sosial otonom (Alatas, SH 1964, p. 14).

Hal ini sama persis dengan apa yang pernah disinggung seorang sosiolog pengetahuan, Karl Mannheim, bahwa konsep yang demikian mesti bersifat diagnostik dan rekonstruksionis, karena para sarjana harus berpartisipasi dalam proses sosial dan memiliki hubungan organik dengan masyarakatnya sendiri (Mannheim 1976, h. 42).

Dalam mengaplikasikan konsep ilmu sosial otonom, sikap yang kreatif dan kritis memiliki peran yang sangat signifikan, terutama dalam menghadapi dua hal: yang pertama adalah kebuntuan berpikir ketika harus menyelesaikan segala kesulitan dan kerumitan masalah kemanusiaan, yang kedua adalah dorongan yang kuat dalam mempertanyakan dan mempersoalkan pelbagai gagasan dominan, yang kebanyakan hanya diterima begitu saja tanpa alasan yang jelas (Ibrahim 2009, h. 6).

Sikap kreatif dan kritis ini juga sangatlah penting karena hal tersebut dapat (a) menyuntikkan inspirasi dalam pembangunan gagasan; (b) memastikan hal-hal yang keliru agar segera diperbaiki; (c) menekankan kejelasan ketimbang ambivalensi; (d) mengungkap segala penyimpangan ideologis; (e) memberikan makna baru secara persisten (terus-menerus) dan dinamis bagi konsep-konsep yang digunakan (Ibrahim 2009, h. 6).

***

Dalam istilah Erich Fromm, sikap kritis dalam berpikir ini merupakan “an approach to the world… [which] stands in the service of life, in the serving of removing obstacles to life individually and socially which paralyse us” (Fromm 2003, pp. 163-9). Tanpa sikap yang demikian, para sarjana tidak akan mampu menyadari baik itu masalah-masalah yang ada, maupun pelbagai gagasan yang dominan yang menutupi segala tendensi sosio-politik dan kultural tertentu.

Baca Juga  Hasyim Muzadi: Pembela Hukum Allah, Non-Syariatisasi

Misalnya saja, mengonsumsi konsep-konsep atau teori secara terlampau ketergantungan, namun mengabaikan fungsionalisasi tujuan-tujuan dan idealitas, bahkan tidak memiliki perhatian terhadap pentingnya hubungan erat kesarjanaan dengan masyarakat sekitar, maka tidak dapat disangsikan, hal itu akan memenjarakan segala potensi kemanusiaan kita.

Terhadap pentingnya pemikiran yang kritis dan kreatif, merupakan hal yang mendesak untuk memahami bahwa kita harus merdeka dalam berpikir, independen dan otonom. Menyarankan kita agar belajar dari apa yang sudah dialami oleh para sarjana di Barat. Ia menyoroti secara lebih jauh bahwa, “In the western world, the autonomous tradition is decisive and vigorous and the demarcation line between general universal sociology and the autonomous studies of subjects peculiar to specific western countries is clearly observed” (Alatas, SH 2006, h. 8).

Di dalam proses penemuan ilmu sosial atau katakanlah sosiologi modern di Barat, mereka (para sarjana) pada saat itu terbebas dari segala pengaruh eksternal yang dominan. Dalam konteks zaman pra-kolonial, di tengah dunia Muslim, Alatas menyebutkan bahwa Ibn Khaldun sebagai peletak dasar sosiologi, juga menciptakan ilmu sosial yang terbebas dari segala himpitan dominasi gagasan konsep atau teori tertentu.

Alatas dengan cara yang sangat baik menyatakan bahwa, “It was sociology born out of a historical setting unimpeded by the domination of a hegemonic external intellectual tradition from a previous colonial power’’ (Alatas, SH 2006, h. 10). Dari sini, jelaslah kiranya apa yang dimaksud dengan ilmu sosial otonom.

Editor: Yahya FR
89 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Direktur Riset RBC Institute A Malik Fadjar.
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds