Perspektif

IM, Kekerasan Seksual, dan Peran PTM

5 Mins read

Kasus kekerasan seksual di kampus mencuat lagi ke permukaan. Yang mengagetkan, pelakunya adalah seorang mahasiswa berprestasi di salah satu kampus “Islami”, penerima beasiswa luar negeri, motivator sekaligus ustaz. Itu semua ada pada diri IM.

Sebagaimana yang dicatat oleh LBH Yogya, ada 30 pengaduan yang masuk. Dari berbagai keterangan, pelaku punya modus DM via Instagram, balas status via WhatsApp, atau mengajak bertemu. Si pelaku awalnya ngobrol biasa saja, bertanya soal kuliah, memotivasi, dll. Ujung-ujung, pelaku menjurus pembicaraan ke arah sensual, juga berupa tindakan fisik. Paling parah adalah ketika video call yang memaksa korban untuk melepas jilbab dll.

Tidak pernah disangka, dengan latar belakang yang kece itu ternyata tidak menghindarkannya dari perilaku yang tidak bermoral, iya, kekerasan seksual.

Cepat-cepat, UII langsung mencabut status IM sebagai mahasiswa berprestasi dan menolak untuk mengundangnya dalam forum-forum akademis. UII tidak akan memberi ruang bagi pelaku kekerasan seksual.

Sedangkan di Australia sendiri dimana ia sedang menempuh jenjang pendidikan S2, sebagaimana dilansir dari detik.com dan tirto.id baru-baru ini, IM juga mendapat aduan.

Lewat akun Instagram pribadinya, ia menyangkal tuduhan yang dialamatkan kepadanya dan memberikan klarifikasi terkait semua pemberitaan mengenainya melalui tulisan di atas kertas. Menurut dia, semua itu masih dugaan-dugaan, belum ada bukti kuat sehingga ia tak tahu kenapa harus meminta maaf. Sambil memfoto kamarnya, terlihat ada buku hadis Arbain an-nawawiyah dan tasbih di sana. Kolom komentar ditutup dengan alasan menjaga sakralitas bulan suci Ramadan. Wallahu A’lam.

***

Menjadi pelajaran bagi kita semua, mempunyai tampilan religius belum tentu berakhlak. Setidaknya kita jadi paham, simbolisme agama bisa dipakai untuk hal-hal yang buruk. Tidak benar bahwa simbol atau eksistensi itu tidak penting, tetapi jangan sampai kita terkecoh dengannya sehingga melupakan apa yang menjadi esensi maupun makna sesungguhnya.
Kita tidak boleh membuat generalisasi dengan dalih satu kasus ini. Hijrawan maupun hijrawati tidak semua yang berperilaku seperti itu, pun sebaliknya. Tetapi sekali lagi, ini menjadi pelajaran penting bagi kita semua bahwa kekerasan seksual selalu mengintai kita dimana-mana. Tidak melihat apa latar belakangmu.

Baca Juga  Congratulations! Your SPORTS Is (Are) About To Stop Being Relevant

Lalu, bagaimana dengan kampus-kampus maupun sekolah-sekolah? Tindakan preventif seperti apa yang harus dilakukan? Bagaimana menciptakan kampus yang ramah dan aman bagi perempuan dan anak? Mengapa kampus harus menindak tegas pelaku dan melindungi penyintas?

Mengingat ruang lingkup pendidikan sangat rentan menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual. Ditambah, adanya relasi kuasa antara dosen/guru dan mahasiswa/murid. Tidak bisa dipungkiri, karyawan kampus/sekolah bisa juga menjadi pelaku atau korban. Siapa yang tahu?

Kekerasan Seksual dan Pelecehan Seksual

Perlu kita membedakan terlebih dahulu antara kekerasan seksual dengan pelecehan seksual.

Kekerasan seksual menurut naskah akademik RUU PKS ialah: “Setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau tindakan lain yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa, relasi gender dan/atau sebab lain, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan terhadap secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik”.

Sedangkan pelecehan seksual: “Tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun nonfisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Tindakan yang dimaksud termasuk juga siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukkan materi pornografi, dan keinginan seksual.

Colekan atau sentuhan di bagian tubuh, dan gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan”.

Dengan kata lain, pelecehan seksual adalah bagian kekerasan seksual.

Kekerasan seksual terdiri dari: pelecehan seksual secara fisik, verbal, isyarat, tertulis atau gambar, psikologis, perkosaan, intimidasi seksual, eksploitasi seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, dan penyiksaan seksual.

Sebab dan Akibat Kekerasan Seksual

Mengacu pada pengertian di atas, kekerasan seksual tumbuh dalam budaya masyarakat yang menganggap perempuan sebagai mahluk lemah dan berada di bawah kuasa laki-laki. Budaya patriarki yang masih kental di kalangan umum akhirnya berujung melanggengkan tindakan kekerasan seksual. Yang lebih parahnya, banyak kalangan termasuk (mohon maaf) agamawan yang terjatuh pada pandangan menyalahkan si korban.

Baca Juga  Cabut Izin Pesantren, Upaya Kemenag Tangani Kasus Cabul di Pesantren

Perempuan hanya disalahkan dan disalahkan. Jika berjalan sendirian ketika malam hari, lalu ada yang mengganggunya, yang disalahkan pasti si perempuan. Salah sendiri jalan sendirian malam-malam. Salah sendiri berpakaian ketat. Salah sendiri tidak pakai jilbab. Inilah yang kemudian disebut sebagi rape culture atau budaya perkosaan.

Padahal, tindakan kekerasan seksual tidak berhubungan dengan pakaian, melainkan terletak pada pandangan masyarakat yang patriarki, pun ada juga hal lain seperti gangguan psikologis dll. Kasus IM menunjukkan pakaian “syar’i” tidak lepas dari target kekerasan seksual.

Akibat daripada tindakan kekerasan seksual berupa gangguan psikologis maupun emosional. Bisa berbentuk ketakutan yang berlebihan, gangguan fisik, kejiwaan, tidak percaya diri, depresi, tidak sedikit berakhir bunuh diri. Semua akibat ini tidak bisa diremehkan karena menyangkut hak asasi manusia, khususnya kaum perempuan. Maka dari itu, baik itu sekolah maupun kampus harus berkomitmen untuk mencegah sedini mungkin maraknya kasus kekerasan seksual yang ada di ruang lingkup pendidikan.

Peran PTM

Mengapa PTM? Tidak bisa dipungkiri kita masih kekurangan pusat-pusat studi gender maupun komunitas-komunitas advokasi perempuan di PTM. Belum semua PTM memiliki pusat studi gender yang khusus mengkaji dan mengadvokasi isu-isu keperempuanan dan anak.

Padahal Muhammadiyah sendiri dikenal dengan komitmennya membela hak-hak perempuan. Terbukti, Aisyiah adalah organisasi progresif yang membawa kaum perempuan menuju ruang-ruang publik. Muhammadiyah sangat menentang budaya domestikasi terhadap perempuan.

***

Sebagaimana dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Agama Islam No. 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual Pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, baik itu negeri maupun swasta sebagai tindak lanjut nota kesepahaman antara kementerian Agama RI dan Komnas Perempuan menghasilkan tiga poin berikut:

  1. Pusat Studi Gender dan Anak (PGSA) menjadi leading sector unit pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di PTKI.
  2. Melakukan sosialisasi, penguatan, advokasi, dan layanan pengaduan terhadap kasus kekerasan seksual di lingkungan PTKI.
  3. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan keputusan direktur jenderal tersebut secara berkelanjutan.
Baca Juga  Tanah Ulayat di Minangkabau

Pusat studi, lembaga, maupun komunitas ini nantinya menjadi tempat pengaduan sekaligus advokasi yang berkelanjutan dan memiliki relasi pada tiap-tiap fakultas yang ada di kampus. Berdasarkan relasi tersebut, pembagian wilayah kerja diatur sebagaimana berikut: pemulihan psikologis oleh fakultas psikologis, pemulihan agama dan keagamaan oleh fakultas dakwah/fakultas agama Islam, penguatan dan pendampingan hukum oleh fakultas hukum.

Relasi juga harus terbangun ke LBH, YLBHI, Komnas Perempuan sebagai komitmen dalam memerangi kekerasan seksual secara luas. 

Aisyiah, Nasyiatul Aisyiah dan IMM bisa bekerja sama dalam membentuk pusat studi gender atau komunitas yang didukung langsung oleh kampus. Setelah terbentuknya pusat studi, lembaga, ataupun komunitas tersebut, kampus harus memberikan hak kebebasan dalam menyampaikan pendapat. Dalam artian, kebebasan dalam menyelidiki kasus dan menyembunyikan identitas korban maupun pelapor. Jangan sampai orang yang terlibat di dalam lembaga atau komunitas tersebut mendapat ancaman dari pihak kampus, berupa Drop Out bagi mahasiswa dan pemecatan bagi dosen dengan alasan mencemarkan nama baik kampus.

Kemudian perlunya edukasi secara masif kepada dosen, mahasiswa dan karyawan kampus sehingga bersama-sama berperan aktif dalam mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual.

Sarana dan prasarana berupa CCTV, kamar mandi terpisah, tata ruang tenaga pendidik dan kependidikan yang ramah dan aman tidak boleh dilewatkan begitu saja.

***

Selain melalui struktural, pencegahan bisa dilakukan lewat pendekatan kultural. Berupa aksi kampanye speak up, membentuk komunitas ramah perempuan dan anak, selalu mengedukasi lewat media sosial maupun pers kampus, dll.

Tanpa peran proaktif antara dosen, mahasiswa dan karyawan, kekerasan seksual akan terus terjadi di kampus. Bagi siapa pun yang menjadi korban, adalah kewajiban bagi kita semua untuk melindungi dan mendukungnya demi mendapatkan keadilan.

Sedangkan untuk pelaku, jangan sampai ada impunitas hukum terhadap mereka. Kalau pelaku kekerasan seksual tetap berkeliaran dimana-mana, tidak menutup kemungkinan keluarga kitalah yang akan menjadi korban.

Editor: Yahya FR
7 posts

About author
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UAD. Alumni PP Shohwatul Is'ad Padanglampe' dan MBS Muhiba Bantul. Aktif juga di PK IMM FAI UAD.
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds