Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November, berawal dari peristiwa perang kemerdekaan di Surabaya yang berkobar tidak kurang dari 20 hari. Sedikitnya, enam ribu rakyat Indonesia gugur dan ribuan lainnya meninggalkan kota yang hancur itu. (Ricklefs: 2008) Pertempuran tersebut tercatat sebagai yang paling heroik dalam sejarah Indonesia.
Untuk mengenang jasa para pahlawan, pemerintah melalui Keputusan Presiden No. 316 tahun 1959 tentang hari-hari nasional yang bukan hari libur menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan. Keppres tersebut ditanda tangani Presiden Soekarno.
“Mencetak” Pahlawan Nasional
Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid I: Batas-batas Pembaratan, tahun 1950-an dipenuhi aktifitas “membangun kesatuan bangsa”, salah satunya muncul gejala baru yang cepat meluas: pengangkatan tokoh-tokoh besar menjadi pahlawan.
“Semua korban kesewenang-wenangan Belanda, semua orang yang sedikit banyak menentang “kompeni” dapat direhabilitasi dan di daerah-daerah pun timbul kembali minat terhadap tokoh-tokoh itu. Gambar mereka di upayakan untuk dibuat dan biografi mereka pun disusun. Beberapa makam mereka menjadi tujuan ziarah. Sejumlah besar terbitan dalam berbagai format digunakan untuk menyebarluaskan kisah yang diperindah tentang semua pahlawan itu, dan kajian tentang pustaka hagiografis itu dapat banyak menambah pengetahuan kita,” tulis Lombard.
Sosok yang dianugrahi gelar pahlawan nasional pertama adalah Abdoel Moeis seorang sastrawan dan juga politikus yang berjasa dalam pergerakan kebangsaan ketika dia menjadi anggota SI. Tak berselang lama, masih di tahun 1959, Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan dan pendiri Indische Partij, serta Surjopranoto, tokoh perburuhan yang juga kakak sulung Ki Hadjar Dewantara, ditetapkan sebagai pahlawan. (historia.id)
***
Dalam waktu singkat, daftar resmi “pahlawan nasional” dengan cepat memanjang. Berkas permohonan dapat disampaikan oleh daerah atau keluarga ke Sekretariat Negara yang kemudian mempelajarinya. Mereka yang dinilai pantas akhirnya dikukuhkan sebagai pahlawan dengan surat keputusan Presiden. (Lombard, 1990) Tidak kurang dari tiga puluh tiga nama berhasil “dikukuhkan” sebelum peristiwa 1965, dua belas diantaranya hanya dalam tahun 1964 saja.
Pemberian gelar pahlawan nasional berlajut di era orde baru. Departemen Sosial adalah badan yang ditugaskan untuk mengurus soal pahlawan. Badan ini menerima berkas ratusan setiap tahunnya. (Lombard, 1990) Keputusan pengangkatan pahlawan nasional di era Soeharo lebih ketat daripada rezim sebelumnya. Bedanya, varian tokoh pahlawan diperluas, baik secara historis maupun geografis. Kendati demikian, kepentingan politik tak luput dari pertimbangan. Hal inilah yang selalu menjadi pro-kontra dalam penetapan pahlawan nasional, tulis Klaus H. Schreiner dalam “Penciptaan Pahlawan-Pahlawan Nasional dari Demokrasi Terpimpin sampai Orde Baru 1959-1993” termuat di Outward Appearances suntingan Henk Schulte Nordholt.
Hingga tahun 2020, tradisi pengangkatan pahlawan nasional terus berlanjut. Menurut data Kementrian Sosial terdapat 176 pria dan 15 wanita telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional, yang paling terbaru adalah Arnold Mononutu, Baabullah, Machmud Singgirei Rumagesan, Raden Mattaher, Soekanto Tjokrodiatmodjo, dan Sutan Mohammad Amin Nasution pada tahun 2020. Para pahlawan nasional tersebut berasal dari berbagai etnis, meliputi pribumi-Indonesia, peranakan Arab, Tionghoa, India, dan orang Eurasia. Latar pekerjaan meliputi perdana menteri, gerilyawan, menteri-menteri pemerintahan, prajurit, bangsawan, jurnalis, ulama, dan seorang uskup. (kemsos.go.id)
Dengan jumlah dan beragam latar belakang tokoh pahlawan nasional, menjadikan Indonesia sebagai pemilik pahlawan terbanyak di dunia. Mengutip pendapat Asvi Warman Adam, seorang sejarawan terkemuka, dalam suara.com, ”Banyaknya pahlawan merupakan sebuah keuntungan bagi sebuah bangsa. Masyarakat bisa mempunyai banyak teladan atau tokoh panutan”, ungkapnya.
Banyak Pahlawan, Minim Keteladanan
Representasi selalu merujuk pada ketidakhadiran orang pada tempat dan waktu tertentu, tetapi gagasan dan perannya terlihat dalam berbagai bentuk di tempat dan waktu tertentu. Representasi dapat berupa nama jalan, museum, bangunan, penghargaan (award), yayasan, rumah sakit, dan sekolah/universitas. (Shahab, 2019)
Banyak pahlawan nasional di negeri ini telah mendapat representasi seperti yang telah disebutkan sebelumnya termasuk membuat biografi dan kajian semasa sosok tersebut hidup. Namun yang menjadi problem masa kini, mayoritas dari masyarakat kita lupa menggali dan merefleksikan gagasan, ide dan suri tauladan setiap pahlawan.
Penulis sendiri pernah menanyakan mengenai sosok pahlawan kepada siswa sekolah menengah ketika magang sebagai pengajar. Mereka mayoritas tahu sebagian nama-nama pahlawan nasional, tetapi ketika ditanya apakah mereka tahu gagasan atau perannya apa?, mayoritas menjawab sekena-nya saja, bahkan lebih parah lagi para siswa lebih paham seluk beluk kehidupan artis K-pop dibanding banyak pahlawan di negeri ini sendiri.
Permasalahan di atas sebenarnya merupakan hal klasik bagaimana sebuah gagasan atau peran seorang tokoh baik yang bergelar pahlawan maupun tidak untuk dapat terus diingat dan dilupakan. Mengutip pendapat Susanto Zuhdi, sebagaimana yang dilansir historia.id, mengingat dan melupakan adalah bagian dari problematika sejarah.
“Bagaimanapun juga ingatan manusia terbatas, dia tak mungkin menampung segala hal tentang sejarah (masa lalu). Dia akan mengingat sesuatu dari sejarah jika hal itu dibutuhkannya pada masa kini. Hal-hal lain yang tidak penting bagi dirinya hari ini, dia akan melupakannya,” ungkap Zuhdi. (historia.id)
***
Sebagai contoh kasus adalah sosok Ki Hadjar Dewantara sebagaiman yang ditulis pemerhati pendidikan, Anggi Afriansyah dalam kolom detik.com “Ki Hadjar Dewantara dan Pendidikan Kini”, “Adalah seorang pemikir besar pendidikan Indonesia, Bapak Pendidikan Nasional. Sayangnya, gagasan besarnya tidak dipelajari secara saksama, juga dipraktikan di ruang-ruang pendidikan di Nusantara secara memadai. Sebagian besar kita mungkin hanya mengenal istilah tut wuri handayani yang digunakan dalam logo Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Juga mengenalnya karena setiap 2 Mei, hari kelahirannya, dirayakan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Namanya diingat, namun hanya dalam upacara dan ceramah-ceramah pendidikan,” tulis Afriansyah.
“Sebagian besar dari kita, rasanya tidak membaca ide-ide besar Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan secara memadai. Bahkan di kampus-kampus yang menyiapkan guru masa depan atau LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan), wacana dan praktik pendidikan yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara tidak menjadi diskursus dominan,” tulis Afriansyah.
Jika meminjam istilah Foucault ada discontinuity seperti yang dikutip Afriansyah, keterputusan gagasan maupun praktik yang dahulu dilakukan oleh para tokoh pahlawan hingga saat ini. Sehingga menilik, memeriksa ulang, mendiskusikan, dan merefleksikan menjadi perlu agar sesuai dengan konteks kekinian menjadi salah satu bagian penting yang perlu dilakukan. Apalagi tantangan bagi dunia dewasa ini semakin kompleks. (detik.com)
Mengkontekstulisasikan dan menyebarluaskan gagasan, ide, peran, maupun ajaran para tokoh pahlawan sangat relevan dilakukan saat ini. Problematika kebangsaan dewasa ini seperti kekerasan, radikalisme, ketidakadilan, diskriminasi, permasalahan moral anak bangsa, hingga pengabaian penguatan karakter bangsa, dapat dicarikan solusinya melalui kontekstulisasi nilai tokoh pahlawan nasional kita.
Hari Pahlawan menjadi momen yang tepat untuk kembali mempelajari dan merefleksikan gagasan, ide dan suri tauladan setiap tokoh pahlawan, dan mempertautkannya dengan kondisi kekinian.
Editor: Yahya FR