Rasa-rasanya, masalah sosial kebangsaan itu memang tidak akan pernah selesai. Bahkan, di beberapa kesempatan, selalu menimbulkan residu-residu baru.
Tentu, masalah yang selalu hadir itu adalah sebuah tantangan, harus dibaca sebagai proses pendewasaan bangsa, dan semua ini memerlukan pembacaan yang cermat melalui perspektif kemajuan yang mencerahkan.
Rumah Baca Cerdas (RBC) A. Malik Fadjar Institute secara serius memetakan dan mendiskusikan beberapa problematika kebangsaan itu dalam Diskusi Kebangsaan yang diselenggarakan secara luring di RBC (25/5). Hadir sebagai pembicara, Dr. Nazaruddin Malik, Dr. Nur Subeki, dan Dr. Pradana Boy. Kegiatan ini diikuti oleh berbagai akademisi dari Universitas Muhammadiyah Malang.
Sebagai pembuka, Dr. Nazaruddin Malik menyebutkan bahwa salah satu masalah utama bangsa Indonesia hari ini, yang secara historis belum pernah berhasil diselesaikan, adalah ketimpangan ekonomi.
Angka-angka statistik bisa kita kutip di sini. Misalnya lebih dari separuh konsentrasi ekonomi Indonesia masih terpusat di Jawa. Belum lagi, kaki-kaki ekonomi Indonesia yang secara historis ditopang oleh birokrasi koruptif akibat ketergantungan pada ekonomi ekstraktif.
Di sisi lain, ketimpangan ekonomi itu, rupanya juga membawa efek negatif pada kecenderungan segregasi sosial. Misalnya, pemikiran agama yang mengeras akibat institusionalisasi pemikiran keagamaan.
RBC institute melihat, hal semacam ini berkelindan dengan arus politik praktis di Indonesia yang terus terbelah, dan membawa pada polarisasi masyarakat yang semakin jauh.
RBC Institute juga melihat potensi ancaman demografi. Dalam mana struktur demografi Indonesia yang banyak dihuni oleh anak usia muda justru berpotensi menjadi ‘bencana demografi’ ketika kelompok usia produktif tidak dibekali kapasitas yang baik sebagai sumber daya manusia.
Tak jauh dari itu, juga, RBC Institute memandang lemahnya wacana keilmuan yang bersifat integratif. Sebaliknya, institusi-institusi pendidikan justru melahirkan sumber daya manusia yang cenderung pragmatis dan lemah substansi ruhaniah-humanistis.
Padahal, aspek ruhaniah ini menjadi sangat penting, dewasa ini, untuk membangun bangsa Indonesia yang lebih unggul, sebagaimana disampaikan oleh Dr. Nazaruddin Malik, Wakil Rektor II Universitas Muhammadiyah Malang, pada sesi pembuka Kajian Kebangsaan RBC Institute (25/5).
Peran Muhammadiyah
Pada kaitan ini, Muhammadiyah memiliki peran penting untuk meringankan beban negara dalam menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut.
Pertama, peran sosial-politik. Muhammadiyah mengemban tugas berat dalam mengarahkan moderasi berpikir elit penguasa dan masyarakat akar rumput. “Kita perlu mempromosikan moderasi berpikir”, ucap Dr. Pradana Boy, Wakil Dekan I Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang. Moderasi berpikir di sini adalah menhaha perspektif berpikir secara agamis dengan balutan kemanusiaan yang otentik. Tentu, pemikiran moderat ini penting untuk menjaga keutuhan sosial-masyarakat.
Di sisi lain, secara politik nilai, Muhammadiyah juga dapat berperan mengurangi ketimpangan ekonomi melalui pendekatan pendidikan yang selama ini sudah dilakukan oleh Muhammadiyah. Sebab, salah satu solusi jangka panjang yang bisa ditawarkan untuk meningkatkan arus mobilitas sosial adalah perluasan akses terhadap pendidikan untuk kalangan menengah bawah. Akses pendidikan yang lebih luas akan menguatkan kepercayaan diri masyarakat menengah-bawah untuk menngapai kesejahteraan yang lebih baik.
Kedua, peran pencerahan sumber daya manusia. Di tengah ancaman bencana demografi, dalam mana 70 persen penduduk Indonesia berusia produktif, tetapi mayoritasnya adalah alumni sekolah dasar. Di sini Muhammadiyah perlu memperkuat kehadirannya dalam mencerahkan pembangunan sumber daya manusia yang tidak sekadar pendidikan biasa tanpa nilai transendetal-kemanusiaan. Sebagaimana disampaikan oleh Dr. Nazaruddin Malik, bahwa “Pendidikan karakter menjadi penting. Dan ini adalah tugas Muhammadiyah untuk menjadi pencerah bagi peradaban manusia.”
***
Lebih jauh lagi, RBC Institute melihat bahwa pembangunan SDM Indonesia perlu jauh menyentuh aspek aspek ruhani, tidak cukup hanya kognitif belaka. Pada kaitan ini, elemen-elemen pembangunan SDM memiliki kelindan dengan semangat berkemajuan yang selama ini digaungkan oleh Muhammadiyah. Sebab, pembangunan SDM yang memiliki substansi ruhaniah yang unggul itu memungkinkan terciptanya karakter yang luwes secara sikap dan pemikiran. “Aspek-aspek spritualitas dan ruhaniah sangat diperlukan untuk membangun masyarakat yang penuh kasih sayang”, ucap Dr. Nazaruddin Malik.
Ketiga, peran sosial-keagamaan. peran sosial-keagamaan Muhammadiyah dilakukan dengan mengawal Muhammadiyah tetap berada di jalan moderat. Islam yang luwes dan damai. Sebab, jangan sampai Islam hanya menjadi komoditas politik populis yang menyeret agama ke dalam ‘gang-gang sempit’, meminjam istilah yang sering disampaikan oleh Pak Malik Fadjar. Sebaliknya, Islam adalah inspirasi peradaban ilmu pengetahuan. Maka, untuk menjaga peran Muhammadiyah mengawal moderasi pemikiran keberagamaan di Indonesia itu, “Kita perlu mencari otentisitas tokoh yang moderat. Dan, hal ini paling mudah dirumuskan melalui ungkapan bahwa antara pemikiran dan tindakan berada dalam satu tarikan napas,” ujar Dr. Pradana Boy.
Terakhir, untuk mewujudkan peran-peran kebangsaan Muhammadiyah itu, “Kita perlu membiasakan diri untuk sering berkolaborasi”, Ujar Dr. Nur Subeki, Wakil Rektor III Universitas Muhammadiyah Malang. Maka, adalah tugas Muhammadiyah untuk memproduksi kader yang mampu membaca perubahan zaman secara dinamis dan kontekstual. Dan, ini adalah kerja jangka panjang. Tapi, harus dilakukan.
Editor: Yahya FR