IBTimes.ID – Sektor perikanan budidaya udang diprediksi menjadi salah satu sektor yang tumbuh dan menyokong kebutuhan pasok udang di masa depan. Saat ini lebih dari 53% konsumsi dunia berasal dari budidaya perikanan (akuakultur).
Dalam hal perikanan, di Indonesia sendiri 35-40% ekspor perikanan didominasi komoditas udang. Selain itu, sudah sejak tahun 2016 Indonesia juga menjadi produsen udang terbesar kedua di dunia, totalnya hampir 900 ribu ton per tahun. Keadaan ini terus meningkat, terlihat dari pertumbuhan rata-rata produksi udang dari 2014 hingga 2018 sebesar 11,8% (FAO, 2020).
Potensi pertumbuhan perikanan budidaya direspon baik oleh Pemerintah. Melalui Perpres No. 18/2020 tentang RPJMN 2020-2024, pemerintah berencana melakukan Akselerasi Produksi dan Ekspor Udang melalui Major Project Revitalisasi Tambak di Sentra Udang dan Bandeng. Targetnya mencapai 250% pada tahun 2024.
Rencana ini direspon oleh kementerian terkait dan melalui Direktorat Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah dilakukan implementasi di beberapa daerah. Namun, dirasa perlu untuk memastikan pembangunan budidaya perikanan yang berspektif hak asasi manusia terutama mendorong ketahanan perubahan iklim dan pemberdayaan ekonomi perempuan.
Melihat latar tersebut, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bersama dua peneliti, Yanu Endar Prasetyo dan Era Purnama Sari, telah menyelesaikan riset “BISNIS DAN HAM DI SEKTOR PERIKANAN: Dukungan dan Peran Pemangku Kepentingan terhadap Sektor Budidaya Udang”.
Riset ini berupaya melihat lebih jauh tentang isu perlindungan dan penghormatan terhadap HAM di sektor bisnis akuakultur, khususnya budidaya udang. Harapannya, riset dapat memberi manfaat dan menambah ilmu pengetahuan untuk bisa digunakan bersama dalam mendorong implementasi hak asasi manusia (HAM) dalam sektor bisnis budidaya perikanan.
Dalam peluncuran riset bisnis dan HAM di sektor perikanan, Rabu (27/4/2022), Yanu Endar Prasetyo menyebut bahwa perempuan petambak belum diakui eksistensinya. Padahal, perempuan petambak memiliki beban ganda, yatu di samping mengurus tambak, mereka juga harus mengurus anak-anak.
Ia menyebut ada beberapa perempuan yang mengorganisir diri dan berkelompok. Namun, tidak semua berhasil mendapatkan tempat di tengah komunitas dengan mudah.
“Perlu pendampingan petambak perempuan untuk menjadi lebih berdaya, mandiri, dan memiliki kekuatan dalam dunia tambak. Dalam beberapa kasus, perempuan berperan penting menjaga tambak ketika laki-laki melakukan demonstrasi di kota,” ujar Yanu.
Ia juga menyebut ada pelanggaran hak pekerja perempuan di industri pengolahan udang. Rantai pasok hulu-hilir udang cukup panjang. Banyak tenaga kerja perempuan yang turut bekerja. Perempuan-perempuan tersebut bekerja dalam paparan bahan kimia yang berbahaya, lingkungan kerja yang licin, tidak terdapat ventilasi yang cukup, dan lain-lain.
Menurut Yanu, hal-hal tersebut harus diperhatikan oleh pelaku usaha dan pemerintah. Hak-hak terhadap pekerja, terutama perempuan harus dipenuhi agar tidak terjadi pelanggaran HAM.
Tambak udang juga memiliki beban limbah budidaya yang terbuang ke lingkungan perairan. Sementara tidak semua kawasan tambak memiliki Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) yang memadai. Kemerosotan kualitas lingkungan menjadi sumber kemunculan dan penyebaran penyakit udang.
Dalam riset yang ia lakukan, Yanu menyebut bahwa salah satu dampak dari alih fungsi menjadi tambak adalah kerusakan mangrove. Di Kalimantan Utara, 41% mangrove rusak berat karena alih fungsi ke tambak besar-besaran. Sayangnya, setelah tambak dibuka dengan mengorbankan mangrove, tambaknya tidak produktif menghasilkan udang.
Sementara itu, Era Purnama Sari menyebut bahwa perusahaan harus menghindari terjadinya pelanggaran HAM. Beban lingkungan, misalnya, hanya menjadi beban bagi petambak. Belum ada tanggung jawab dari perusahaan.
Perusahaan seharusnya juga memiliki kebijakan yang pantas dan layak, misalnya tentang porsi berapa persen perempuan bisa menjadi tenaga kerja. Perusahaan juga memiliki kewajiban untuk mematuhi hukum-hukum yang berlaku.
Reporter: Yusuf