Oleh: KH. Mas Mansur*
Pada masa yang akhir-akhir ini, feiten dari perlainan itu nyata kelihatan. Contohnya ialah Ordonasi Perkawinan, rancangan anggaran pemerintah, Petisi Soetardjo, penjagaan bahaya, dan lain-lainnya.
Ordonansi Perkawinan yang diajukan oleh pemerintah, rakyat keberatan menerimanya. Karena ordonansi itu berlawanan dengan garis yang telah ditentukan oleh agama mereka. Dalam rancangan anggaran pemerintah memperbanyak anggaran untuk a, b, c, sedang rakyat berharap supaya dibanyakkan untuk e, f, g, h. Dengan petisi Soetardjo, rakyat berharap supaya dapat bekerja bersama-sama dengan pemerintah, supaya diberi kesempatan untuk mengatur diri sendiri.
Tapi pemerintah keberatan menerimanya. Demikian juga tentang penjagaan bahaya penyerangan dari luar, rakyat meminta supaya diajari memanggul senapan. Diajari mempergunakan meriam dan berperang agar mereka dapat turut mempertahankan negeri kalau sewaktu-waktu datang bahaya. Tapi hal ini pemerintah merasa keberatan mengabulkannya.
***
Rakyat Indonesia yang enampuluh milliun itu hanya 8% yang pandai menulis dan membaca, selebihnya adalah buta huruf. Maka keluh-kesah dari rakyat yang buta huruf dan jelata itu selalu berhenti membenam di dalam dada mereka. Air mata dari keberatan penderitaan sehari-hari, akibat dari peraturan-peraturan yang berat, tak dapat lagi mereka keluarkan dan mereka alirkan ke pipi, tapi ia sudah terpaksa jatuh ke dalam. Mereka selalu merasa keberatan dan terkungkung seakan-akan tak dapat bergerak, tapi mereka tak dapat dan tiada kuasa mengatakannya, karena mereka tiada tahu sebabnya. Mereka bodoh.
Sedang rakyat yang katanya sudah terpelajar, yang tahu menulis dan membaca, tiadalah semuanya yang bergerak. Tiada semuanya suka menceburkan diri ke dalam barisan persatuan yang berorganisasi. Barisan yang bermaksud dan berusaha hendak melepaskan rakyat dari kungkungan-kungkungan yang memberati mereka. Terutama hendak melepaskan mereka dari belenggu kebodohan supaya mereka tahu dan menjaga akan hak-haknya.
Kemudian daripada itu, melihat kepada statistik yang sudah tercantum di dalam majalah-majalah, terang pula bahwa di antara rakyat yang tujuh puluh milliun itu besar sangat prosentasenya kaum Muslimin, yakni tidak kurang dari 75% atau kira-kira 50.000.000 orang. Akan tetapi, berapa prosenkah baru yang sudah bergerak, yang sudah tahu dan insaf akan hak-hak dan kewajiban sebagai manusia yang hidup?
Kalau sekiranya tidak terlalu tinggi amat ukuran kita, jika kita katakan 1% dari 50.000.000 kaum Muslimin itu yang sudah bergerak, maka berapa prosen pulakah baru yang sudah bergerak di dalam politik? Dengan sendirinya sudah boleh dikatakan kurang dari setengah prosen. Padahal, segala sesuatu dari peri kehidupan dan segenap gerak-gerik kita terang dan nyata diliputi oleh politik.
***
Layangkanlah pemandangan ke sekeliling kita, melihatlah ke luar lingkungan yang sempit ini. Lihatlah kaum Muslimin di luar negeri: Turki, Arabi, Afghanistan, Syria, India, dan lain-lainnya telah lama menyingsingkan lengan bajunya, sambil mengibarkan bendera dengan giat sabar menyerbu ke tengah-tengah medan gelanggang politik. Maka tampaklah tersisih dengan nyata di dunia politik internasional SATU BARISAN ISLAM yang semoga kembali memegang tampuk dunia.
Maka dari semuanya itu, terutama dari sebab keluh-kesah rakyat yang senantiasa terpaksa mereka benamkan di dalam dada, Allah pun membangkitkan hati sebagian orang yang pandai-pandai daripada intelektual dan alim ulama. Supaya mereka tegak berdiri melayani kehendak rakyat yang tumbuh dari perjalanan kodrat. Supaya memelihara dan menuntun mereka ke padang bahagia yang damai tenang. Laksana sebutir biji yang diterbangkan angin tumbuh bertunas mengelopak sesudah hujan lebat reda. Demikianlah tukang kebun hanya memupuk dan memelihara tumbuh-tumbuhan yang baru tumbuh itu supaya hidupnya subur dan mudah-mudahan pohon kayu yang akan tercipta dari tumbuhan kecil itu dapat berguna bagi segala makhluk.
Kehendak yang timbul daripada perjalanan sunnatullah itu ialah merupakan PARTAI ISLAM INDONESIA. Dan kita semuanya, terutama orang-orang yang berdiri di barisan pucuk pimpinan, hanyalah menjaga, memelihara, dan memupuk ciptaan Tuhan yang diciptakan-Nya menurut sunnah-Nya.
Setelah lahir Partai Islam yang baru itu, niscaya akan timbul pertanyaan: mengapakah tidak dipadukan saja pada partai Islam yang sudah ada seperti PSII dan Penyadar?
Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu kita nyatakan bahwa kehendak rakyat meminta supaya partai yang sudah lama menjadi kenang-kenangan itu hendaklah: 1) jangan memakai disiplin kepada sesama Islam, 2) jangan hijrah dijadikan pokok dasar dalam perjuangan, 3) jangan memikirkan lain daripada soal politik. Soal pengajaran dan sosial biarlah dipikirkan oleh perhimpunan-perhimpunan yang sudah ada, seperti Muhammadiyah dan Taman Siswa. Adapun Penyadar, ia baru saja memisahkan diri dari PSII. Perpisahannya itu adalah perpisahan yang kurang menyenangkan.
Demikianlah keterangan ringkas dari sebab-sebab lahirnya Partai Islam Indonesia. Sekali lagi kita ulangi: ia tidak dilahirkan oleh pikiran dan tangan manusia. Tapi ia lahir ke tengah-tengah masyarakat Indonesia dengan menurut ketentuan jalan sunnatullah Yang Maha Bijaksana.
***
Di akhir kita berdoa, mudah-mudahanlah Partai Islam Indonesia dapat hidup subur, berdahan, bercabang, dan berbunga, kemudian berbuah. Buah yang mendatangkan faedah dan dikecap oleh rakyat seluruhnya. Moga-moga pula ia disambut oleh rakyat dengan sambutan yang sepenuh-penuhnya.
Insya Allah, Tuhan menolong kita.
*) Disusun oleh Anwar Rasjid dengan sumber: Pedoman Masyarakat no. 7/15 Februari 1939 dengan judul asli, “Apa Sebabnya Partai islam Indonesia Didirikan?” Dimuat kembali di ibtimes.id dengan penyuntingan
Editor: Arif dan Nabhan