Pemikiran tumbuh melalui proses perenungan yang panjang. Latar belakang pemikiran seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti tingkat pendidikan, konteks sosial-politik, kebudayaan sekitarnya, dan tentunya literatur yang ia baca. Sebagai ulama pembaharu, KH. Ahmad Dahlan memiliki literatur yang cukup kaya.
Genealogi, salah satu ilmu yang mempelajari seluk-beluk pemikiran suatu tokoh atau organisasi menunjukkan literatur merupakan faktor penting dalam lahirnya sebuah pemikiran.
KH. Ahmad Dahlan sendiri merupakan ulama cum intelektual yang memiliki radius bacaan yang luas, mulai dari kitab-kitab ulama klasik hingga literatur kontemporer. Tulisan ini mencoba untuk memperkenalkan secara singkat seperti apa literatur dan bacaan KH. Ahmad Dahlan.
K.H. Hadjid melalui catatan pribadinya memaparkan judul-judul literatur KH. Ahmad Dahlan.
K.H. Hadjid, yang merupakan murid langsung KH. Ahmad Dahlan, merekam dengan sangat baik judul-judul tersebut, walaupun beberapa dari judul kitab atau buku tersebut tidak dijelaskan siapa penulisnya dan apa isinya.
Al-Urwatul Wutsqa, Al-Manar, dan Al-Munir
Akhir abad-19 hingga memasuki abad ke-20, revolusi industri 2.0 sedang berlangsung. Revolusi ini pun dirasakan oleh warga Hindia-Belanda saat itu. Hadirnya mesin cetak merupakan suatu perkembangan yang positif bagi arus informasi.
Namun, bersamaan dengan itu kolonialisme Eropa mulai menancapkan pengaruhnya. Arus informasi bagaikan pisau bermata dua. Media seperti surat kabar atau majalah digunakan sebagai alat ideologisasi kepada pribumi, sedangkan di sisi lain tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan menggunakannya sebagai alat propaganda untuk melawan penjajah.
Disrupsi informasi ini kemudian dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan untuk menyalurkan pikiran-pikirannya melalui surat kabar ataupun majalah. Salah satu tokoh pejuang kemerdekaan yang berasal dari Afghanistan, Jamaluddin Al-Afghani bersepakat untuk membuat majalah bernama Al-Urwatul Wustqa.
Majalah tersebut berusaha untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran pembaharuan Islam, sekaligus menentang dan menantang para penjajah di berbagai belahan dunia.
Majalah ini kemudian didistribusikan melalui diaspora ulama-ulama dan jamaah haji dari Hindia Belanda pada saat itu. Kemungkinan besar, KH. Ahmad Dahlan membaca majalah ini pada saat belajar di Makkah.
Begitu pula dengan majalah Al-Manar. Majalah hasil garapan Rasyid Ridha ini menjadi pegangan KH. Ahmad Dahlan dalam menyebarkan gagasan-gagasan pembaharuan di tanah air. Sedangkan dari segi konten tidak jauh berbeda dengan majalah Al-Urwatul Wutsqa, sebab Rasyid Ridha merupakan murid dari Muhammad Abduh yang memilki kedekatan erat dengan Jamaluddin Al-Afghani.
Majalah Al-Munir merupakan hasil buah tangan ayah Buya Hamka, Dr. (H.C.) Abdulkarim Amrullah atau yang dikenal Haji Rasul.
Dalam buku Covering Muhammadiyah (Muarif, 2020), KH. Ahmad Dahlan berlangganan dan membaca majalah ini secara rutin. Dari isi majalah tersebut, KH. Ahmad Dahlan banyak merujuk khususnya mengenai persoalan keagamaan di masyarakat.
Majalah Al-Urwatul Wustqa dan Al-Manar ditulis dalam bahasa Arab, sedangkan majalah Al-Munir ditulis dalam bahasa Arab Jawi atau Melayu Arab.
Risalah at-Tauhid
Berdasarkan catatan K.H. Hadjid, terdapat tiga judul karya Abduh dalam literatur KH. Ahmad Dahlan. Yaitu Risalah At-Tauhid, Al-Islam wa An-Nasraniyyah, dan Tafsir Juz Ammah.
Risalah At-Tauhid merupakan kitab teologi atau ilmu kalam yang ditulis berdasarkan pendekatan rasionalitas atau burhani. Dalil-dalil aqliyah lebih ditampakkan dibandingkan dalil-dalil naqliyah.
Ini tidak mengherankan, sebab Muhammad Abduh merupakan tokoh pembaharu Islam asal Mesir yang sangat menekankan betapa pentingnya posisi akal dalam memahami agama.
Ada anggapan bahwa Muhammad Abduh merupakan seorang penganut Muktazilah yang beraqidah Qadariyah. Anggapan atau lebih tepatnya tuduhan ini tidak mempunyai dasar yang kuat.
Muhammad Abduh yang juga merupakan pengajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, membantah tuduhan tersebut dengan menulis bab tersendiri di dalam Risalah At-Tauhid.
Bab 5 yang berjudul af’al al-ibad atau perbuatan-perbuatan manusia. Sebagaimana dalam sejarah ilmu kalam, salah satu pokok perdebatan aliran kalam adalah mengenai posisi Tuhan dalam menentukan perbuatan manusia.
Abduh sendiri membantah khawarij yang beraqidah jabariyah sekaligus mengeliminasi argumentasi kaum muktazilah yang berakidah qadariyah.
Sebagai kesimpulan akhir, Abduh menyatakan bahwa perdebatan dari dua aliran tersebut tidak mendapatkan hasil apa-apa selain dari fanatisme buta, energi dan waktu yang terbuang percuma, dan kemunduran itu sendiri.
Dalam posisi ini, terlihat betapa Abduh cukup moderat dalam hal ini. Islam washatiyyah telah menjadi watak bagi kaum pembaharu.
Senada dengan Abduh, berdasarkan keterangan K.H. Mas Mansur, KH. Ahmad Dahlan juga tidak ingin terjebak pada perdebatan ilmu kalam (M. Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad Dahlan: Pemikiran dan Kepemimpinannya, 2005).
Al-Islam wa an-Nasraniyyah
Al-Islam wa An-Nasraniyyah merupakan karangan Abduh yang juga dibaca oleh KH. Ahmad Dahlan. Sebetulnya, judul asli kitab ini adalah Al-Islam wa An-Nasraniyyah ma’a al-ilmi wa al-madaniyyah yang artinya Islam dan Kristen Memandang Ilmu dan Peradaban.
Kitab ini berisikan pandangan dari dua agama tersebut mengenai perkembangan ilmu pengetahuan saat itu.
Abduh sebetulnya menulis kitab ini untuk membela Islam yang dianggap anti terhadap sains. Beliau juga memaparkan betapa peradaban Eropa saat itu yang didominasi oleh umat kristiani begitu maju. Padahal, menurut Abduh, Islam mengajarkan penggunaan akal untuk menelusuri hakikat alam semesta.
Walaupun dalam kitab tersebut Abduh menggugat pokok-pokok teologis dalam doktrin Kristen, Abduh lantas tidak mengambil sikap ekstrim.
Abduh meyakini bahwa perbedaan di kalangan umat manusia merupakan keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Mungkin, di sinilah titik temu Abduh dengan KH. Ahmad Dahlan yang sangat terbuka dan mau bergaul dan berdialog dengan non-muslim. Dua ulama besar ini sangat inklusif sekaligus pluralis.
Tafsir Juz Ammah
Tafsir Al Manar atau dikenal pula tafsir Muhammad Abduh yang terdiri dari dua belas jilid itu sesungguhnya tidak ditulis oleh Muhammad Abduh, tetapi oleh muridnya, Rasyid Ridha. Rasyid Ridha menulis kitab tersebut setelah rutin mengikuti kajian-kajian Muhammad Abduh.
Terdapat perbedaan antara tafsir Al-Manar dengan tafsir Juz Ammah. Selain karena ditulis oleh Muhammad Abduh sendiri, tafsir Juz Ammah juga cukup lebih berhati-hati dibanding tafsir Al-Manar.
Tafsir Juz Ammah ini merupakan karya tulis Muhammad Abduh yang ditujukan untuk pegangan para guru mengaji di Maroko pada tahun 1321 H (Muhammad Quraish Shihab dalam pengantar Rahasia Juz Amma, Tafsir Tradisional Muhammad Abduh, 2007).
Corak penafsiran Muhammad Abduh yang rasional, bahkan pada ayat-ayat yang bersifat suprarasional mungkin menjadi ketertarikan sendiri bagi KH. Ahmad Dahlan.
Lihatlah bagaimana Muhammad Abduh menafsirkan surat Al-Maun ayat 01:
“Masing-masing mengira (Muslim, Nasrani, Yahudi, dan Musyrik) dirinya membenarkan agama dan sama sekali tidak mendustakannya. Mereka ini terkelabui oleh shalat dan puasa yang mereka laksanakan; sementara mereka amat jauh dari hakikat agama yang mereka anut itu”.
Dari penjelasan yang sudah-sudah, cukuplah bagi kita untuk menyatakan bahwa Muhammad Abduh merupakan salah satu pembaharu Islam yang paling berpengaruh di dunia.
Fil Bid’ah dan at-Tawassul wa al-Washilah
Dua kitab tersebut merupakan Ibnu Taimiyyah. Ibnu Taymiyyah sendiri digadang-gadang sebagai ulama rujukan reformer Islam di manapun. Biarpun begitu, Ibnu Taymiyyah sendiri merupakan ulama yang selalu menyerukan terbukanya pintu ijtihad.
Pandangannya yang menggugah itu akhirnya ditanggapi oleh berbagai kalangan ulama. Ibnu Taymiyyah melihat bahwa kemunduran umat Islam disebabkan banyaknya praktik-praktik keagamaan yang tidak sesuai dengan tuntunan Islam.
Dua kitab tersebut banyak menggambarkan pandangan Ibnu Taymiyyah mengenai praktik-praktik keagamaan yang menurutnya merupakan perbuatan bid’ah dan syirik sehingga harus ditinggalkan.
Sebagai catatan, Ibnu Taymiyyah memang banyak dirujuk oleh ulama pembaharu. Sebutlah diantaranya Muhammad ibn Abdul Wahhab dan Muhammad Abduh. Namun, corak pembaharuan yang dilakukan oleh keduanya sangat berbeda.
Artinya, KH. Ahmad Dahlan pun tidak serta merta membaca kitab Ibnu Taymiyyah dengan lanskap dan dimensi yang sempit. Apalagi, wilayah dakwahnya adalah kekuasaan keraton di mana ia terlibat juga di dalamnya.
KH. Ahmad Dahlan yang membaca karangan Ibnu Taymiyyah lantas tidak membuat pandangan KH. Ahmad Dahlan mengenai kemajuan dan pembaharuan menjadi kaku seperti yang dilakukan oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab di Saudi.
Izharul Haq
Selain pembacaan KH. Ahmad Dahlan mengenai fiqih dan tafisr, KH. Ahmad Dahlan juga melahap buku kristologi. Salah satunya ialah kitab Izharul Haq karya Rahmatullah Hindi.
Kitab ini berisikan argumentasi untuk menjawab dan menjelaskan kebenaran Islam kepada lawan-lawan debat. Rahmatullah Hindi sendiri merupakan ulama asal India yang memah ahli di bidang debat perbandingan agama.
Rahmatullah Hindi membangun tradisi dialogis antara agama di India yang menginspirasi Ahmad Deedat dan Zakir Naik. Jauh sebelum itu, KH. Ahmad Dahlan telah membaca kitab ini dan berdialog dengan hangat bersama tokoh-tokoh agama lain.
Tidak seagresif yang dilakukan seperti sekarang oleh Zakir Naik yang justru memicu kontroversi di tengah arus pluralitas kebangsaan.
Matan Al-Hikam
Matan Al-Hikam merupakan kitab karangan Syaikh Ibnu Athaillah As-sakandari. Syaikh Ibnu Athaillah As-sakandari sendiri merupakan ulama tasawwuf yang sangat tersohor.
Beberapa kali ia terlibat dialog dengan Ibnu Taymiyyah, terutama pada masalah sufisme vs syariat. Ibnu Taymiyyah sendiri merupakan ulama yang cenderung antipati terhadap sufisme. Walaupun begitu, ia sangat menghormati Syaikh Ibnu Athaillah As-sakandari karena tasawwuf tidak bisa berjalan tanpa ada syariat.
Bisa dilihat, KH. Ahmad Dahlan membaca kitab dua ulama yang saling berbeda pandangan. Tidak ada yang memastikan hal itu selain dari kesungguhan KH. Ahmad Dahlan dalam mencari kebenaran. Kesan anti tasawwuf yang sering dituduhkan kepada Muhammadiyah sekaligus tidak terbukti.
Kitab Al-Hikam berisikan renungan-renungan sufistik. Di kalangan masyarakat pesantren, kitab ini sudah menjadi makanan sehari-hari. Renungan-renungan dari Al-Hikam ini juga sangat relevan sampai sekarang.
Contohnya, Syaikh Ibnu Athaillah As-sakandari mengatakan dalam Al-Hikam:
“Orang ‘arif itu lebih khawatir saat berada dalam kondisi lapang, ketimbang saat dalam kondisi sempit. Sebab, hanya sedikit manusia yang tetap bertahan dalam batas-batas kesopanan, ketika berada dalam kondisi lapang”.
Al-Qashaid Al-Aththasiyyah
Salah satu yang cukup sulit diungkap adalah kitab qashaid al-aththasiyyah ini. Walaupun nama pengarangnya disebutkan, yaitu Abdul Aththas, tetapi begitu banyak ulama terutama habaib yang menggunakan nama tersebut.
Ada Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas, pengarang Ratibul Aththas yang akrab di telinga masyarakat pesantren, bahkan masyarakat Indonesia umumnya.
Ada pula Sayyid Abdullah bin Alwi Alatas, kelahiran Tambora, Jakarta yang merupakan pedagang tersohor era Hindia Belanda.
Tidak lupa, ada Abdullah bin Muhsin Al-Attas atau yang dikenal Habib Keramat Empang. Beliau ini aktif berdakwah, khususnya di daerah Jawa Barat. Mungkin saja, beliaulah yang menulis kitab Qashaid Al-Aththasiyyah.
Dilihat dari segi judul, Qashaid Al-Aththasiyyah nampaknya merupakan antologi qashidah-qashidah atau puisi yang berisi puji-pujian terhadap Rasulullah SAW dan Ahlul Bait. Selain itu, juga berisi wirid dan zikir harian. Sebab, tradisi tersebut khas miliki para Habaib sebagaimana yang tergambar dalam kitab Ratibul Aththas. Wallahu A’lam.
Tafshil al-Nasyatain Tashil as-Saadatain
Sejauh pengamatan penulis, ketika memaparkan judul-judul bacaan KH. Ahmad Dahlan, kitab ini tidak dijelaskan siapa penulisnya. Padahal kitab ini merupakan karya ulama linguistik Arab yang tersohor, penulis Al-Mufradat Alfaz Al-Qur’an, yakni Syaikh Raghib Al-Asfahani.
Syaikh Raghib Al-Asfahani (berasal dari kota Asfahan, saat ini Iran) menulis kitab ini untuk seorang wazir di era kekhalifahan Abbasiyah di bawah pengaruh buwaihi. Pada era itu, orang-orang persia sangat berpengaruh di lembaga pemerintahan pusat kekhalifahan.
Tradisi ulama terdahulu salah satunya ialah selalu menulis kitab untuk pemimpin. Tradisi ini begitu penting, sebab dengan cara itulah ulama memberikan nasihat-nasihat kepada pemimpin.
Kitab ini sendiri merupakan penjelasan atas konsep-konsep kunci Al-Qur’an melalui kajian makna atau yang kita kenal saat ini sebagai semantik. Kepakaran Syaikh Raghib di bidang linguistik sangat diakui oleh berbagai ulama pada zamannya.
Dairatul Maarif
Dalam melanjutkan proyek pembaharuan Muhammad Abduh di Mesir, Rasyid Ridha tidak sendiri. Salah satu murid Abduh yang cukup terkenal adalah Farid bin Mustofa Wajdi atau Farid Wajdi. Farid Wajdi menghabiskan hidupnya untuk menulis gagasan-gagasan modernisme Islam.
Muhammad Husain Haikal, penulis Hayatu Muhammad yang juga sastrawan Mesir, bersama Farid Wajdi selalu berupaya untuk membangkitkan alam rasionalitas berpikir masyarakat Mesir.
Salah satu karya yang bisa dibilang cukup fenomenal adalah Dairatul Maarif Al-Qarn Al-Isyrin yang berarti ensiklopedia abad ke-20. Ia menulis buku ini dalam 10 jilid. Karya ini dipuji-puji oleh orientalis dan dikagumi banyak cendekiawan.
KH. Ahmad Dahlan juga membaca karya-karya kontemporer saat itu. Ini menunjukkan spektrum bacaan yang cukup luas dari seorang ulama pembaharu.
Kanzul Ulum
Ibnu Batutah konon pernah singgah di bumi nusantara. Laporan ekspedisi tersebut dicatat dalam kitabnya yang berjudul kanzul ulum.
KH. Ahmad Dahlan, selain tertarik pada ilmu-ilmu agama juga tertarik pada ilmu sains. Ibnu Batutah sendiri merupakan seorang ahli geografi sekaligus etnografi.
Kitab ini sebenarnya menjadi polemik apakah benar ditulis oleh Ibnu Batutah atau tidak. Dari segi isinya pun, kitab ini banyak memuat keterangan sejarah kedatangan Islam ke Indonesia.
Prof. Haedar Nashir sendiri menyatakan bahwa kitab Kanzul ulum adalah laporan perjalanan keliling dunia Ibnu Batutah (https://muhammadiyah.or.id/buku-buku-yang-dibaca-ahmad-dahlan/).
Salah satu yang memicu kontroversi adalah penjelasan di dalam kitab Kanzul Ulum bahwa Wali Songo adalah utusan Sultan Muhammad I alias Turki Ustmani.
Tahun 1304-1368 M adalah masa hidup Ibnu Batutah. Sedangkan Sultan Muhammad I atau Mehmed I baru lahir pada 1389 M. Apakah Ibnu Batutah memiliki keahlian meramal? Tidak. Justru, kitab perjalanan Ibnu Batutah yang dikenal berjudul Ar-rihlah.
Walaupun masih kontroversi, usaha untuk menemukan fakta historis yang kuat harus tetap dilakukan, terutama pada sejarawan yang berkonsentrasi pada sejarah pemikiran.
Biarpun begitu, usaha terus menerus KH. Ahmad Dahlan dalam membaca berbagai kitab dari berbagai zaman dan penulis menunjukkan semangat belajar yang luar biasa. Sudah sepatutnya kader-kadernya mencontoh spirit tersebut.
Editor: Yahya