Falsafah

Integrasi Umat Islam, Kita Bisa Apa?

3 Mins read

Pada 17 Agustus 1945, Bapak proklamator kita, Bung Karno, menyatakan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Perjuangan dalam mempersatukan Indonesia tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena Indonesia bukan hanya dihuni oleh umat Islam saja. Harus diakui pula ada permasalahan integrasi umat Islam.

Integrasi Umat Islam dan Permasalahannya

Wajar, Negara kita memiliki keanekaragaman budaya dan agama yang melimpah-ruah dari Sabang sampai Merauke. Di samping itu, rakyat pun memiliki pola pikir yang berbeda-beda. Sehingga, menjadi kendala yang tidak bisa diremehkan.

Persis halnya dengan mempersatukan umat Islam di Nusantara. Penuh tantangan dan hambatan. Terutama setelah runtuhnya Kesultanan Utsmani sebagai institusi yang menaungi seluruh umat Islam di dunia pada 1924. Sejak saat itu, mereka didera permasalahan politik, sosial, ekonomi, budaya, hingga pemikiran.

Dihadapkan dalam situasi seperti ini, umat Islam sepakat bahwa kondisi mereka kini sedang tidak ideal. Integrasi umat Islam tidak pernah benar-benar terjadi. Di samping itu, Indonesia juga pernah dihebohkan dengan disertasi oleh Prof. Dr. Deliar Noer yang mencakup sejarah gerakan Islam di Indonesia. Dalam disertasinya, menurutnya gerakan Islam terbagi menjadi dua, “modernis” dan “tradisionalis.”

Klasifikasi tersebut barang tentu berpotensi menimbulkan konflik antar-gerakan Islam. Kelompok yang menandai dirinya sebagai kaum “modernis” merasa memiliki saingan dengan kelompok “tradisionalis”. Begitu  pula sebaliknya.

Sementara itu, banyak orang yang memiliki fanatisme tinggi terhadap gerakannya. Masing-masing kelompok menganggap dirinya paling benar dari yang lain. Dalam hal ini, klaim kebenaran atas kelompoknya bermunculan. Mereka hanya ingin mengikuti pendapat ‘ulama dari kalangan mereka sendiri, sehingga tidak terbuka terhadap perbedaan atau pendapat pihak lain (khilafiyah).

Pasalnya, mereka juga mendoktrin pemahamannya terhadap orang lain. Sehingga, banyak orang yang terseret menjadi pengikutnya dan terjadilah perpecahan diantara sesama harakah. Kasus ini sangat disayangkan dan mesti harus disudahi.

Baca Juga  Antonio Gramsci: Intelektual Organik Tak Akan “Membeo” pada Penguasa

Dalam keadaan yang krusial ini, musuh-musuh Islam akan mudah menyerang dan mengeksploitasi umat Islam. Bila diamati dengan saksama, yang paling  keberatan terhadap bersatunya umat Islam adalah pihak Barat (Rasyid, 2006). Yang menjadi momok besar bagi Barat adalah kembali berdirinya negara Islam (The Caliphate of Islam) sebagai negara adidaya selama belasan abad silam.

Barat berusaha untuk menekan negara Islam agar tidak berdiri. Jangan sampai negara Islam yang sudah berdiri memuluskan jalan bagi negara lain yang ingin menjadikan Islam sebagai ideologinya. Bila negara berideologi Islam berdiri, maka eksistensi peradaban barat berpotensi akan hancur.

Ruang Bagi Perbedaan

Sejatinya, orang yang memeluk Islam tetap saja manusia. Manusia memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam memahami Al-qur’an dan As-Sunnah. Islam memberikan ruang bagi perbedaan, agar setiap muslim mudah memahami dan memiliki ruang gerak dalam menentukan pilihan-pilihan dari hukum tertentu. Perbedaan adalah rahmat.

Bagaimana seandainya Islam hanya punya satu jenis pandangan tanpa ada pilihan lain? Tentu ini akan menyulitkan banyak orang. Akan membuat orang lari dari Islam. Karena sesungguhnya tingkat penerimaan setiap orang berbeda-beda.

Felix Siauw menganalogikan ruang perbedaan dalam Islam dengan telur mata sapi. Setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam menikmatinya. Ada tipe orang yang memakan langsung tanpa menghiraukan bagian yang enak. Ada pula orang yang melahapnya dengan menyisakan bagian kuningnya, save the best for the last.

Begitu juga Islam, ia tidak memaksakan hanya dengan satu penerimaan. Namun, memberi ruang agar orang dapat melahapnya dengan cara yang berbeda-beda. Namun, tidak serta-merta Islam memberikan ruang sebebas-bebasnya dalam menenutukan pilihan. Bila dipersingkat, Allah memberikan batas ruang dalam hal furu’ (cabang) kepada umat Islam untuk berbeda pendapat agar dapat disesuaikan dengan situasi tertentu.

Baca Juga  Memperbarui Pemikiran Islam itu Hukumnya Wajib ‘Ain!

Upaya untuk Persatuan Umat Islam

Ada beberapa hal yang sangat penting dan sepatutnya dilaksanakan agar umat Islam benar-benar dapat meningkatkan kesadaran bahwa Islam dapat bersatu menghadapai permasalahan yang ada. Itu semua dapat kita mulai dengan langkah-langkah berikut.

Pertama, mengembalikan segala urusan hanya kepada Al-Qur’an dan as-sunnah. Dalam tafsir Al-Mishbah, Prof. Quraish Shihab mengungkapkan bahwa perpecahan dapat diobati dan diperbaiki melalui Al-Qur’an. Menurut beliau, Umat yang masih tetap berpegang teguh kepada ajaran para Nabi mendapatkan rahmat dan petunjuk dari Allah. Sehingga,  umat Islam bisa menjadi bersahabat dan bersaudara.

Kedua, Memiliki kesadaran bahwa umat Islam harus bersatu. Bacalah permasalahan dan bahaya yang sedang mengancam umat Islam. Maka, ghiroh untuk mempersatukan umat akan ada sesulit apapun tantangannya. Kita akan berpikir kedepan apapun permasalahannya.    

Ketiga, berprasangka baik terhadap golongan atau gerakan lain. Langkah ini akan efektif untuk membangun kekuatan strategis, apalagi untuk menjadi tim yang tangguh. Karena, setiap gerakan memiliki cara dan sasarannya sendiri dengan strateginya masing-masing.

Keempat, banyak membaca urusan terkait fiqih. Semakin banyak belajar fiqih, kita akan semakin sadar bahwa umat Islam memiliki berbagai macam golongan. Bahwa setiap golongan memiliki ijtihad yang berbeda-beda.

Kelima, ikut menyadarkan orang lain pentingnya persatuan umat Islam dan bahaya fanatisme. Akan lebih efektif bergabung dengan salah satu jama’ah. Ketika kita juga turut berkolaborasi, akan lebih mempermudah untuk berdakwah daripada menjalankannya sendiri.

Hukum Kausalitas

Allah SWT berfirman, “Wa’tashimu bihablillahi jamii’a…” (QS. Ali Imran : 103), yang artinya. “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah..”. Redaksi perintah pada kata  “watashimu” menunjukkan pentingnya ajaran tersebut, bahwa umat Islam tidak akan mencapai kejayaan jika tidak satu barisan menegakkan ajaran Allah.

Baca Juga  Rene Descartes: Tuhan Ada, Maka Aku Ada

Menilik hukum kausalitas, ketika ingin mencapai akibat, maka harus melaksanakan sebab. Begitu juga dengan persatuan Islam. Bila ingin persatuan Islam bangkit, kita harus melaksanakan langkah-langkah kecil sebagai bagian dari kontribusi kita. Islam hadir untuk menjadi solusi dan sarana menyatukan puing-puing komponen masyarakat yang saling berserakan dan terpecah belah.

Semua bergantung pada kita, mau menggunakan perangkatnya atau tidak. Mari bermadzhab secukupnya, beragama sepenuhnya. Apakah persatuan Islam mungkin? Mengapa tidak?!

Editor: Nirwansyah/Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Penulis merupakan mahasiswa di salah satu kampus di Surabaya. Untuk Tulisan lainnya bisa dilihat di laman https://medium.com/@farouq.birawa
Articles
Related posts
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…
Falsafah

Kehidupan Setelah Mati Perspektif Al-Kindi

2 Mins read
Al-Kindi terkenal sebagai filsuf pertama dalam Islam, juga sebagai pemikir yang berhasil mendamaikan filsafat dan agama. Tentu, hal ini juga memberi pengaruh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds