Tajdida

Islam Adalah “Berdamai dengan Allah”

2 Mins read

Oleh: Zainal Arifin

Dimensi agama (Islam) ada tiga, yaitu Islam, Iman, dan Ihsan. Hal ini berdasarkan pada hadis riwayat Imam Muslim yang menceritakan dialog antara Rasulullah dengan malaikat Jibril di bawah ini!

….’Wahai Muhammad, kabarkanlah kepadaku tentang Islam? ‘ Rasulullah Saw menjawab: “Kesaksian bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan puasa Ramadlan, serta haji ke Baitullah jika kamu mampu bepergian kepadanya.’ Dia (Malaikat Jibril) berkata, ‘Kamu benar.’ Umar berkata, ‘Maka kami kaget terhadapnya karena dia menanyakannya dan membenarkannya.’ Dia bertanya lagi, ‘Kabarkanlah kepadaku tentang iman itu? ‘Beliau menjawab: “Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik dan buruk.” Dia berkata, ‘Kamu benar.’ Dia bertanya, ‘Kabarkanlah kepadaku tentang ihsan itu? ‘ Beliau menjawab: “Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”… (HR. Muslim).

***

Menurut hadits di atas, Islam berkaitan dengan lima kewajiban seorang muslim, yaitu: bersyahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji. Dimensi ini disebut rukun Islam yang masuk wilayah syari’ah. Setiap muslim yang sudah mukallaf, wajib menunaikan kewajiban-kewajiban syari’ah tersebut, kecuali haji bagi yang mampu untuk menunaikan, baik kemampuan finansial maupun keamanan perjalanan.

Yudian Wahyudi memaknai Islam secara etimologi berasal dari kata aslama-yuslimu-islaam-salaam atau salaamah, yaitu tunduk kepada kehendak Allah SWT agar mencapai salaam/salaamah (keselamatan atau kedamaian) di dunia dan Akhirat. Prosesnya disebut Islam dan pelakunya disebut muslim. Jadi, Islam adalah proses untuk meraih keselamatan dengan mengikuti kehendak Allah SWT.

Maulana Muhammad Ali (dalam Abuddin Nata) menjelaskan kata aslama tersebut pada mulanya berasal dari salima, yang berarti “selamat,” “sentosa,” dan “damai.” Dari pengertian demikian secara kharfiyah Islam dapat diartikan “patuh,” “tunduk,” “berserah diri” (kepada Allah) untuk mencapai keselamatan. Menurut Harun Nasution, selanjutnya Islam menjadi nama sebuah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Allah kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul.

Baca Juga  Hukum Melaksanakan Walimatus Safar bagi Calon Jamaah Haji

Nurcholish Madjid memaknai Islam sebagai “pasrah kepada Allah,” yaitu “berdamai dengan Allah.” Seorang Muslim tidak mempunyai sikap negatif kepada Allah dan jiwanya selalu tenang bersama-Nya (al-Nafs al-Muthmainnah), yaitu rela dan direlakan (radliyatan mardliyah). Firman-Nya, “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya,” (QS. Al-Fajr [89]: 27-28).

***

Muslim yang berserah diri kepada Allah, selalu ridla dengan kehendak-kehendak (takdir) Allah yang menimpanya. Gambaran ridla dengan apik digambarkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah (dalam Quraish Shihab) ketika beliau menasehati Shufyan ats-Tsaury dalam dialog di bawah ini:

Suatu ketika Shufyan ats-Tsaury berdoa di depan sufi besar Rabi’ah al-‘Adawiyah. “Ya Allah, ridhailah kami.” Mendengar doa itu, Rabi’ah berkata: “Apakah engkau tidak malu memohon ridha-Nya, sedang engkau sendiri belum ridha kepada-Nya?” Ats-Tsaury menjawab: “Astaghfirullah! Kapan seseorang dinamai ridha kepada-Nya?” Al-‘Adawiyah menjawab, “Kalau kegembiraannya ditimpa musibah setara dengan kegembiraannya memperoleh nikmat.”

Muslim yang hidupnya telah damai dengan Allah, senantiasa akan mendamaikan dan tidak menimbulkan madlarat bagi orang-orang di sekitarnya. Sabda Nabi Muhammad Saw, “Seorang muslim adalah siapa yang selamat muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya” (HR. Bukhari, Muslim, dan lain-lain). “Tidak boleh membuat kemudharatan pada diri sendiri dan membuat kemudharatan pada orang lain.” (HR Ibnu Majah dan Imam Malik)

***

Karakter muslim seperti inilah yang diinginkan pada masa pandemi covid-19 sekarang ini. Seorang Muslim harus menghindari bahaya dan tidak membuat bahaya bagi orang lain. Caranya, ketika beribadah atau pun keluar rumah untuk keperluan darurat perlu memperhatikan protokol yang sudah diberikan oleh pemerintah dan para ulama, misalnya menggunakan masker, selalu cuci tangan, menghindari kerumunan, dan beribadah di rumah.

Baca Juga  Muhammadiyah versus Salafi

Slogannya, ‘Maskerku menyelamatkanmu dan Maskermu menyelamatkanku.’

Dosen Prodi MPI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. E-mail: [email protected]

Selengkapnya klik di sini

Editor: Arif

Admin
185 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds