Para pecinta sastra pasti mengetahui perseteruan sengit yang terjadi antara Pramoedya Anantya Toer (selanjutnya disingkat Pram-pen) dengan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) di tahun 60-an.
Konflik itu bermula saat Pram mendakwa salah satu novel karya HAMKA berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck sebagai hasil jiplakan (plagiat) dari novel berjudul Majdulin atau Magdalena (di Bawah Naungan Pohon Tilia) karya Musatafa Luthfi al-Manfaluthi. Perseteruan di ranah kesusastraan ini digambarkan sacara runtut dan detail oleh Muhiddin M Dahlan dalam bukunya Aku Mendakwa Hamka Plagiat: Skandal Sastra Indonesia 1962-1964 (2011).
Meskipun kedua tokoh ini sama-sama meminati bidang sastra, tapi keduanya memiliki paham dan ideologi saling berseberangan.
Irfan Teguh mengutip Asep Sambodja dalam Historiografi Sastra Indonesia 1960-an, mengatakan bahwa kala itu Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) sedang menghadapi konflik face to face dengan pemerintahan Soekarno yang cenderung “kekiri-kirian” atau dekat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) terlibat dalam aksi pemberontakan terhadap Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat. Namun, aksi ini berhasil dihentikan oleh operasi militer pemerintah. Tak lama setelah itu, keduanya langsung dibubarkan dan menjadikan pemerintahan Soekarno yang terafiliasi dengan PKI dan ormas-ormas terkait, berada di atas angin.
Konflik idologi politik antara Hamka yang berlatarbelakang Masyumi dengan Pram yang memimpin Bintang Timur, koran harian yang dekat dengan PKI, oleh beberapa peneliti sastra dan sejarah dianggap sebagai bahan bakar genderang perang kesastraan terbesar di Indonesia ini.
Awal Mula Konflik
Dakwaan Pram bermula saat salah satu lembaran harian yang ia nahkodai, yakni lembaran “Lentera”, memuat artikel yang ditulis oleh Abdullah Said Patmadji (Abdullah SP) berjudul Sekali Lagi Membaca Buah Tangan Hamka: Bernarkah Dia Manfaluthi Indonesia? Yang diterbitkan pada tanggal 7 September 1962.
Dari artikel tersebut, Muhiddin M Dahlan mencatat lirik-lirik pujian yang dilontarkan Abdullah SP atas karya Hamka seakan menyanjung-nyanjungnya setinggi langit, lalu kemudian dihempaskan ke tanah sekuat tenaga lewat dakwaan plagiat dan penjiplakan secara mentah-mentah dari karya yang sudah disebutkan tadi.
Seminggu berikutnya, Abdullah SP menulis lagi di harian yang sama dengan judul Aktor Tunggal dalam Bohong di Dunia. Di artikel tersebut, ia berusaha membandingkan beberapa paragraf antara novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijk dengan Magdalena guna meyakinkan para pembaca bahwa HAMKA benar-benar telah plagiat.
Puncak serangan ini terjadi pada tanggal 5 Oktober 1962, saat itu judul dan isi tulisan Abdullah bahkan makin keras: Aku Mendakwa Hamka Plagiat.
Meskipun Pram secara langsung tak terlibat dalam menulis, tapi Pram lah aktor balik layar dari rangkaian serangan ini. Menurut Muhiddin, Pram merancang polemik ini dengan metode “masak air”. Ia mulanya menerbitkan resensi-esai perkenalan masalah, lalu tensinya sengaja dinaikan untuk menadapat animo publik, dan di akhir titik didihnya dipolkan.
Keadaan Berbalik
Atas keributan ini, publik terbelah menjadi dua, pro-Hamka dan pro-Pram.
Namun singkat cerita, konflik kedua tokoh ini meredam saat situasi berbalik arah. Yakni saat angin politik pemerintahan kala itu tak berpihak lagi ke PKI dengan segala afiliasinya. Ini ditandai dengan meletusnya Gerakan 30 September (G30S).
PKI kalah. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi ke PKI, disembelih. Polemik kesastraan tadi juga otomatis mandek karena memang para penyulutnya diciduk oleh rezim kala itu. Termasuk Pram yang dijatuhi hukuman penjara di pulau Buru selama belasan tahun dan baru dibebaskan pada tahun 1979. Setelah keluar penjara, Pram tak menjalin hubungan lagi dengan HAMKA.
Islam Mendamaikan Pram dan Hamka
Berdasarkan pengakuan anak kandungnya, Irfan Hamka dalam buku Ayah, HAMKA sudah memberikan maaf kepada semua orang yang pernah berseteru dengannya, termasuk di juga Pram, yang meninggal pada April tahun 2006 silam.
Menurut Irfan, Pram sebenarnya sudah minta maaf kepada HAMKA. Meskipun tak pernah diucapkannya secara langsung namun diungkapkannya melalui “simbol” berupa kisah yang termaktub dalam buku Ayah.
Kisah itu bermula saat HAMKA didatangi sepasang tamu. Seorang perempuan dan seorang pria. Perempuan itu memperkenalkan dirinya sebagai Astuti. Sementara, pria yang membersamainya bertemu HAMKA bernama Daniel Setiawan.
Yang membuat HAMKA terkejut, perempuan yang mengunjungi rumahnya itu ternyata putri sulung Pram, sosok yang pernah berseteru dengannya.
Astuti lalu menyampaikan maksud kedatangannya. Ia menemani sang kekasih yang ingin masuk Islam. Ayahnya, Pramoedya, tak setuju jikalau Astuti menikahi pria yang beda keimanan dengannya.
Setelah Astuti menyampaikan maksudnya, tanpa ragu dan pertimbangan panjang, Hamka mengabulkan permohonan itu. Hamka kemudian langung membimbing calon menantu Pram tersebut membaca dua kalimat syahadat.
Hamka lalu menganjurkan Daniel untuk berkhitan dan membuat jadwal untuk belajar Islam dengannya. Dalam pertemuannya dengan Astuti, HAMKA tak sedikitpun menyinggung sikap bapaknya kepadanya belasan tahun silam.
“Benar-benar seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara keduanya” tulis Irfan dalam bukunya.
Hoedaifah Koeddah, seorang dokter yang dekat dengan Pram, dalam majalah Horison, pernah menanyakan alasan ini secara langsung kepada Pram.
Pram mengatakan, “Karena saya tidak mendidik anak saya, justru ibunya yang mendidik menjadi muslimah yang baik. Masalah perbedaan dengan HAMKA, tetap. Tapi di Indonesia, Buya HAMKA yang paling mantap membahas tauhid. Belajar Islam, ya belajar tauhid. Saya lebih mantap mengirim calon menantu saya belajar agama dan masuk Islam kepada HAMKA”.
HAMKA dan Pram boleh berbeda bahkan berkonflik tegang untuk urusan politik. Namun Islam lah yang berhasil mendamaikan keduanya.
Artikel ini diproduksi atas kerjasama antara IBTimes dan INFID dalam program Kampanye Narasi Islam Moderat kepada Generasi Milenial.