Pada dewasa ini sudah banyak yang membahas tentang perlunya sebuah pengembangan pemikiran tentang problematika studi Islam, yang mana masih terlalu prematur untuk dianggap selesai.
Peristiwa demi peristiwa selalu terjadi pada dunia muslim khususnya, baik dari aspek normatif-doktrinal dan maupun historis-empiris, yang mengingat kajian atas Islam selalu mengalami pembaruan yang signifikan.
Kesenjangan antara idealitas Islam, yang mana pada prinsipnya sebagai agama yang cinta akan perdamaian dan berkemajuan, dengan kenyataan kondisi realitas yang senantiasa berbanding terbalik, yakni dipenuhi dengan kemunduran, sebagai fakta kondisi yang mau tidak mau harus diselesaikan.
Membaca Kegelisahan dari Seorang Abu Rabi’
Dalam jurnal of Islamic Studies and Humanities, “Dari Ibrahim M. Abu Rabi’ tentang Problematika Studi Islam Kontemporer” oleh Hasan Mahfudh, bahwasanya Ibrahim Abu Rabi’ adalah seseorang yang dijuluki sebagai intelektual putra dua benua. Walaupun secara biologis, ia dilahirkan di Nazaret, Galilea, Palestina, pada tahun 1956.
Abu Rabi’ memegang kewarganegaraan ganda, yakni Israel dan Amerika Serikat. Ketertarikan Abu Rabi’ mempelajari Islam dari perspektif historis-empiris, merupakan sebuah pengungkapan kegelisahan Abu Rabi’ terkait kondisi Islam saat ini.
Tercatat paska Renaissance dan revolusi industri yang terjadi di Eropa dan Amerika, nyaris perkembangan sistem ekonomi, politik, dan sosial, begitu bergeliat, khususnya di dunia Barat.
Dunia Barat telah dijadikan sebuah pionir, bahkan prototipe di pelbagai belahan dunia, karena capaian yang menakjubkan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sehingga capaian kemajuan tersebut secara perlahan telah melakukan penetrasi dan penguasaan terhadap berbagai budaya, tanpa terkecuali budaya Islam.
Respon Umat Islam
Ada berbagai macam respon umat Islam yang jelas tidak sama, tetapi beragam dan bervariasi, ketika melihat dan dihadapkan dengan kejayaan Eropa. Di antaranya adalah:
Modernisasi
Sebuah respon umat Islam menjadikan sebuah pelopor modernisasi, yang mana para elit politik, birokrat, intelektual, serta ulama, dengan melakukan pengadopsian westernisasi dan sekulerisasi.
Nasionalisme
Sebuah ide dan semangat yang dikobarkan, sebagai bentuk respon atau tanggapan sulitnya dunia muslim menghadapi tantangan dan perkembangan bangsa Eropa.
Bahkan Abu Rabi’ tengah menegaskan bahwa dengan semangat nasionalisme itulah adanya sebuah semangat bangsa-bangsanya melawan penjajah, meskipun pada fakta mereka tidak memakai jargon-jargon agama dalam pidato dan orasi kebangsaan.
Revivalisme Islam
Dua kata kunci revivalisme Islam adalah ihya’ (mengidupkan) dan tajdid (pembaruan). Sebuah stagnasi dalam dunia peradaban Islam itu sendiri, disebabkan karena umat Islam tidak mau berpegang teguh dengan ajaran Islam. Islam bukanlah sebuah masalah, malahan Islam adalah sebuah solusi.
Ketika menelisik tentang gejala-gejala dalam percaturan dunia global, dari awal hingga kini. Apakah kebangkitan Islam bersifat doktrinal, filosofis, atau historis-politis? Menjadi sebuah problematika apabila sekelompok elemen tidak mampu memosisikan dan membedakan ranah kebangkitan Islam.
Ide pembaruan dan pemikiran Islam terletak pada kunci I’adatul Islam, yakni keinginan masyarakat muslim untuk mengembalikan peran dunia Islam dalam percaturan global peradaban dunia.
Sehingga istilah “baldatun thayyibatun warabbun ghafur” adalah keniscayaan yang nyata. Sehinga ketertinggalan umat Islam bukanlah suatu hal imajiner, tetapi merupakan fakta yang sampai saat ini harus diselesaikan.
Krisis Perspektif dan Metodologi dalam Studi Islam
Melihat perkembangan Islam, tampaknya diperlukan adanya suatu solusi distingsi antara Islam dan pemikiran Islam, atau studi Islam itu sendiri. Sebagaimana Abu Rabi’ merujuk pada pendapat Ibnu Khaldun, bahwa studi Islam berbeda dengan Islam.
Sebagaimana Islam merujuk pada wahyu Allah yang kekal dan suci, sehingga tidak ada yang boleh dan mampu merubahnya. Sedang studi Islam merujuk pada seluruh perkembangan ilmu pengetahuan muslim.
Dalam artian bahwa studi Islam selalu terbuka, berubah (qabi li altaghyir), dan selalu siap untuk dikritisi serta dikembangkan. Sehingga pemikiran atau studi Islam sangat dipengaruhi oleh tingkat kemajuan peradaban manusia itu sendiri.
Secara singkatnya, Abu Rabi’ memandang studi Islam saat ini begitu memprihatinkan dan dalam keadaan krisis.
Pembahasan yang digunakan masih bersifat dan terkesan sangat dikotomis, yang terpaku pada teks, yang begitu usang (expired), bahkan buruk (ugly) dengan masalah-masalah kekinian, dan isu-isu kontemporer.
Sehingga, tampak sebuah gejala ketertinggalan yang begitu jauh dalam dunia Islam kini, yakni bukan Islam yang menjadi sebuah masalah, bahkan Islam-lah yang menjadi sebuah solusi.
Tinggal bagaimana umat Islam bisa meningkatkan kemajuan peradaban manusia, sehingga dapat memposisikan Islam pada abad kontemporer.
Editor: Zahra