Buku berjudul Kronik Pedalaman: Perdikan, Islam dan Akhir Majapahit ini seakan mengajak pembacanya untuk berpetualang di tengah-tengah transisi antara masa Majapahit dan Islam.
Namun, Misbahus Surur—penulis buku ini—tidak menyuguhkan peristiwa politik dan intrik antar kedua masa tersebut, melainkan bagaimana kebudayaan-kebudayaan pada skala masyarakat desa, yang erat dengan kehidupan desa-desa dewasa ini.
Term ‘pedalaman’ sendiri tidaklah merujuk pada budaya primitif, melainkan untuk menyebutkan budaya-budaya Mataraman dan corak kehidupan agraris, untuk membedakan dengan corak kehidupan maritim (pesisir).
Buku ini dibagi menjadi dua bagian besar. Bagian pertama yaitu bertajuk Sejarah dan Geopolitik Desa; dan bagian kedua bertajuk Sejarah Lokal, yang mengulas kebudayaan-kebudayaan yang ada di beberapa desa dan kecamatan tempat tinggal penulis, yaitu Trenggalek.
Misbahus Surur menguraikan bahwa konsep desa—masyarakat yang terkonfigurasi dalam wilayah teritori—sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu-Budha dengan sebutan wanua.
Wanua memiliki pemimpin yang disebut rama/karaman (lurah) dan penduduk desa disebut dengan anak wanua. Wanua-wanua tersebut membentuk konfigurasi antar wanua yang disebut dengan watak (kecamatan). Watak-watak tersebut masing-masing dipimpin oleh rakaryan/pamgat (camat).
Tanah Bebas Pajak dan Interaksi Islam dengan Budaya Lokal
Pada zaman Hindu-Budha, wilayah setingkat desa sudahlah ada yang disebut wanua. Wanua adalah sebutan desa yang memiliki dua kewajiban yang harus disetorkan kepada kerajaan, yaitu wajib pajak (drawya haji) dan wajib kerja (buat haji). Wajib pajak dan wajib kerja tersebut disetorkan kepada rama dan diteruskan kepada raja untuk dialokasikan pada wilayah yang membutuhkan pembangunan.
Kemudian juga ada desa khusus yang terbebas dari wajib pajak dan wajib kerja, desa tersebut dinamakan sima. Sebagai gantinya, wajib pajak dan wajib kerja di desa sima dialokasikan untuk kemakmuran desa itu sendiri. Sehingga bisa dikatakan sima adalah desa otonom.
Wanua bisa beralih status menjadi sima apabila telah memenuhi beberapa sebab, di antaranya desa tersebut telah memiliki jasa terhadap raja atau memiliki bangunan suci keagamaan. Status sima dibuktikan dengan adanya prasasti atau lempengan besi yang terdapat cap dari pemerintahan yang berkuasa.
Masuknya Islam di Nusantara tidak serta merta menghapuskan sistem status bebas pajak tersebut, melainkan diadopsi dengan sebutan perdikan. Perdikan adalah status bebas pajak yang sama dengan sima, tapi lebih merujuk pada konteks Islam.
Di mana syarat perdikan di antaranya adalah terdapat makam tua/ulama, langgar/masjid, dan pesantren. Bahkan, perdikan boleh jadi merupakan embrio beberapa pesantren tua di Indonesia, karena pendidikan agama pada zaman dahulu masih berbasis ‘pendidikan serambi’ masjid yang notabene ada di desa-desa perdikan, mengingat zaman dahulu masjid masihlah menjadi bangunan langka di daerah-daerah.
Konsep perdikan ini merupakan sarana dakwah yang bisa diterima di masyarakat pedalaman. Di mana Islam mampu mengadaptasi bentuk yang sudah ada, dan masyarakat lokal tidak merasa tercerabut dari akar kebudayaannya.
Konsep Ruang Sakral
Masyarakat Jawa erat memegang kepercayaan terhadap ruang-ruang sakral dalam wilayah tertentu, seperti di desa atau wilayah yang lebih luas lagi. Ruang sakral tersebut yang kemudian menjadi tempat ritual, ibadah bahkan mencari legitimasi kekuasaan. Sebagaimana raja-raja terdahulu, bilamana ingin naik tahta atau melakukan pemberontakan, terlebih dahulu menepi di gunung atau tempat-tempat yang dianggap suci, wingit dan keramat.
Setelah Islam masuk, konsep ruang sakral di-afirmasi dengan mengganti ruang sakral ke Mekah, sebagai kiblat umat Islam. Bahkan, Raja Banten pernah mengirimkan utusannya ke Mekah untuk mendapatkan pengakuan atas gelar sultan. Padahal di Mekah tidak ada lembaga atau otoritas tertentu yang mengesahkan gelar ‘sultan’.
Hal itu juga masih ditemui pada zaman kolonial, di mana para reformis Islam di Indonesia lebih ditakuti gerakannya setelah mereka pulang menunaikan ibadah haji. Sampai-sampai, mereka yang sudah menunaikan ibadah haji ditandai dengan gelar ‘haji’ oleh penguasa kolonial agar lebih diwaspadai gerakannya.
Sekulerisasi Desa dan Perlawanan Kiai-Petani
Pasca Perang Jawa, banyak pasukan Diponegoro yang melarikan diri ke arah timur yang kemudian mendirikan desa-desa baru. Hal itu yang kemudian menumbuhsuburkan keberadaan desa-desa perdikan berbagai daerah. Namun, pada saat yang hampir sama, atas ketakutan penguasa kolonial dengan perlawanan pribumi yang diinisiasi para kiai, maka dipisahkanlah peran kiai di ranah desa.
Kiai didomestikasi hanya sebagai fungsionaris agama belaka, menjadi guru dan imam masjid, padahal sebelumnya kiai-lah yang menjadi pioner penggerak massa. Sedang para perangkat desa dirangkul oleh penguasa kolonial. Hal itu yang kemudian menjadikan jarak antara priyayi dengan kiai. Hal itu juga yang menjadikan jarak antara priyayi dengan wong cilik (dalam hal ini adalah petani) yang padahal sebelumnya mereka berada pada satu kesatuan basis perlawanan di desa.
Atas keterpecahan itu yang kemudian membangkitkan resistensi kiai-santri dengan masyarakat petani untuk melawan kolonial Belanda. Maka tak heran kemudian muncul pemberontakan kaum petani sebagaimana yang dituliskan Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888.
Secara keseluruhan buku ini, sebagimana judulnya, berusaha menampilkan fragmen-fragmen sejarah ‘yang tak jauh dari kita’ dalam sebuah kronik peristiwa. Terlebih buku ini menampilkan bagaimana interaksi Islam di pedalaman yang lebih empatik terhadap budaya lokal, dan mentolerir tradisi lokal menjadi tradisi yang baru dalam Islam. Kepiawaian Misbahus Surur merangkai fragmen-fragmen peristiwa yang berbeda dalam suatu kronik menjadikan keunikan tersendiri pada buku ini.
Judul: Kronik Pedalaman: Perdikan Islam dan Akhir Majapahit.
Penulis: Misbahus Surur.
Penerbit: Interlude.
Jumlah Hlm.: xiv + 222 hlm.
Tahun Terbit: 2020.
Editor: Yahya FR