Gerakan baru keagamaan bisa ditipologikan berdasarkan hakikat ajarannya, kecenderungan pemahamannya, maupun ekspresi keagamaannya. Baik yang memiliki anggota kelompok yang banyak, cukup banyak, maupun yang sedikit.
Gerakan tersebut bisa dikategorikan sebagai gerakan atau ajaran sesat. Tipologi kedua ditilik dari sisi ekspresi keagamaan yang cenderung keras. Tipologi ketiga dari gerakan baru keagamaan ditilik dari aspek kecenderungan pemahaman keagamaan.
Menempatkan ajaran agama dalam bentuknya yang kontekstual dalam dinamika perubahan sosial adalah suatu hal yang harus dilakukan terus menerus. Sebab, agama pada dasarnya harus terus menemukan maknanya sepanjang zaman dan untuk menemukan makna yang berguna pada perubahan sosial itu, maka penafsiran ulang dan penyegaran pemahaman keagamaan mutlak dilakukan.
Polarisasi Paham KeIslaman
Terlebih lagi, pada dasarnya sebuah teks tidak bisa terlepas dari konteks sosial dan sejarah yang melingkupinya. Dalam konteks keindonesiaan dewasa ini, wacana tentang pemahaman terhadap Islam mengalami polarisasi-polarisasi tertentu. Namun, setidaknya terdapat dua pola yang terlihat dalam posisi berhadapan dan saling tarik menarik.
Pola pertama, mengetengahkan akan sisi Islam yang plural dan hampir dapat dikatakan melihat berbagai dimensi keagamaan dengan perspektif relatifitas atau dengan istilah populer Islam liberal.
Sementara pola kedua, sangat terkungkung dengan teks-teks keagamaan dan mendakwakan bahwa semata-semata taat terhadap teks masih berada pada jalan yang benar atau Islam fundamental. Kendati tidak untuk terjebak dalam pendefinisian kedua poros tersebut, tapi setidaknya dari kecenderungan-kecenderungan realitas dalam pemahaman keduanya.
Dalam konteks lain, dua gerakan keagamaan yang lebih menonjolkan aspek fundamentalistiknya dari sisi kecenderungan pemahaman dan praktik keagamaannya, yakni Hizbut Tahrir indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Iindonesia (MMI). Tentu tidak bisa dikatakan sebagai gerakan baru keagamaan yang menyimpang dari frame ideologi keagamaan mainstream.
Kedua pemahaman tersebut, sudah benar-benar dilarang di negara Indonesia. Hanya saja, dapat dinyatakan bahwa konstruksi ideologi dua keagamaan ini berbeda dari gerakan Islam mainstream di Indonesia, seperti NU dan Muhammadiyah. Perbedaan itu tampak sangat mencolok terutama pada persoalan konstruksi epistemologi berupa bagaimana kelompok ini memandang dan memperlakukan teks-teks keagamaan.
Jika NU dan Muhamadiyah menggunakan metode dan corak tafsir dengan pendekatan yang demikian beragam, baik yang berkarakter salaf maupun khalaf, bahkan juga pendekatan yang banyak digunakan oleh para ilmuwan barat, maka kedua kelompok fundamentalisme ini menghindari penggunaan tafsir dengan metode apapun.
Jikalaupun mereka menerima tafsir, maka penerimaannya itu sangat dibatasi pada pemahaman dan interpretasi yang telah dilakukan oleh para ulama salaf. Oleh karena itu, menjadi benar jika dinyatakan bahwa kelompok fundamentalisme ini cenderung skripturalis (bersifat tekstual atau mendasarkan paham keagamaan pada teks-teks).
Maksud Fundamentalisme Islam
Fundamentalisme berasal dari bahasa Inggris yang berarti pokok, asas, fundamentil. Dalam kamus bahasa Indonesia, fundamentalisme berasal dari kata fundamen yang artinya fondasi, dasar, asas, dan hakikat.
Jadi, fundamentalisme Islam dalam pengertian dasarnya ialah sikap dan pandangan yang berpegang teguh pada hal-hal yang dasar dan pokok (ushuliyah) dalam Islam. Dalam pengertian lebih lanjut, fundamentalisme Islam merupakan sebuah aliran, gerakan ataupun paham yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar atau asas.
Oleh karena itu, pengikut paham ini seringkali berbenturan dengan kelompok lain karena menganggap diri sendiri lebih murni daripada kelompok lainnya yang iman atau ajarannya telah terkontaminasi.
Sejarah Fundamentalisme Islam
Istilah fundamentalisme pertama kalinya digunakan oleh kelompok-kelompok penganut agama Kristen di Amerika serikat untuk menamai aliran pemikiran keagamaan yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan literalis (harfiah).
Dalam konteks ini, fundamnetalisme pada umumnya dianggap sebagai reaksi terhadap modernisme. Reaksi ini bermula dari anggapan bahwa modernisme yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara elastis dan fleksibel untuk menyesuaikannya dengan berbagai kemajuan di zaman modern, akhirnya justru membawa agama ke posisi yang semakin terdesak ke pinggiran.
Kaum fundamentalis menuduh kaum modernis sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap terjadinya proses sekularisme secara besar-besaran. Di mana, peranan agama akhirnya semakin cenderung terkesampingkan dan digantikan oleh peranan sains dan teknologi modern.
Kecenderungan untuk menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid dan literalis seperti dilakukan oleh kaum fundamentalis Protestan itu, ternyata ditemukan juga di kalangan penganut-penganut agama lain di abad kedua puluhan.
Karena itu, tidaklah mengherankan jika para sarjana orientalis Barat kemudian menyebut kecenderungan serupa di kalangan masyarakat muslim, sebagai “fundamentalisme Islam”.
Jika dihubungkan dengan fakta-fakta sejarah, memang dapat dijumpai adanya kelompok-kelompok dalam Islam yang berpandangan demikian, walaupun tidak sepenuhnya muncul sebagai reaksi terhadap modernisme. Melainkan, juga karena latar belakang politik, teologi, dan lain sebagainya.
***
Dalam bidang teologi misalnya, dijumpai aliran Khawarij. Kelompok ini muncul sebagai reaksi terhadap sikap Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah serta para pendukung yang bertikai yang mengambil jalan penyelesaian dengan cara arbitrase (damai), yang berakhir dengan kemenangan pada pihak Muawiyah. Sikap ini tidak dapat diterima oleh sekelompok orang yang kemudian dikenal sebagai kaum Khawarij. Kelompok ini kemudian menuduh orang-orang yang terlibat dalam arbitrase sebagai golongan yang telah kafir (keluar dari agama Islam).
Kemudian pada tahun 1928, di Kairo muncul suatu organisasi yang dikenal dengan nama Ikhwanul Muslimin. Organisasi yang didirikan oleh Hasan al-Banna dan memiliki ciri-ciri Islam Fundamentalis ini memusatkan perhatiannya kepada kegiatan-kegiatan reformasi moral dan sosial.
Proyek-proyek pendidikan dan kesejahteraan sosialnya mendapat sambutan dan dukungan dari masyarakat luas. Dari contoh kasus Khawarij dan Ikhwanul Muslimin yang memiliki ciri-ciri fundamentalis tersebut, dapat diketahui bahwa latar belakang timbulnya fundamentalisme Islam juga karena perbedaan pandangan dalam bidang teologi, politik, dan hukum.
Maka, tidaklah heran ketika ada sebagian masyarakat Islam yang kecewa terhadap keputusan politik atau pun hokum. Sebagian masyarakat tersebut seringkali melakukan hal-hal yang bisa merisaukan negara dan stabilitas nasional. Mereka secara langsung bisa dikategorikan sebagai bagian daripada Fundamentalisme Islam. Padahal kalau melihat secara jernih dan dengan pikiran sehat, faktor dan penyebab lahirnya fundamentalisme Islam bisa diuraikan sebagai berikut.
- Faktor modernisasi yang dirasakan dapat menggeser nilai-nilai agama dan pelaksanaannya dalam kehidupan.
- Pandangan dan sikap politik yang tidak sejalan dengan pandangan dan sikap politik yang dianut penguasa.
- Ketidakpuasan mereka terhadap kondisi sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya yang berlangsung di masyarakat.
- Faktor sifat dan karakter ajaran Islam yang dianutnya yang cenderung bersikap rigid (kaku) dan literalis.
Semoga saja indikasi gerakan fundamentalisme Islam di Indonesia tidak benar-benar subur terjadi. Karena apabila terjadi, akan menjadi bias dalam pandangan orang-orang yang memang alergi terhadap gerakan Islam (harakah Islamiyah) karena hakikatnya Islam diturunkan ke bumi merupakan rahmatan lil ‘alamiin.