Tarikh

Kisah Wujil dan Sunan Wahdat: Piwulang Sunan Wahdat

5 Mins read

Sangkan Paraning Dumadi

Ratu Wahdat berkata lagi: “Wahai Wujil, anakku, aku mengerti keresahanmu. Aku akan memberimu piwulang tersendiri, jika itu bisa menentramkanmu.”

“Hamba haturkan selaksa rasa terima kasih, Gurunda. Hulun siap menerima perintah,” sambut Wujil seraya menyembah dengan muka berseri.

“Temuilah aku di pemujaanku di Benang lusa. Menjelang mahrib datanglah dan buatlah perapian!” Pinta Sunan Wahdat sambil bangun dari duduknya.

“Sahaya, Tuanku! Hamba siap laksanakan”, jawab Wujil seraya menghaturkan Sang Guru kembali ke persemadiaannya.

Waktu dua hari terasa panjang bagi Wujil. Ia sudah tidak sabar untuk segera bertemu Seh Wahdat kembali.

Pagi-pagi pada hari yang ditentukan, ia telah bersiap-siap. Benang ada di Barat Tuban sehingga ia bergegas untuk kesana dengan berjalan kaki. Suasana Pantai Utara yang panas dan kering tidak menyurutkan tekadnya.

Sesampai di tempat, matahari sudah condong ke Barat. Wujil mengumpulkan ranting dan kayu kering di sekitar pemujaan. Hanya beberapa puluh meter, ombak pantai berdeburan memukul karang dan bebatuan.

Pantai itu menurut berita yang beredar sering membawa perahu dan kapal asing. Bahkan pasukan Mongol yang hendak menghukum Kertanegara pun terdampar di Benang sehingga mereka harus berjalan ke Timur sampai ke hilir sungai Brantas.

***

Sambil menunggu Sang Guru, Wujil naik ke pemujaan di atas bukit. Ia menyiapkan perapian di dekat bangunan kecil yang berada di sana. Sang Guru terkadang menyepi untuk bertafakkur dan beribadah di situ tanpa bisa diganggu.

Konon, ketika ada putri dari seberang ingin menemui pun, Sunan Wahdat tidak beranjak dari pemujaannya laiknya cerita Jureh yang tenggelam dalam ibadah  tanpa mendengar ibunya berkunjung.

Wujil menyiapkan perapian saat senja turun dan langit menjadi temaram. Sang Guru datang dan duduk di batu besar.

“Kemarilah Wujil,” seru Sunan Wahdat. Setelah Wujil duduk tepat di hadapannya, Sunan Wahdat lalu membelai kepala Wujil seperti seorang ayah.

“Dengarkanlah petunjukku, Oh Anakku! Aku akan bertanggung jawab atas apa yang aku ajarkan” ujar Sunan Wahdat.

“Mohon maaf Gurunda, hamba pun siap menanggung segala resiko. Tiada hamba akan membebani Paduka atas apa yang menjadi kehendak hamba pula.” Wujil menunjukkan rasa hormat pada gurunya.

Sunan Wahdat pun tersenyum. Sambil menghela nafas, ia melayangkan pandangan ke laut di bawah sana. Angin hangat dari Samudera terasa membelai kulit dan membuat api unggun meliuk-liuk bagaikan menari.

Baca Juga  Para Penentang Kiai Dahlan ini Akhirnya Menjadi Pengikut Setia
***

Sunan Wahdat lalu kembali memegang kepala Wujil. “Berhati-hatilah terhadap segala tindakanmu, Wujil. Jangan mengambil jalan bodoh dengan menganggap dirimu sebagai Yang Sejati. Sang Tunggal Sejati bukanlah engkau dan engkau bukalah Dia. Itulah sebabnya para bijak masa lalu mengatakan: Barangsiapa mengenali dirinya sendiri, maka ia akan mengenali Tuhannya.”

Suara Seh Wahdat seolah hinggap dengan halus ke telinga Wujil bersama angin. Wujil terasa lepas dari apapun dan menerima wejangan itu dengan khidmat.

 “Sebaik-baik cara untuk menghadap pada-Nya adalah dengan shalat dan berzikir. Sebaik-baik shalat adalah shalat isya, sebagai bunga dari shalat langgeng dan akhlak pada-Nya,” Sunan Wahdat melanjutkan.

“Agar shalatmu benar, kenalilah siapa yang engkau sembah. Agar benar zikirmu, benarkan tujuannya. Ibadah yang tidak benar tujuannya akan sia-sia. Ibarat akan melempar buah di pohon, tanpa kau bidik dan pastikan mana buah yang kau lempar, maka lemparanmu akan melayang tidak berarah dan tidak mengenai buah itu.”

Suara Seh Wahdat terasa seperti lagu merdu pada malam hari. Bersama bunyi retakan kayu terbakar dan nada serangga yang bersahutan, ucapan Ratu Wahdat turun naik bagai angin menelusuri punggung dan dasar perbukitan.

“Sadarilah Wujil, keluar masuknya nafas saat berzikir. Apa yang keluar dan masuk pernafasan itu melambangkan empat anasir alam dan juga sifat-sifat Tuhan. Pahamilah dengan hati-hati!” Nasehat Sang Guru.

“Tanah, api, angin dan tanah itulah pembentuk wadagmu. Keempatnya melambangkan kuasa (Qahhar), keagungan (Jalal), keindahan (Jamal) dan kesempurnaan (Kamal) Tuhan.”

***

Empat elemen itu bukan hal asing bagi Wujil. Tetapi kini, maknanya menjadi sedikit berbeda dari apa yang dahulu pernah ia pelajari. Terlebih keempat anasir itu memiliki padanan sifat-sifat Tuhan. Sungguh menarik, bagi  Wujil. Meski arti bahasa Arabnya sedikit banyak tahu, ia tidak mengira sedemikian dalam maknanya.

“Darimana semua itu berasal dan mana titik akhirnya, Wujil?!” Tanya Seh Wahdat sambil menyelidik wajah Wujil dengan tajam.

Wujil tergapap karena pikirannya antara faham dan tidak faham ucapan Seh Wahdat. Benak Wujil sedang meraba-raba makna empat anasir sebagai pembentuk wadag dan empat sifat Tuhan sebagai kekuatan Yang menjenjangi pertumbuhan jiwa dan rohnya.

Baca Juga  Mengambil Hikmah dari Pernikahan Rasulullah

Ia sadar Sang Sunan sedang menuntunnya untuk mengenal diri dan Tuhannya, mengenal si penyembah dan Yang Disembah, sebagai dasar ajaran sangkan paraning dumadi  (asal dan tujuan ciptaan).

“Wahai anakku Wujil!” Seh Wahdat berseru rendah.

“Tubuhmu bagaikan sangkar, maka kenalilah burung yang ada di dalamnya. Kenalilah ia dengan membersihkan diri, menjauhi keramaian duna. Temukanlah ia dalam dirimu dengan tajam mata hati dan keheningan wajah. Jangan teralihkan pandanganmu pada perbuatan yang merusak, tapi luaskan ruang hatimu hingga menemukan Tuhan. Hanya dengan mengenal-Nya, engkau dapat memuji dan menyembah-Nya. Dengan itu, engkau akan mendapat anugerah yang tiada tara.”

Setelah menyampaikan wejangan panjang dan berat itu, Sunan Wahdat tiba-tiba berdiri. Ia lalu masuk ke dalam bangunan kecil di sebelah, meninggalkan Wujil yang masih termenung di dekat perapian. Sunan Wahdat memulai shalatnya dengan tenang seolah tiada ada yang lain di sisinya. Tidak pula Wujil!

Piwulang tentang Manembah

Lepas tengah malam, Sunan Wahdat memanggil Wujil untuk masuk bersamanya. Wujil yang terkantuk-kantuk pun tergeragap. Sambil berusaha memicingkan mata, ia segera penuhi panggilan Sang Guru. Sambil menunduk Wujil masuk dan duduk di depan Seh Wahdat.

“Ampun Paduka, hamba siap menerima perintah,” ujar Wujil.

“Sudahkah kau memahami apa yang aku sampaikan tadi Wujil?” Tanya Sunan Wahdat, yang masih tampak berzikir lirih.

“Sahaya Paduka. Meski belum dikata penuh kesadaran hamba, setidaknya hamba mulai mengerti tentang sangkan paraning dumadi ,” Wujil menjawab dengan suara rendah seolah ragu akan jawabannya sendiri.

Sunan Wahdat mengangguk. “Ibarat makanan, engkau harus benar-benar mengunyahnya, Anakku! Baiklah, kita perjelas perkataan orang bijak mengenai mengenal diri dan Tuhan.” Seh Wahdat pun menata kembali duduknya.

“Wujil, saat kau mengenali dirimu, maka nafsumu menjadi jinak, tidak mudah menempuh jalan salah. Mengenali diri yang membawa pengenalan pada-Nya akan membuatmu lebih berhati-hati dalam berbicara dan melihat paparan dunia. Tuhan itu Maha Suci dan mencinta hamba yang mensucikan diri.” Sunan Wahdat berhenti sejenak untuk menarik nafas dalam.

“Oleh karena itu, Wahai Wujil, kendalikanlah nafsumu dengan sungguh-sungguh dan dengan keyakinan. Mengendalikan nafsu itu laksana memotong seruas bambu. Tidaklah sulit bagi murid yang bertetap hati untuk mengenal-Nya. Meski tiada tampak dan tiada berbentuk, Dia benar-benar wujud dalam keagungan dan kebenaran bagi orang yang waskita.”

Baca Juga  Tiga Pilar Emas Turki Utsmani

Satu persatu ucapan Sunan Wahdat meluncur merdu. Oh, sungguh elok gambaran itu bagi Wujil yang mencoba untuk mencerap kedalamannya.

***

“Dia tidak berbentuk sehingga tiada tampak bagi orang yang tidak mengenal-Nya. Bagi manusia utama, Dia tiada bertempat, namun saat mencapai akhir pencaharian, Dia benar-benar Nyata dan Agung, sehingga terbayang wujud sebenarnya.” Sunan Wahdat berbicara dengan mata tertutup. Ia seperti sedang hanyut dalam alam batinnya sendiri.

“Oang yang hanya terpaku pada gerakan, akan sulit untuk menyaksikan-Nya.” Sunan Wahdat melanjutkan Wejangannya.

“Sia-sia belaka pembicaraan orang yang belum menemukan rahasia tentang-Nya. Hati orang yang mengenal-Nya akan tercermin dalam sorot matanya. Membicarakan-Nya tanpa mengenali-Nya hanyalah suara hampa, seperti teriakan burung beo. Atau seperti pandangan orang buta. Tanpa petunjuk-Nya, bagaimana kau mengenal dirimu sendiri, Anakku?!”

Seraya mendehem rendah, Sunan Wahdat membicarakan tentang shalat. “Barangsiapa yang arah sembahyangnya tepat dan terus menerus, ia akan mendapatkan shalat yang utama. Shalat demikian senilai shalat 60 tahun, menurut para shalihin. Orang yang shalat dengan tetap akan mencapai kebebasan sehingga tidak terikat dengan waktu. Adapun shalat di masjid adalah satu ungkapan belaka dari pencapaian itu.”

Sampai menjelang subuh Sunan Wahdat memberikan pembabaran tentang hakekat memuja dan shalat. Wujil merasa menjadi orang yang bodoh setelah mendengar paparan Sunan Wahdat. Ia tampak benar-benar masih terliputi syirik karena apa yang ia lakukan selama ini belum berlandas kemauan murni untuk mendekat pada-Nya. Ia masih memandang kepandaiannyalah yang penting. Karena berpegang kata-kata sendiri, berbantah mulut dengan teman lain, bahkan di masjid, maka masih menuhankan pendapatnya sendiri. Apa yang dilakukan kemudian hanya bermain rebana dan bisa saling melempar alat musik.

Saat subuh tiba, Wujil bersembahyang bersama Sang Guru. Tiba-tiba, ia merasa melayang dan melihat betapa kacau ibadahnya selama ini. Benarlah kata Sang Guru, selama ini ia tidak mampu mencicipi buah iman karena tidak mengenal siapa yang ia imani. Ia belum mengenal dirinya sendiri, apalagi Tuhannya.

Related posts
Tarikh

Ahli Dzimmah: Kelompok Non-Muslim yang Mendapat Perlindungan di Masa Khalifah Umar bin Khattab

2 Mins read
Pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab, Islam mengalami kejayaan yang berkilau. Khalifah Umar memainkan peran penting dalam proses memperluas penyebaran Islam….
Tarikh

Memahami Asal Usul Sholat dalam Islam

5 Mins read
Menyambut Isra Mi’raj bulan ini, saya sempatkan menulis sejarah singkat sholat dalam Islam, khususnya dari bacaan kitab Tarikh Al-Sholat fi Al-Islam, karya…
Tarikh

Menelusuri Dinamika Sastra dalam Sejarah Islam

3 Mins read
Dinamika sastra dalam sejarah Islam memang harus diakui telah memberikan inspirasi di kalangan pemikir, seniman, maupun ulama’. Estetika dari setiap karya pun,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *