Kalam

Islam Liberal dan Islam Literal: Benci, tapi Rindu

4 Mins read

Islam Liberal dan Literal yang Saling Berhadapan

Dalam sejarah dunia pemikiran Islam, kata liberal sering dihadapkan dengan kata literal. Pengutuban dua pola pemikiran yang saling berlawanan ini sebetulnya telah berlangsung seiring lahirnya Islam itu sendiri.

Walaupun, terminologi liberal dan literal sebagaimana kita pahami sekarang belum muncul dan belum ada derivasinya pada masa-masa awal kemunculan Islam.

Pada masa Rasulullah masih hidup, pengutuban dua pola pemikiran yang berkembang dikenal dengan istilah ­ahl ar-ra’y ­dan ahl al-hadits. Demikian pula pada masa sahabat dan tabi’in, term ahl ar-ra’y dan ahl al-hadits kian mengemuka dan menemukan momentumnya di era Imam mazhab pada abad ke-2 Hijriyah.

Pada fase sahabat dan tabi’in, sistem istinbath hukum belum memiliki kerangka metodologi sistemik dalam bentuk kodifikasi yang mapan. Karena itu, produk istinbath yang dilakukan para mujtahid kala itu tidak dapat dilestarikan oleh generasi berikutnya dengan menggunakan pendekatan metodologi yang sama.

Baru pada era imam mazhab (Abu Hanifah bin Tsabit, Malik bin Anas, asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal) terformulasikan parameter dalil dan kategori qiyas shahih dan bathil.

Pada era ini, semangat produktivitas ijtihad dilandaskan pada metodologi tertentu yang terkodifikasi secara utuh dan sistematik. Faktor yang membuat produk istinbath mereka dengan mudah dapat dikaji di mana saja serta mampu menjelajah wilayah belahan dunia sampai sekarang.

Fikih yang Tak Terpikirkan Kembali

Metodologi berpikir yang terbangun pada era tersebut dilatarbelakangi oleh sukarnya perdebatan pemikiran agama antara kubu ahl ar-ra’y dan ahl al-hadits. Semula, sengitnya perdebatan yang mengemuka sulit dirujuk dengan menggunakan parameter tertentu.

Melihat kenyataan seperti ini, maka asy-Syafi’i merasa tergugah untuk merumuskan kaidah-kaidah berpikir sistematik yang kemudian lazim disebut dengan disiplin ilmu ushul fiqh.

Pasca lahirnya disiplin ilmu ini, perdebatan yang terjadi relatif bisa dikendalikan lantaran sudah memiliki mekanisme istinbath hukum yang sangat ilmiah dan akademis. Dalam karya Membaca Al-Qur’an Bersama Mohammed Arkoun dijelaskan bahwa, Arkoun menengarai dalam urusan wilayah pemikiran agama yang awalnya thinkable (bisa terpikirkan) kemudian pasca era Asy-Syafi’i dengan ilmu ushul fiqh-nya menjadi unthinkable (tidak terpikirkan).

Baca Juga  Pemikiran Ibn Bajjah 3: Spirit dalam Pembentukan Perilaku Manusia

Penyebab Kejumudan Agama

Setelah era kelahiran ushul fiqh, pemikiran yurispudensi Islam memang relatif mengalami problematik. Bahkan, pada era tertentu di abad pertengahan, terdapat pemasungan fungsi ushul fiqh yang kemudian bermuara pada penutupan pintu ijtihad.

Namun demikian,masa yang dikenal dengan era taqlid buta ini tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh faktor intern menyangkut epistemologi ilmu yurispudensi Islam. Sebaliknya, terdapat sejumlah faktor eksternal yang melatari kejumudan pemikiran agama saat itu.

Jurnal karya Adibah Abdul Rahim dan Anita Abdul Rahim berjudul A Study on Muhammad Iqbal’s Framework of Ijtihad (Kajian Terhadap Prinsip Ijtihad Menurut Muhammad Iqbal Muhammad Iqbal) memberikan satu kejelasan bahwa, Muhammad Iqbal menengarai ada tiga faktor penyebab pemasungan fungsi nalar ijtihad ketika itu, yakni:

Pertama, merebaknya penafsiran longgar yang dikembangkan oleh paham rasionalisme. Kalangan rasionalis dinilai telah mengundang sikap antipati kelompok pemikir Islam lain dengan melakukan penafsiran longgar terhadap agama.

Tak hanya itu, isu rasionalisasi yang mereka kembangkan dinilai lepas begitu saja dari konteks sejarah sehingga menimbulkan perlawanan pihak konservatif. Sebagai dampaknya, para ulama saat itu lalu khawatir wilayah ijtihad dimasuki mereka yang tak cukup memiliki kompetensi melakukannya.

Sebagai langkah preventif, mereka kemudian memberikan kriteria persyaratan super ketat bagi seorang mujtahid. Kondisi seperti inilah yang kemudian mengesankan pintu ijtihad sudah ditutup.

***

Kedua, asketisisme atau tren hidup bertapa (kontemplasi) yang melanda dunia tasawuf menyebabkan suburnya penafsiran eskapisme yang cenderung mengabaikan dimensi alam nyata. Pada gilirannya, kecenderungan seperti ini mereduksi diskursus intelektual dan nalar ijtihad. Prakondisi seperti ini lalu memunculkan kecenderungan menutup kran berpikir untuk mengembangkan wacana agama ke arah yang lebih kreatif dan dinamis.

Baca Juga  Love Language ala Muhammadiyah

Ketiga, pembumi hangusan Baghdad, kota seribu satu malam, oleh tentara Mongol dari Asia tengah. Tragedi berdarah yang terjadi pada abad ke-13 M. Ini bukan saja melumpuhkan pusat kebudayaan Islam tetapi juga berdampak pada melemahnya kesatuan umat. Lalu untuk merajut kembali kesatuan pandangan umat Islam saat itu, para juris Islam lebih memilihmenutup pintu ijtihad untuk menghindari munculnya keragaman pendapat.

Dengan kata lain, kondisi tidak menentu saat itu amat kurang kondusif bagi pengembangan intelektual yang syarat perdebatan dan perdebatan pendapat. Lalu dibuatlah formula persyaratan berlebihan yang mengesankan seolah ijtihad merupakan sebuah kegiatan sakral yang tak dapat tersentuh oleh generasi manapun.

Islam Liberal Vs Islam Literal

Jika pada kurun awal hingga abad pertengahan, perdebatan pemikiran agama berkisar pada hasil istinbath hukum dengan setting pengutuban ahl ar-ra’y dan ahl al-hadits,  maka pada periode modern ini tidak lagi demikian format perdebatannya.

Hal ini seiring dengan perubahan gejala alam yang terjadi sesuai tingkat perkembangan masyarakat. Isu keagamaan yang muncul dua abad terakhir ini tidaklah sama dengan apa yang pernah diperdebatkan oleh pendahulu-pendahulu dulu.

Seperti halnya yang sering muncul dan mengemuka sejak penghujung abad ke-19 adalah isu-isu kebangsaan (nation states), HAM, kesetaraan gender dan lain-lain. Kenyataan seperti ini lalu memunculkan pengutuban penafsiran menjadi liberal dan literal.

Jika materi perdebatan antara ahl ar-ra’y dan ahl al-hadits sebelumnya berkisar pada formula penggunaan qiyas (analogi) dan hadits dhoif, perdebatan kalangan liberal dan literal belakangan ini mengarah pada persoalan merekonstruksi bahkan mendekonstruksi bangunan pemikiran yang sudah dianggap mapan sebelumnya. Kalangan liberal menganggap perangkat keilmuan dan metodologi lama sudah tidak dapat lagi menyangga bangunan peristiwa baru yang sedemikian kompleks.

Baca Juga  Membela Tauhid: Keteladanan Ki Bagus Hadikusumo

Sementara itu, kubu literal mempunyai anggapan sebaliknya. Orisinalitas warisan lama masih sangat dibutuhkan untuk memberikan terapi bagi munculnya persoalan-persoalan keagamaan yang muncul belakangan ini.

Perdebatan Islam liberal dan literal kian memuncak momentumnya ketika masing-masing kubu membuat firqah atau kelompok pemikiran dengan dukungan perangkat sarana dan prasarana jaringan organisasi yang dibutuhkan.

***

Salah satu aksesnya, perdebatan pemikiran (tafkir) antara dua haluan berbeda ini terkadang direproduksi menjadi ajang perdebatan politis cukup sengit. Bahkan, sering berujung pada pengkafiran (takfir), pemurtadan, pengusiran, dan penghukuman gantung. Dalam sejarah pemikiran Islam modern, gejala seperti ini seringkali terjadi di belahan negara-negara Islam seperti Pakistan, Turki, Mesir, dan Indonesia.

Pada tataran pemaknaan teks agama, baik Al-Qur’an maupun hadis, terdapat perbedaan antar dua kubu tersebut. Jika kalangan Islam literal mengapresiasi teks secara amat otoritatif.

Maka, kalangan Islam liberal lebih fokus pada konteks realitas. Bagi Islam liberal, apa yang bersifat qath’i dan immutable adalah keadilan universal sesuai semangat diturunkannya ajaran suci.

Selebihnya adalah bersifat teknis dan zhanni, termasuk teks suci yang dikreasi untuk mengislamkan budaya jahiliyyah Arab. Bagi kalangan liberal, setiap teks mesti ditelusuri secara hermenutik aspek historisitasnya.

Perdebatan-perdebatan semacam itu hadir bukan tanpa makna buat kita. Sekurang-kurangnya, perdebatan tersebut amat berguna menyadarkan kita akan pentingnya mediator nalar untuk membumikan teks suci ke dalam belantika kehidupan umat manusia sehari-hari.

Editor: Yahya FR

Yoga Irama
4 posts

About author
Mahasiswa Prodi Akidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Kalam

Inilah Tujuh Doktrin Pokok Teologi Asy’ariyah

3 Mins read
Teologi Asy’ariyah dalam sejarah kalam merupakan sintesis antara teologi rasional, dalam hal ini adalah Mu’tazilah serta teologi Puritan yaitu Mazhab Ahl- Hadits….
Kalam

Lima Doktrin Pokok Teologi Mu’tazilah

4 Mins read
Mu’tazilah sebagai salah satu teologi Islam memiliki lima doktrin pokok (Al-Ushul al-Khamsah) yaitu; at-Tauhid (Pengesaan Tuhan), al-Adl (Keadilan Tuhan), al-Wa’d wa al-Wa’id…
Kalam

Asal Usul Ahlussunnah Wal Jama'ah

2 Mins read
Ahlussunnah Wal Jama’ah merupakan pemahaman tentang aqidah yang berpedoman pada Sunnah Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Ahlussunnah Wal Jama’ah berasal dari tiga…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds