Oleh: Moh. Rivaldi Abdul
“Kemanusiaan mendahului keberagamaan,” demikian kata Quraish Shihab dalam acara Shihab dan Shihab. Keindahan akhlak dalam Islam, menjadikan Islam sebagai agama yang mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan. Sebab untuk itulah Islam hadir, sebagai rahmat bagi seluruh alam. Karenanya Allah mengutus Nabi Muhammad saw., sebagai penebar rahmat di bumi.
Tulisan ini tidak bermaksud membandingkan antara agama dan kemanusiaan. Keduanya tidak perlu dibandingkan, sebab agama diturunkan ke bumi untuk menyempurnakan kemanusiaan manusia. Tujuan beragama untuk menyempurnakan kemanusiaan dalam diri manusia. Sehingga jadilah manusia itu, manusia sejati khalifah (wakil) Tuhan di dunia ini.
Karenanya sangat ironis, jika dengan alasan agama kita malah kehilangan rasa kemanusiaan. Atau melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan, dan mengatasnamakan agama sebagai alasannya.
Bagaimana bisa?
Ya, bisa saja. Hal itu disebabkan kekeliruan dalam memahami agama. Agama dipahami sebagai pembawa kebencian, bukan penebar rahmat dalam kehidupan.
Saat kita merasa menjadi manusia paling sempurna, dengan agama yang benar dan menganggap yang lainnya tidak benar. Saat seperti inilah kita mudah menuduh orang lain salah, puncaknya bahkan memandang rendah mereka yang berbeda agama.
Tidak ada salahnya merasa benar. Sebab doktrin agama adalah doktrin keimanan. Artinya, kita memang harus benar-benar meyakini agama yang kita anut adalah benar. Kita harus bangga dengan agama kita. Harus percaya dengan apa yang kita anut.
Namun menjadi keliru, apabila hal itu dijadikan alasan untuk merendahkan manusia lain. Dijadikan alasan untuk tidak menghormati manusia lain. Dijadikan alasan untuk tidak saling tolong-menolong sesama manusia.
Pandanglah manusia adalah manusia, walaupun berbeda agama dengan kita. Seorang yang seagama dengan kita, maka dia adalah saudara seiman kita. Dan yang tidak seagama dengan kita, mereka bukanlah musuh, tapi mereka adalah saudara sekemanusiaan kita.
Perbedaan agama bukanlah alasan untuk memutuskan kemanusiaan dengan manusia. Muslim yang baik pastilah sangat memahami hal ini, sebab dalam Islam sendiri Nabi Muhammad saw berpesan bahwa. “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
Kemanusiaan Nabi Muhammad
Banyak kisah keteladanan Nabi Muhammad saw. yang menunjukkan keindahan akhlaknya. Abu Bakar ra pernah bertanya pada Aisyah r.a, kira-kira amalan apa yang sering dilakukan Rasulullah dan belum dia lakukan. Aisyah r.a pun memberitahukan, bahwa ada seorang Yahudi tua yang buta, setiap hari Nabi Muhammad saw selalu memberikan sedekah makanan pada orang tua itu.
Dari kisah ini kita belajar bahwa membantu manusia tidaklah melihat agamanya, tapi cukup melihat rasa kemanusiaan dalam diri kita. Bahkan anjing liar yang membutuhkan makanan sekalipun, patutlah kita berikan makanan.
Kisah lain yang juga terkenal. Saat Nabi Muhammad saw duduk bersama para sahabatnya. Lewatlah rombongan yang membawa keranda mayat. Saat rombongan itu lewat di depan Nabi Muhammad saw, Beliau pun berdiri. Seorang sahabat berkata bahwa yang meninggal itu orang beragama Yahudi, mengapa Beliau harus berdiri. Nabi pun menjawab, bahwa bukankah orang Yahudi itu juga manusia.
Demikian sejatinya yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw lewat akhlaknya. Kita harus menghormati manusia walau berbeda agama. Mayat Yahudi pun beliau hormati, terlebih seorang Yahudi yang masih hidup, pastilah Beliau pun menghormatinya. Karenanya menghormati manusia lain walau berbeda agama merupakan sunnah yang dicontohkan Nabi Muhammad saw.
Tidak hanya dalam Islam, agama lain pun mengajarkan manusia haruslah saling menghormati. Dalam Kristen di kitab Perjanjian Baru terdapat ajaran cinta kasih. Misalnya dalam Perjanjian Baru, Injil Lukas surah 10 ayat 27 dikatakan bahwa “Kasihanilah sesamamu sama seperti kamu mengasihani dirimu sendiri.”
Dalam Hindu dan Buddha pun demikian, terdapat ajaran dhammah untuk mengasihi seluruh makhluk hidup. Dalam ajaran Tao dan Kong Hucu juga terdapat ajaran untuk saling menghormati dan tidak menyakiti orang lain, misalnya perkataan Kong Qiu bahwa “jangan melakukan pada orang lain apa yang tidak kau inginkan untuk dirimu sendiri.”
Pada dasarnya agama-agama di Indonesia mengajarkan prinsip cinta kasih sesama manusia. Sehingga dalam kehidupan sosial haruslah saling menghormati sesama manusia, tanpa harus memandang agamanya. Harus saling tolong menolong. Dengan demikian kehidupan rukun dalam perbedaan dapat dicapai. Kerukunan umat beragama pun dapat dijaga. Saling hormat-menghormati sebab kita semua adalah ciptaan Tuhan, yang bernama manusia.
Untuk Kita Renungkan
Masalah intoleransi, entah kenapa menjadi masalah yang selalu hangat dibahas. Seakan tidak ada habis-habisnya. Entah ini sebuah isu yang dimainkan atau bukan. Namun sebenarnya Indonesia sudah dewasa soal toleransi.
Kehidupan majemuk Indonesia tidak dimulai tujuh puluh empat tahun lalu, saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Namun sudah dimulai jauh sebelum itu. Karenanya kita adalah bangsa yang dewasa dalam bertoleransi.
Kita punya Pancasila yang mengenggam erat semboyan bangsa “Bhinneka tunggal ika (Berbeda-beda tapi tetap satu)“. Banyak tempat ibadah beda agama yang berdekatan, dan tidak memicu konflik.
Di Minahasa misalnya, tepat di puncak bukit kasih berdiri kokoh tempat peribadatan lima agama yang berbeda. Namun, tidak terjadi konflik antar agama, sebab mereka sadar bahwa agama boleh beda tapi kita tetap satu, sebagaimana semboyan keberagamaan di Sulawesi Utara “torang samua basudara.” Hal demikian haruslah dijaga.
Perbedaan agama, bukan alasan untuk menghapus rasa kemanusiaan dalam diri. Perbedaan agama bukan alasan untuk tidak saling hormat menghormati. Perbedaan agama bukan alasan pemutus tali silaturahmi.
Perbedaan adalah Indonesia. Kalau tidak berbeda bukan Indonesia namanya. Sebab kita berbeda-beda tapi tetap satu, itulah Indonesia. Maka harus dipahami, bahwa hidup di Indonesia berarti beragama dalam keberagamaan.
***
Sejatinya penangkal intoleransi dan radikalisme, bukan dengan kebijakan pelarangan-pelarangan yang malah menambah gesekan sosial dan cenderung menuduh masyarakat intoleran dan radikal. Akhirnya yang terjadi hanyalah saling tuduh menuduh siapa yang intoleran dan radikal. Hal ini hanya akan berdampak pada ketidakharmonisan kehidupan, sebab masyarakat hanya akan saling mencurigai.
Kita hanya perlu kembali pada spirit persatuan. Memahami bahwa agama tidak menghendaki manusia untuk saling membeci apalagi sampai berperang. Sebaliknya agama menghendaki manusia untuk saling menghormati dan menjaga tali silaturahmi. Cukuplah kita memahami hal sederhana ini dan tanamkan di hati, maka kerukunan beragama dalam kehidupan dapat terus terjaga. Wallahu’alam.
*) Alumnus IAIN Sultan Amai Gorontalo. Saat ini melanjutkan pendidikan Magister Jurusan Interdisciplinary Islamic Studies di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.