Falsafah

Islam Moderat Merawat Nilai-Nilai Kebangsaan

5 Mins read

Terbentuknya NKRI tak lepas dari peran  guru, kiai, dan ulama yang turut serta menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaannya. Para tokoh agama tersebut telah mendorong semangat nasionalisme Islam jadi kunci perjuangan dan perlawanan terhadap kaum penjajah. Nilai Islam moderat pun terdapat dalam perjuangan tersebut.

Itu yang saat ini hampir kita lupakan. Bahwa sebelum nasionalisme bangsa Indonesia terbentuk, sebagaimana menurut Farid Fathoni (1990) dalam bukunya Kelahiran Yang Dipersoalkan, sebetulnya sudah terjalin gelombang nasionalisme Islam yang dipimpin tokoh maupun organisasi Islam di Indonesia.

Islam Moderat

Nasionalisme Islam tersebut kemudian meledak menjadi nasionalisme kolektif-kolegial seluruh warga negara yang berujung pada berakhirnya kolonialisme dan imperialisme di Republik Indonesia. Inilah salah satu alasan-–jika boleh disebut–negara sebetulnya “berhutang” pada ulama, kyai, dan organisasi-organisasi Islam . Namun, karena sikap tawadhu dan ikhklas sebagian besar umat Islam, hingga saat ini umat Islam tak pernah menunjukkan sikap posesif dalam merawat NKRI.

Diasuh dan dididik dalam belaian umat Islam, terbentuklah platform ideologi pancasila yang juga tak lepas dari peran serta tokoh-tokoh Islam. Misalnya, peran Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, Mr Kasman Singodimejo, M. Natsir, dan sederet tokoh-tokoh Islam lainnya dalam menyusun dasar-dasar negara Republik Indonesia.

Atas dasar alasan historislah penulis berkeyakinan bahwa pada saat ini NKRI juga mesti dirawat dan dibina dengan semangat-semangat ajaran islam. Bukan dalam arti formalisasi agama islam menjadi satu-satunya agama dalam negara (pandangan negara integralistik).

Akan tetapi, seperti yang dikatakan Moch. Hatta, wakil presiden RI pertama, umat Islam harus memegang erat politik garam. Sebuah gaya politik yang tidak melulu mengedepankan simbol semata, yang paling esensial yaitu substansi ajaran islamnya ada.

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana peran islam moderat dalam merawat nilai-nilai kebangsaan dan keIndonesiaan? Bagaimana upaya turut serta meneguhkan islam moderat yang dilakukan oleh ormas-ormas besar di Republik Indonesia semisal Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah pada umumnya? Serta bagaimana merawat nilai-nilai kebangsaan dari paham dan aliran radikalisme?

Pengertian Moderat

Moderat dalam Bahasa arab berarti wasathiyyah yang artinya tengahan. Dalam  buku Islam Nusantara, KH. Abdurrahman Wahid dkk (2015) menjelaskan kata wasathiyyah juga bermakna ­al-waqi’iyyah yang berarti sesuai dengan realitas. Sementara itu, moderat dalam pandangan Haedar Nashir (2014) dalam buku Memahami Ideologi Muhammadiyah,  memiliki arti posisi tengahan, tidak ektrem kanan dan tidak juga ekstrem kiri.

Baca Juga  Giordano Bruno, Seorang Martir Ilmu Pengetahuan

Kata “Islam moderat” bisa didefinisikan sebagai islam yang bersifat tengahan, yang menjalankan syari’at Islam sesuai dengan realitas (waqi’iyyah) dan tidak merupakan golongan islam ekstrem kiri atau ekstrem kanan. Dalam ranah pemikiran, frasa Islam moderat digunakan sebagai titik distingsi dengan gerakan islam lainnya.

Misalnya, penggunaan istilah Islam fundamentalis yang cenderung memiliki konotasi negatif (radikal) atau Islam politik jika meminjam istilah Fawaz A. Gerges  (2002) dalam Amerika dan Islam Politik, yang menjadi sasaran ambivalen antara kepentingan dan konfrontasi Amerika terhadap Islam.

Islam moderat di Indonesia misalnya dipelopori olah dua gerakan Islam terbesar seperti NU dan Muhammadiyah. Masing-masing organisasi tersebut menyatakan diri sebagai islam yang berkarakter moderat, yaitu gerakan Islam yang memegang prinsip-prinsip toleran (tasammuh), seimbang (tawazzun), ramah, dan tengahan (tawassuth).

Peran dalam Merawat Nilai-Nilai Kebangsaan

Nilai-nilai kebangsaan seperti gotong royong, ramah, toleran, patriot dan lemah lembut telah tertanam dalam diri masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. Penulis akan memfokuskan diri pada nilai-nilai gotong royong, toleransi, dan keramahan masyarakat Indonesia untuk melihat peran Islam moderat dalam membangun nilai-nilai tersebut.

Pertama, gotong royong. Mustahil NKRI masih tetap berdiri hingga sekarang jika antarmasyarakatnya terpecah belah. Oleh karenanya, diperlukan kerjasama dan gotong royong untuk menyongsong persatuan dan kesatuan. Kemerdekaan yang diraih oleh bangsa Indonesia merupakan buah dari gotong royong yang dibungkus dengan semangat nasionalisne.

Sikap gotong royong sangat menonjol dalam masyarakat Indonesia. Sampai presiden Republik Indonesia yang pertama, Ir.Soekarno , sebagaimana yang ditulis Peter Kasenda (2014 : 70) dalam bukunya Sukarno, Marxisme & Leninisme : Akar Pemikiran Kiri dan Revolusi Indonesia, menyebut bahwa jika Pancasila diperas dari lima sila  akan menjadi Trisila yang berisi “Sosio-Nasionalisme”, “Sosio-Demokrasi” dan Ketuhanan. Jika Trisila diperas lagi, kata Soekarno, maka akan menjadi Ekasila, yaitu gotong royong.

Baca Juga  Bagaimana Memberi Makna pada Islam Hari ini?

Bagaimana peran islam moderat dalam membangun semangat gotong royong? Untuk menjawab pertanyaan ini kita bisa melihat melalui lensa sejarah umat Islam atau melalui peta ajaran Islam itu sendiri. Jika melihat latar historis sejarah Islam di Indonesia zaman kolonial , kita akan mengenal ormas-ormas besar golongan Islam moderat seperti NU, Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis) dan Syarekat Islam (SI).

Toleransi

Melalui organisasi itu, para ulama menggiatkan semangat gotong royong mempertahankan tanah air Indonesia. Misalnya semangat gotong royong yang digalang KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, yang mengeluarkan semacam fatwa yang kita kenal dengan istilah Resolusi Jihad dalam pertempuran di Surabaya tahun 1945. Semangat itu masih ada hingga saat ini dan diperingati tiap tanggal 10 November sebagai hari pahlawan.

Kedua, Toleransi. Bukti bahwa mayoritas masyarakat Indonesia bersikap toleran adalah ragamnya kebudayaan dan adat istiadat yang kemudian  saling menguatkan dan memperteguh kesatuan dalam  bingkai NKRI. Sikap toleran ini juga diperlihatkan oleh antarpemeluk agama di Indonesia.

Simbol yang paling terlihat adalah dibangunnya Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral di Jakarta yang bersebelahan. Itu bisa dibilang  corak simbol keurukunan antarpemeluk agama Islam dan Kristen di Indonesia.

Sikap toleran masyarakat Indonesia sejalan dengan pemahaman Islam moderat atau –jika boleh dikatakan- Islam moderatlah yang memupuk sikap toleransi selama ini. Sikap toleransi amat penting dirawat dan disebarkan sebagai upaya merawat nilai-nilai kebangsaan. Juga meminimalisasi kemungkinan perpecahan di dalam tubuh NKRI.

Penerimaan umat Islam pada ideologi Pancasila dan Republik Indonesia sejatinya adalah sikap toleransi umat Islam yang moderat pada  kalangan non-Islam. Sehingga, golongan Islam moderat dalam hal ini lebih merasakan perasaan batin terhadap pancasila dan NKRI dibanding dengan gerakan Islam lain, yang tiba-tiba ingin mengubah pancasila dan turunan-turunannya menjadi sistem Islam versi mereka.

Penerimaan umat Islam terhadap Pancasila sebagai suatu sikap toleransi hidup berbangsa dan bernegara terus dipupuk dan disuburkan lewat pemikiran-pemikiran organisasi Islam. Dalam buku Islam Nusantara, NU misalnya menekankan penerimaan pancasila atas kaidah ushul “Dar’ul mafassid muqaddamun ala jalbil masaalih” yang artinya meninggalkan kemafsadatan lebih diutamakan daripada mengambil kebaikan.

Baca Juga  Dekolonisasi Studi Agama di Akademia Barat (Bagian 2)

Jika dulu kalangan islam ngeyel harus tetap didirikannya negara islam, maka NKRI tidak mungkin utuh hingga sekarang.

Ramah

Penerimaan Pancasila dan NKRI menurut Muhammadiyah tertuang dalam rumusan Negara Pancasila Sebagai Darul Ahdi Wa syahadah terbitan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Muhammadiyah memandang bahwa negara pancasila merupakan tempat konsensus bersama (Darul Ahdi) dan persaksian (Asyahadah) para tokoh bangsa yang harus dirawat dan dijaga.

Ketiga, ramah. Mayoritas  masyarakat Indonesia bersikap ramah dan lemah lembut  pada umumnya. Warisan nenek moyang peradaban nusantara yang diperkuat oleh kebudayaan-kebudayaan islam yang masuk pada abad ke-7 M.  Bangsa Indonesia lebih menganut sikap akomodasionis terhadap bangsa lain. Lebih menerapkan strategi menahan diri daripada harus menyerang. Ini tak lepas dari watak dasar bangsa Indonesia yang ramah dan santun.

Penyebaran Islam ke Nusantara oleh para pedagang arab disebarkan dengan strategi damai dan ramah. itu merupakan aktualisasi Islam moderat dalam menjaga prinsip-prinsipnya yang ramah dan toleran. Bagi orang-orang nusantara kala itu cara-cara radikal dan konfrontatif tentu akan dianggap suatu penjajahan. 

Di sini kalangan Islam moderat cermat menangkap makna tersebut. Oleh karena itu, cara-cara penyebaran ajaran Islam dilakukan secara damai tanpa peperangan.

Jalan Keluar Melawan Radikalisme

Radikalisme tidak identik dengan ajaran agama. Agama justru mengecam segala bentuk tindakan yang berbau radikalisme. Sebagian orang yang berpaham radikal-fundamental dalam beragama, itu merupakan penafsirannya sendiri terhadap agama, bukan agama itu sendiri. Agama juga bukan penentu seseorang berbuat radikal dan melakukan kekerasan.

Upaya untuk merawat nilai-nilai kebangsaan salah satu caranya adalah dengan mengembalikan pada ajaran islam yang moderat. Pendapat ini juga dikemukakan dalam buku Ilusi Negara Islam,  buku hasil kerjasama Ma’arif Institute, The Wahid Institute dan Gerakan Bhineka Tunggal Ika, yang menyakatan bahwa agar tidak lahir Islam radikal harus dikembalikan pada ajaran Islam yang moderat.

Solusinya, umat Islam mesti dibina dengan ajaran-ajaran Islam moderat sebagai jalan keluar untuk melawan radikalisme yang semakin hari semakin meluas di berbagai daerah.

Editor: Nabhan

10 posts

About author
Penulis adalah Ketua Bidang Riset Pengembangan Keilmuan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Bandung Timur dan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Sains Fisika (HIMASAIFI) UIN Bandung.
Articles
Related posts
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…
Falsafah

Kehidupan Setelah Mati Perspektif Al-Kindi

2 Mins read
Al-Kindi terkenal sebagai filsuf pertama dalam Islam, juga sebagai pemikir yang berhasil mendamaikan filsafat dan agama. Tentu, hal ini juga memberi pengaruh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds