Islam otentik hanya ada pada masa Nabi. Inilah Islam yang sejati, Islam sebagaimana yang seharusnya, Islam sebagaimana yang diajarkan Al-Qur’an dari dimensi ke dimensi, hari ke hari. Al-Qur’an datang membawa formulasi global untuk penyelesaian masalah manusia dan masyarakat, kecil dan besar.
Islam pada masa Nabi adalah otentik karena sunnah benar-benar hidup. Tentu saja, karena Nabi sendirilah sunnah itu. Islam pada masa Nabi bercirikan kemanunggalan wacana dan laku dalam diri Nabi sama sekali tak membuka celah bagi ketidaksempurnaan.
Atas dasar itu, semua Muslim ingin menghadirkan Islam otentik dalam kehidupannya. Akibatnya, kompetisi dan kontestasti menuju otentisitas pelaksanaan ajaran Islam mengemuka sepanjang sejarah. Namun jarang disadari bahwa perjalanan sejarah, pelintasan konteks (misalnya geografis, budaya, politik), telah menghadirkan tantangan bagi cita-cita peraihan otentisitas itu. Karena akibat perjalanan itu, telah terjadi perubahan dari yang ontentik menjadi aktual. Sayangnya, tak banyak yang menyadari bahwa Islam yang aktual ini bukan sepenuhnya Islam yang otentik itu.
Selain itu, cita-cita menghadirkan Islam otentik itu lalu muncul dalam beragam tafsiran, corak, dan orientasi. Dalam satu konteks, Islam muncul dalam wajah dan orientasinya yang ramah kepada kebudayaan di mana ia tumbuh dan menjadi kekuatan baru. Maka jangan heran dan buru-buru melakukan tuduhan pemecahan Islam atas mereka yang berusaha membaca wujud Islam dalam masyarakat itu dengan cara yang berbeda-beda.
Tak usah jauh-jauh untuk membaca masyarakat di dunia Islam secara umum. Sementara di Indonesia saja, aneka ragam orientasi dan cara ber-Islam bermunculan. Tak ada kategori tunggal, dan tak pula ada ilmuwan yang secara tuntas mampu menggambarkan ragam Islam yang aktual, tumbuh dan menyejarah dalam masyarakat itu. Namun, sekadar mengambil contoh salah satu dari kerumitan penggolongan itu adalah, orang lalu mengelompokkan menjadi tiga saja: Islam Garis Lunak, Islam Garis Keras, Islam Garis Lentur.
***
Tentu ada yang tak suka dengan penggolongan seperti ini. Namun, ini tak terhindarkan. Sejumlah pemikir melakukan hal yang sama untuk lebih memahami hakikat agama ini. Amin Abdullah, misalnya, memandang Islam selalu merupakan interaksi antara yang normatif (tertulis) dan historis (terjadi). Apa yang tertulis tak selalu sama dengan apa yang terjadi, dan apa yang terjadi, tak selamanya juga diambil dari yang tertulis.
Kurang lebih sama, Haidar Bagir membahasakan jarak antara Islam yang otentik dengan Islam yang aktual itu sebagai “Islam Tuhan” dan “Islam Manusia.” Islam memang turun dari Tuhan, tetapi bahasa Tuhan dan bahasa manusia pasti berbeda. Islam memang bersumber dari Tuhan, tetapi ia diturunkan untuk manusia, karena agama adalah demi kepentingan kemanusiaan.
Kurang lebih sama, Abdurrahman Wahid menyebut wujud Islam aktual itu, setidaknya, ada dalam tiga konteks: “Islamku,” “Islam Anda,” dan “Islam Kita.” “Islamku” adalah sebuah pengalaman merasakan Islam secara pribadi. Tulis Gus Dur, “pengalaman pribadi orang tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain. Dengan demikian, kita justru harus merasa bangga dengan pikiran-pikiran sendiri yang berbeda dari pemikiran orang lain.” Pengalaman seperti ini, menurut Gus Dur, patut diketahui oleh orang lain “tanpa memiliki kekuatan pemaksa.”
Dalam konteks yang sama, Yusuf Qardhawi menyebut salah satu kunci eksistensi Islam adalah karena ketersambungan antara Islam dengan realitas melalui penyesuaian hal-hal yang otentik (ashalah) dan perubahan atau pembaruan (tajdid).
Maka masuknya hal-hal baru dari luar, tidak bermakna mencederai otentisitas. Ia menegaskan: laisat al-ashalatu rafidha kulla syai’in ja’a an al-ghairi (menjaga otentisitas tidak berarti menolak segala sesuatu yang bersumber dari luar). Meskipun demikian, inilah titik pisah (divergensi) antara ketiga orientasi Islam tadi itu.
***
Pemahaman tentang mana yang otentik, berubah, dan bahkan makna otentisitas itu telah menjadi sumber perdebatan, sepanjang sejarah, tepat setelah masa Nabi berakhir, hingga hari ini. Di situlah kita memahami kewajaran, mengapa muncul aneka wajah dalam Islam: wajah yang keras, lunak, atau lentur.
Namun, hal seperti inipun tak akan terjadi, seandainya semenjak awal sudah ditegaskan bahwa Islam merupakan gabungan dari semua. Itulah yang otentik. Sementara Islam yang dipahami, dipraktikkan, dan dikembangkan manusia hari ini sebagian besar berada pada wilayah serpihan-serpihan yang ukurannya tak sama dari satu kesatuan otentisitas itu.
Dengan menggunakan cara pandang Haidar Bagir di atas, Islam lunak, Islam keras, atau Islam lentur adalah Islam manusia. Sementara Islam Tuhan adalah ketiganya. Islam yang diturunkan oleh Tuhan kepada manusia mengandung semuanya: kelunakan, kekerasan, kelenturan. Saya memahami, Islam yang demikianlah yang otentik itu, yang semua elemen-elemen penyangganya proporsional, dan pengunaannya tidak serampangan. Agar ilustratif, mari ambil beberapa contoh.
Seorang peneliti dari Bulgaria, kolega saya dalam Konsorsium Penelitian tentang Agama, Sekularisasi dan Radikalisasi; dalam sebuah pertemuan di Florence, Italia; bertanya tentang doktrin kekerasan dalam Islam dan apakah Al-Qur’an menyebutkan kekerasan. Saya menjawab faktual saja, “Ya, Islam memiliki doktrin kekerasan, dan Al-Qur’an menyebutkan kekerasan.” Saya merasa tidak ada soal dan masalah sama sekali dalam memberikan jawaban ini, karena faktanya memang demikian.
Namun, buru-buru saya tambahkan kepadanya bahwa bagaimana doktrin tentang kekerasan itu bisa dilaksanakan. Ia bisa menerima konsep itu dan menyebut bahwa citra tunggal tentang Islam dan kekerasan yang selama ini dia dengar telah menjadikannya menganggap agama ini sebagai identik kekerasan.
***
Berbeda dengan pengalaman dialog di atas. Seorang Rabi Yahudi dari Inggris yang saya kenal selama program international fellow di King Abdullah bin Abdulaziz International Center for Interreligious and Intercultural Dialogue (KAICIID, 2016-2018), Austria; pernah mengungkapkan kepada saya tentang kelunakan hukum Islam dalam menghadapi pembunuh.
Mengutip ayat tentang qishash, dia menyadari bahwa qishash adalah hukuman yang setimpal. Namun, dia tiba-tiba mengatakan bahwa Islam sangat lunak karena terhadap orang yang melakukan pembunuhan, karena bisa membatalkan hukuman yang setimpal itu jika keluarga korban memaafkan dan si pelaku membayar jumlah denda tertentu. Ia berkata sedikit sinis: “Pembunuh keluarga kok dimaafkan karena bersedia membayar denda. Uh, lunak sekali.”
Sementara doktrin tentang kelenturan juga demikian kerap kita dengar. Diriwayatkan dalam sebuah hadis, seorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad SAW mengadukan perihal peristiwa yang ia alami. Ia bertanya kepada Rasul tentang hukuman melanggar larangan puasa dengan melakukan hubungan intim bersama istrinya. Rasul bertanya apakah ia memiliki uang untuk membeli budak dan kemudian memerdekakannya.
Ia menjawab tidak. Rasul pun memberikan alternatif, berpuasa dua bulan berturut-turut. Pria itu tiada sanggup pula. Kemudian, Rasul memintanya memberikan makan enam puluh fakir miskin, jika dia punya kemampuan untuk itu. Pria itupun menggeleng. Akhirnya, Rasulullah memberikannya makanan dan memintanya agar membagikan makanan itu kepada fakir miskin di sekitarnya. Namun, pria itu juga memberikan jawaban anti-klimaks: “Rasululllah, keluargaku adalah yang terfakir di sini.” Atas jawaban itu, diriwayatkan hingga Rasulullah pun tertawa.
Demikianlah saya berusaha menempatkan Islam dengan berbagai orientasi dan garis itu. Semua bukan dalam situasi yang tunggal. Ketiga peristiwa di atas jika difahami sebagai peristiwa yang mandiri, tentu akan menunjukkan seolah-olah Islam adalah ajaran yang tak konsisten. Ketiganya kelihatan terpisah pada level “Islam Aktual”.
***
Namun, ketiganya akan muncul sebagai wajah tunggal yang otentik jika dibaca sebagai sebuah sistem. Karena bersifat sistemik, maka satu sama lain saling mempengaruhi dan tidak menafikan. Oleh karena itulah, jika dalam realitas kehidupan beragama kita menemukan sikap yang mutlak keras, mutlak lunak, dan mutlak lentur dalam kontinuitas waktu yang tak pernah berhenti, sebenarnya di situ terdapat kegagalan dalam memahami ajaran Islam sebagai sistem.
Dalam kaitan inilah, jika ada kelompok yang mempraktikkan Islam garis keras, lunak, atau lentur, mengklaim sebagai satu-satunya kelompok yang memahami dan mengamalkan Islam otentik, itu sangatlah gegabah. Mengadopsi pandangan Gus Dur, sikap saya dalam hal ini terang: bahwa sepanjang pengalaman ber-Islam baik dalam garis keras, lunak, atau lentur itu terjadi pada wilayah “Islamku”, dan “Islam Anda,” sama sekali tidak ada persoalan. Karena itulah wilayah pribadi.
Dalam hal ini, pengalaman dan pilihan sikap agama itu lalu menjadi bagian dari sikap diri, ke dalam diri. Akan tetapi, jika pilihan-pilihan itu dipaksakan untuk menjadi mutlak bagi pilihan orang lain dalam bentuk “Islam Kita,” maka pada saat itulah kesewenang-wenangan tafsir dan eksklusivisme lahir.
Mempraktikkan Islam otentik secara apa adanya, verbatim sebagaimana Nabi Muhammad menjalankannya tentu semua kemustahilan untuk zaman ini. Tetapi menjalankan Islam masa kini dengan segala corak dan orientasi juga sama sekali bukan persoalan manakala sisi-sisi otentisitas tetap menjadi kekuatan utama yang mengontrol penyesuaian.
Juga, karena hakikat yang seperti inilah, meskipun saya memiliki sikap keagamaan tertentu, pandangan pemikiran tertentu tentang tema-tema dan masalah tertentu, karena menyadari ketidaktunggalan dimensi kehidupan pribadi, sosial, keagamaan; maka saya tidak ragu untuk menyatakan bahwa saya bisa menjadi Islam Garis Keras, Islam Garis Lunak, dan Islam Garis Lentur pada saat dan situasi yang berbeda-beda, namun tetap dalam bingkai kesadaran sebagai seorang Muslim.